Latest Post

Account Assistant Account Officer Account Payable Account Receivable Accounting Accounting Case Study Accounting Certification Accounting Contest Accounting For Manager Accounting Manager Accounting Software Acquisition Admin Administrasi administrative assistant Administrator Advance accounting Aktiva Tetap Akuisisi Akun Akuntan Privat Akuntan Publik AKUNTAN. Akuntansi Akuntansi Biaya Akuntansi Dasar Akuntansi Management Akuntansi Manajemen Dan Biaya Akuntansi Pajak Akuntansi Perusahaan Dagang Akuntansi Perusahaan Jasa Akuntansi Syariah Akuntansi Translasi Akunting Analisis Transaksi Announcement Aplikasi Akuntansi archiving ARTICLES ARTIKEL Asumsi dasar Akuntansi Asuransi Aturan Pencatatan Akuntansi Audit Audit Kinerja Auditing Balance sheet Bank Basic Accounting Bea Cukai Bea Masuk Bidang Akuntansi Bukti Transaksi Buku Besar Calculator Capital Cara Pencatatan Akuntansi Career Cash Cash Flow Cat Certification Checker Checker Gudang COGS Collection Contest Corporate Social Responsibility (CSR) Cost Cost Analysis CPA CPA EXAM Credit Credit Policy Current Asset Custom Custom Clearence Dasar Akuntansi Data Debit Kredit Discount Diskon Distributor Dyeing Ekspor Engineering Etika Profesi & Tata Kelola Korporat Example Expense Export - Import FASB Finance FINANCIAL Financial Advisor Financial Control Finansial Foreign Exchange Rate Form FRAUD Free Download Freebies Fungsi Akuntansi GAAP GAJI Garansi Gift Goodwill Gudang Harga Pokok Penjualan Hotel HPP HRD IFRS Impor Import Import Duty Informasi Akuntansi International Accounting Investasi IT Jasa Jasa Konstruksi Job Vacant JUDUL SKRIPSI AKUNTANSI TERBARU Jurnal Khusus Jurnal Pembalik Jurnal Pembalik Dagang Jurnal Penutup Jurnal Penutup Dagang Jurnal Penyesuaian Jurnal Umum Kas Kas Bank Kas Kecil Kasus Akuntansi Kasus Legal Kasus Pajak Kepala Rekrutment Kertas Kerja Keuangan Knitting Komentar Komputer Konsolidasi Konstruksi Konsultan Laba-Rugi Laboratorium Lain-lain lainnya LANDING COST Laporan akuntansi Laporan Arus Kas Laporan Keuangan Laporan Keuangan Dagang Laporan Keuangan Jasa Laporan Laba Rugi Laporan Perubahan Modal laporan Rugi Laba Layanan Konsumen Lean Accounting Lean Concept Lean Manufacturing Legal Logistik Lowongan Kerja Accounting MA Accounting Macam Transaksi Dagang Management Management Accounting Manager Manajemen Manajemen Keuangan Manajemen Keuangan Manajemen Stratejik Manajer Manajer Administrasi Manfaat Akuntansi Manufaktur Marketing Matching Color Mekanisme Debit Mekanisme Kredit Mencatat Transaksi Merger metode fifo dan lifo Mid Level Miscellaneous Modal Neraca Neraca Lajur Neraca Saldo Neraca Saldo Setelah Penutupan Nerasa Saldo Office Operator Operator Produksi Paint PAJAK pajak pusat.pajak daerah(provinsi dan kabupaten) payroll Pelaporan Korporate Pemasaran Pembelian Pemberitahuan Pemindahbukuan Jurnal Pencatatan Perusahaan Dagang Pendapatan Pengakuan Pendapatan Pengarsipan Pengendalian Pengendalian Keuangan Pengertian Akuntansi PENGERTIAN LAPORAN KEUANGAN pengertian pajak PENGERTIAN PSAK PENGGELAPAN Pengguna Akuntansi Pengkodean Akun Penjualan Perbankan Perlakuan akuntansi Perpajakan Persamaan Dasar Akun Petty Cash Piutang Posting Buku Besar PPH PASAL 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 26 PPn PPn Import Prefesi Akuntansi Prinsip Akuntansi PRINSIP DASAR AKUNTANSI Produksi Profesi Akuntansi Professi Akuntan Profit-Lost Proses Akuntansi Proyek PSAK PSAK TERBARU PURCHASE Purchasing QA QC Quality Assurance Quality Control Quiz Rabat Rajut rangkuman Rebate Recruitment Recruitment Head Rekrutment Retail Retur Return Revenue Review Saldo Normal Sales Sales Representative Sejarah Akuntansi SERIE ARTIKEL Sertifikasi Shareholder Shipping Agent Shipping Charge siklus akuntansi Silus Akuntansi Dagang Sistem sistem akuntansi Sistem Informasi Sistem Informasi & Pengendalian Internal Soal dan Jawaban CPA SPI Spreadsheet Accounting Spreadsheet Gratis Staff Struktur Dasar Akuntansi Supervisor system pengendalian system pengendalian gaji Tax Taxation Teknik Tekstil Template Teori-teori Akuntansi Tinta Tip n Tricks TIPS AND TRICKS Tools Top Level Transaksi Keuangan Tutup Buku Ujian CPA UPAH update situs USAP Utilities Video Tutor Warehouse Warna warranty What Is New

Nilai Buku sudah nol tetapi kenyataannya aktiva masih berfungsi”, that is a common phenomenon, jamak terjadi. Mengapa mampu terjadi ibarat itu? Apa yang harus dilakukan? Apakah buku sebaiknya dibiarkan saja dengan menutup mata bahwa aktiva tersebut masih memberi manfaat?, di kesempatan ini saya akan angkat study kasus yang saya alami sendiri (kenyataan/bukan ilustrasi).

Kasus ibarat ini membawa ingatan saya ke 6 tahun yang lalu, ketika saya gres bergabung dengan sebuah private company (setelah beberapa tahun di KAP & Consultant). Sebagai chief accounting yang gres di recruit, saya menempatkan “Inventarisasi Asset” di top priority project yang harus saya accomplished di ahad pertama saya.

Ketika saya memperoleh “Asset List” dari salah satu staff accounting (yang memang sudah 2 tahun lebih dahulu bergabung di perusahaan tersebut), dengan didamping staff yang bersangkutan saya eksklusif verify list dengan physic asset-nya, mulai dari menghitung jumlah hingga memeriksa kondisi asset untuk mengira-ngira umur ekonomisnya (wajar atau tidak), dan selesai sebelum simpulan jam kerja (about 4 PM).

Ketika di perjalanan pulang kantor, rasanya ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya perihal asset list tersebut. Tetapi saya belum mampu figure-out what is wrong with the asset list, what is wrong with the physical counts.

Tiba-tiba saya teringat… rasanya ada kendaraan beroda empat kanvas (mobil pick-up yang belakangnya di tutup aluminum roof) yang sehari-hari dipakai untuk angkut-angkut barang. Mengapa saya tidak menemukan kendaraan beroda empat tersebut di list?

Keesokan harinya, pagi-pagi saya sudah ke daerah parkir untuk memeriksa, saya menemukan sopirnya sedang mencuci kendaraan beroda empat tersebut. Saya meminta abang sopir untuk menghidupkan mesin kendaraan beroda empat (walaupun saya bukan jago automotive, saya pikir sedikit banyaknya saya mampu mengira-ngira kondisi mobil), masih sangat indah dan layak jalan. Sesaat kemudian saya ke episode personalia dan umum untuk meminjam surat-surat asli kendaraan beroda empat tersebut dan saya menemukan semua surat-surat masih berlaku, bahkan gres saja habis di kir (=semacam uji kelayakan muat?), dari BPKB saya menemukan data-data berikut ini:

[-]. Harga beli kendaraan beroda empat tersebut ialah Rp 17,000,000 (brand—new dari dealer)
[-]. Ada “Bea Balik Nama” dan lain-lain Rp 1,500,000 (kalau tidak salah)
[-]. Mobil di beli tanggal 04 May 1993

Selanjutnya saya memeriksa saldo buku besar aktiva periode sebelumnya, dan saya menemukan memang benar nilai bukunya sudah nol di simpulan periode sebelumnya.

Saya mulai mengira-ngira “what is the most suspicious reason for this un-common?”, “mengapa mampu terjadi ibarat itu?”, “apa yang harus saya lakukan?

Setelah berkonsultasi dengan partner yang dulu mengasuh saya di KAP, partner tersebut mengatakan langkah-langkah awal (verification session) yang sudah saya lakukan sudah benar so far, next is to find out thewhy?answer.

Nilai buku nol padahal aktiva tetap masih berfungsi, tentu itu kedaan yang tidak wajar, aneh. Berarti ada yang tidak beres dengan buku aktiva tetap (khususnya kendaraan beroda empat tersebut), mengapa terjadi ibarat itu?, dimana letak masalahnya?.

Saya mengira-ngira (bahasa ilmiahnya “membuat hipotesa”) dan menulisnya di atas Clip board:

[-]. Salah mengakui harga perolehan?
[-]. Perkiraan umur ekonomis tidak semestinya?
[-]. Salah dalam perhitungan penyusutan?
[-]. Salah membebankan penyusutan, sehingga salah mengakui akumulasi penyusutan?


Untuk memperoleh tanggapan dan mampu memastikan atas kemungkinan-kemungkinan di atas, maka dihari kerja berikutnya, saya mulai memeriksa buku aktiva dengan lebih detail:

[1]. Saya membandingkan “Harga Perolehan” antara yang dibuku dengan yang tertera di bukti transaksi (Faktur pembelian kendaraan beroda empat & BPKB), dan hasilnya:

* Pengkuan “Harga Perolehan” sudah sesuai yaitu Rp 18,500,000

[2]. Saya memeriksa perkiraan umur ekonomis yang menjadi dasar perhitungan penyusutan di buku aktiva, dan hasilnya:

*Perkiraan “Umur Ekonomis (Life Time)”, sudah sesuai dan wajar untuk kendaraan beroda empat yaitu 8 tahun.

[3]. Salah dalam perhitungan penyusutan, di langkah ini memakan waktu yang agak lama, karena saya harus memeriksa rumus perhitungan satu per satu dari awal perolehan hingga simpulan (Dari 04 May 1993 hingga dengan 31 Desember 2001).

Dari “Book Asset Details (Rincian Buku Aktiva Tetap)” saya mulai membuat perhitungan penyusutan sendiri biar mampu saya bandingkan dengan perhitungan yang telah dibuat di periode-periode yang lalu, berikut ini ialah perhitungan penyusutan yang saya buat:

Periode 04-May 31-Dec-1993 = 4/12 x [18,500,000] = Rp 770,833
Tahun 1994 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1995 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1996 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1997 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1998 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1999 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 2000 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
---------------------------------------------------------
Accum Deprec, 31/12/2000 = Rp 16,958,333

* Nilai Buku 31 Dec 2000 = Rp 18,500,000 – Rp 16,958,333 = Rp 1,541,667

Perhitungan Tahun 2001:

Penyusutannya ialah Rp 1,541,667
Accum Deprec Rp 18,500,000
Nilai Buku 31 Dec 2001 = Harga Perolehan – Accum Deprec
Nilai Buku 31 Dec 2001 = 18,500,000 – 18,500,000 = 0 (nol)

Dibawah ialah tabel perhitungannya:

ilai Buku sudah nol tetapi kenyataannya aktiva masih berfungsi NILAI BUKU AKTIVA NOL TETAPI MASIH BERFUNGSI ?
* Selanjutnya saya bandingkan hasil perhitungan saya dengan perhitungan yang telah dibuat oleh perusahaan, ternyata hasilnya persis sama, sudah benar.

* Jurnal yang dibuat untuk alokasi beban penyusutan tiap periode dan pengakuan akumulasi penyusutannya pun sudah benar.

No mistakes found…..! fiuhh!

Wahhh……. Everything was correct, so what is next?

Saya memang punya kebiasaan “Insist” (ngotot) dalam mengejar sesuatu, bad habit eh?

Tentu saja saya belum menyerah….. saya terus berpikir “apakah saya perlu konsultasi dengan senior saya?”, “Consult/No?”, “Consult/No?”, “Consult/No?

Akhirnya saya memutuskan untuk tidak konsultasi lagi, dengan dasar pertimbangan:

First: Beliau orang sibuk, tidak enak mengganggu terus (apalagi gratisan trus :P)
Second: Jika begini terus, hingga kapan saya akan bergantung kepada senior.

Saya mulai meng-udak-udak dan membongkar-bongkar buku, mulai dari buku cetakan hingga ke diktat-diktat waktu kuliah dahulu. Thanks Mr. Smith & Mr. Skousen, ketika tiba pada buku “Intermediate Accounting” bukunya Jay M Smith & Fred.K. Skousen (saya lupa tahun terbit-nya). Saya jatuh pada salah satu penjelasan mengenai “Asset Utilization (Penggunaan Aktiva Tetap)”, salah satu paragraph menyebutkan (saya masih ingat persis statementnya):

The Decision whether an asset’s—related—expenditure to be capitalized or not depends on relevancy, materiality & frequent of the expenditures:

* Relevant is a must
* Materiality: when it is material, then it should be capitalized
* Frequent: when it is not a frequent expenditures, then it is most likely a not-maintenance-expense, thus to be capitalized instead
”…. dan seterusnya

Berangkat dari aliran itu, pikiran saya mulai terbuka dan menumbuhkan satu pertanyaan:

Mungkinkah ada pengeluaran besar untuk kendaraan beroda empat tersebut yang harusnya di kapitalisasi tetapi tidak dikapitalisasi?

Kapitalisasi akan membuat nilai buku bertambah.

Yang jelas, waktu pemeriksaan saya sebelumnya, saya tidak temukan adanya kapitalisasi. Kapitalisasi akan membuat nilai buku bertambah. So it became more-more suspiciously. Saya ibarat mendapat energy baru……:-)

Keesokan harinya saya mulai searching…..

Sasaran pertama saya ialah "Maintenance Expenses" di tahun-tahun sebelumnya (dari tahun 1993 hingga dengan 2001), tentu saja saya mulai dari tahun terdekat yaitu tahun 2001….

Sungguh beruntung, transaksi besar eksklusif saya temukan. Pada tanggal tertentu di bulan September 2001 (saya lupa tanggal persisnya) saya menemukan maintenance expense yang nilainya mencapai Rp 5,700,000, saya bandingkan dengan bukti transaksi, di nota disebutkan ada beberapa spare-part yang diganti, dan jasa turun mesin. Wahhhh…no wonder….!

Saya sudah menemukan apa penyebabnya, pertanyaan berikutnya adalah:

Setelah diketahui penyebabnya ialah karena adanya expenditure di tahun 2001 yang tidak dikapitalisasi, SO WHAT?

Expenditure (pengeluaran atas aktiva yang material, apalagi disertai dengan penggantian spare-part), terperinci akan memperpanjang umur aktiva. Sekarang coba kita berpikir “Jika saja pada tahun 2001 tidak dilakukan turun mesin, apakah kendaraan beroda empat itu masih berfungsi?”. Jawabannya “tentu tidak”, yang artinya aktiva tersebut tidak akan berfungsi hingga sekarang, karena memang umur ekonomisnya sudah habis.

Artinya, pengeluaran (expenditure) tersebut mestinya “DIKAPITALISASI”.

Ok, tapi kenyataan-nya tidak dikapitalisasi, so what is next?.

Dari buku yang sama, saya mendapat penjelasan, bahwa (jika saya indonesiakan) "kesalahan penggolongan pengeluaran terkait dengan aktiva, yang menyebabkan penarikan aktiva (plant asset retirement) menjadi tidak semestinya sebaiknya dilakukan koreksi pada ketika kekeliruan tersebut disadari".

Okay, dikoreksi, bagaimana melaksanakan koreksi-nya?

Koreksi dilakukan atas: Pengeluaran penggantian spare-part kendaraan beroda empat dan turun mesin pada tahun 2001 yang seharusnya dikapitalisasi (dengan mengurangi accum deprec), tetapi terlanjur dibebankan ke dalam maintenance expense, sehingga terjadi over-stated pada rekening maintenance expenses 2001.

Apakah biaya maintenance tersebut harus dibatalkan lalu ditambahkan ke dalam harga perolehan mesin?, bukankah semua buku tahun 2001 telah ditutup?.

Benar, buku tahun 2001 telah ditutup dan tidak mungkin membuat adjustment atau bikin reversal atau re-classification untuk rekening yang telah ditutup, TETAPI KITA BISA MELAKUKAN KOREKSI PADA ACCOUNT YANG BELUM DITUTUP BUKAN?.
Itulah sebabnya mengapa ada “correction journal”, yaitu untuk melaksanakan koreksi atas suatu transaksi yang telah ditutup buku-nya.

Untuk melaksanakan koreksi yang benar, kita perlu memahami proses penutupan biaya maintenance (yang Rp 5,700,000 tsb) di simpulan periode 2001. Urutan prosesnya ibarat ini:

[1]. Biaya maintenance Rp 5,700,000 masuk ke buku besar “Maintenance Expense”
[2]. Maintenance Expense ditutup ke “Laba/Rugi”
[3]. “Laba/Rugi” ditutup ke rekening “Retained Earning” di Neraca

Ujung dari siklus transaksi biaya ialah “Retained Earning”.

Therefore, yang kita koreksi ialah rekening “Retained Earning”. Overstated pada maintenance expense menimbulkan under-stated pada “Laba 2001”, dan under-stated pada “Laba” secara eksklusif akan menimbulkan “Retained Earningunder-stated juga.

Dengan mantaffff saya melaksanakan koreksi pada buku “Retined Earning” dan “Accum Deprec” dengan jurnal:

[Debit]. Accum Deprec = Rp 5,700,000
[Credit]. Retained Earning = Rp 5,700,000

Catatan: Jurnal di atas akan menambah retained earning, dan mengurangi accum deprec, penurunan accum deprec akan menyebabkan nilai buku aktiva tetap kendaraan beroda empat menjadi bertambah Rp 5,700,000.

Langkah selanjutnya ialah meng-alokasi-kan sisa nilai buku aktiva mobil sebesar Rp 5,700,000 pasca—turun—mesin. Critical point-nya disini ialah “ Berapa sisa nilai buku tersebut dialokasikan?” jawabannya tergantung dari berapa umur ekonomis bertambah atas penambahan spare-part dan turun mesin tersebut?.

Saat itu, saya memperkirakan kendaraan beroda empat masih mampu beroperasi hingga 2 tahun ke depan, therefore saya mengalokasikan biaya penyusutan untuk tahun 2001 sebagai berikut:

September – 31 Desember 2001: 4/12 x [Rp 5,700,000/2] = Rp 950,000

Karena ini untuk alokasi tahun 2001 (bukunya sudah ditutup), maka yang dikoreksi ialah rekening “Retained Eraning” sekali lagi, dengan jurnal:

[Debit]. Retained Earning = Rp 950,000
[Credit]. Accum Deprec = Rp 950,000

Catatan: Jurnal diatas menyebabkan retained earning berkurang Rp 950,000 dan accum deprec kendaraan beroda empat bertambah Rp 950,000 juga (which decreased the asset book value as well at the same amount, Rp 950,000).

Setelah semua proses koreksi tersebut, saya memperoleh nilai buku atas mobil sebesar Rp 5,700,000 – Rp 950,000 = Rp 4,750,000

Catatan: Sebelum koreksi saya lakukan, saya melaporkan kasus tersebut kepada CFO perusahaan di luar negeri sana (karena memang perusahaan asing). Dan, semua langkah koreksi yang akan saya lakukan mendapat 101% support dari dia.

Hasil jerih payah tersebut sungguh setimpal dengan hasil yang saya peroleh, baik yang bersifat non-monetary maupun monetary. Dan pengalaman itu membuat saya semakain mencintai dunia accounting hingga ketika ini.


Ada AKTIVA TETAP BERNILAI BUKU NOL TETAPI MASIH BERFUNGSI?, kalau anda pikir okay, you may like to follow my way.

Expenditure biasanya sudah terjadi semenjak sebelum perusahaan didirikan, entah itu berupa PREPAID COST yang lumrah dikenal dengan COMPANY SET-UP, maupun expense yang lebih dikenal dengan PREPAID EXPENSE (Uang Muka Biaya). Ada juga expenditures yang terjadi sesudah perusahaan established tetapi belum sanggup diakui sebagai biaya. Bagaimana perlakuan akuntansinya? Pengeluaran macam apa saja yang tergolong ke dalam company set-up? Apa bedanya dengan legalisasi harga perolehan aktiva? Apa beda diantara keduanya?. Kita akan bahas di posting kali ini beberapa ketika lagi.

Artikel ini akan saya bahas dalam bentuk study masalah (tetapi fiktif adanya) hanya untuk mempermudah ilustrasi saja, dan saya dedikasikan khusus untuk mereka yang sedang menangani perusahaan yang gres berdiri, atau perusahaan sudah bangun tetapi akuntansinya gres digarap.

Kasus : Kebingungan Linda… (ahh…. menyerupai judul novel…. :P).

Hari ini yaitu hari pertama Linda (23 tahun, jebolan polytechnic populer di Singapura, rencanannya wisuda tgl 30 Maret nanti, GPA 3.75) bekerja di PT. Makmur Sentosa. Pagi-pagi sudah dipanggil oleh pak eksekutif dan berikan plastic folder yang isinya adonan nota-nota pengeluaran, akte-akte notaris, premium insurance, termasuk voucher pulsa prabayar yang sudah digosok :P.

Dasar Linda smart, begitu hingga di mejanya, beliau pribadi mengeluarkan dan memilah- milah isi folder tersebut sambil memasukkannya ke dalam spreadsheet.

Nah, dibawah ini yaitu spreadsheet-nya Linda:

 biasanya sudah terjadi semenjak sebelum perusahaan didirikan Prepaid Expenses, Costs & Company Set-up

10 menit kemudian Linda masih geser-geser mouse-nya, tidak terlihat sedang mengetik, kini Linda malah mengeluarkan pengikat rambut, rambut yang tadinya digerai kini mulai diikat, menyerupai orang yang sedang gerah, padahal AC diruangannya bertemperatur 16 derajat celcius, cukup hambar bukan?.

Wah….rupanya Linda sedang kebingungan, mau diposting kemana pengeluaran-pengeluaran tersebut, bagaimana menjournalnya?

Siapa yang mau bantu Linda? Pastinya semua mau bantu, ada teman kebingungan dan perlu bantuan, tentu kita bantu bukan?

Okay, mari kita sama-sama bantu Linda….


Ada 3 (tiga) key point yang harus kita perhatikan:


Key Point-1: Relevansi Transaksi

Akui pengeluaran-pengeluaran hanya yang terkait dengan perusahaan maupun persiapan pendirian perusahaan, dan eliminasi (jangan akui) pengeluaran-pengeluaran yang tidak relevan.

Kita perhatikan daftar transaksi yang dibentuk Linda di atas:

Cantik Spa and Terapist, apakah relevan? Big no, kembalikan notanya ke boss!
Pembuatan akte pendirian perusahaan, apakah relevan? Of course, akui!
Materai @Rp 6000, untuk apa? Untuk isi draft akte, relevan, akui!
Pulsa prabayar, untuk apa? Boss telepon notaris dan konsultan, relavan, akui!
Konsultan, tentu relevan, so akui!
Photocopy, relevan, akui!
Bank Account Set-up, sangat relevan, akui!
Sewa kawasan perjuangan (Kantor), so pasti, akui!
Pembuatan akte sewa menyewa, yoi!, akui!
Ongkos Cat Ruangan Kantor, ya iyalah relevan, akui!
Asuransi Gedung, yupz relevan, akui!
Deposit supplier, ok relevan, akui!
Pasang paping ditempat parkir, sangat relevan!


Okay, kita sudah temukan mana yang relevan mana yang tidak relevan, lalu pengeluaran-pengeluaran relevan tersebut kita akui sebagai apa?

Sabar….sabar…. kita masuk ke key point berikutnya….


Key Point-2: Tanggal Pendirian Perusahaan

Dari mana kita sanggup tahu tanggal pendirian perusahaan? Apakah dari tanggal pengeluaran atas pembayaran ke notaris? Salah…..kita lihat dari TANGGAL AKTE PENDIRIAN, biasanya terletak di sampul depan akte, yang disamping berisi tanggal akte juga termuat NOMOR AKTE dan NAMA NOTARIS-nya. Setelah saya intip, tanggal akte pendirian PT. Makmur Sentosa yaitu 11 Februari 2008 (bukan 10 Februari), rupanya pak notaris dibayar didepan.

Apa hubungan tanggal pendirian perusahaan dengan legalisasi atas pengeluaran perusahaan?

Segala pengeluaran relevan yang terjadi sebelum tanggal pendirian perusahaan hendaknya diakui sebagai COMPANY SET-UP COST yang nantinya akan kita kelompokkan ke dalam AKTIVA TETAP TAK BERWUJUD (Intangible Asset), sedangkan segala pengeluaran relevan yang terjadi sesudah tanggal pendirian diakui sesuai dengan jenis pengeluarannya.

Mungkin anda ingin bertanya: Bagaimana dengan pengeluaran untuk pulsa prabayar dan photocopy yang terjadi sebelum tanggal pendirian perusahaan? Apakah akan diakui sebagai company set-up dan akan menjadi intangible asset? “WOW!

Sabar…sabar… kita lanjutkan ke key-point selanjutnya…..


Key Point-3: Potensi Masa Manfaat

Pengeluaran sebelum tanggal pendirian yang mempunyai potensi masa manfaat lebih dari satu tahun buku diakui sebagai PREPAID COST yang akan kita golongkan ke dalam COMPANY SET-UP, sedangkan yang potensi masa keuntungannya kurang dari satu tahun buku (i.e.: meterai, photocopy, pulsa prabayar) kita akui sebagai PREPAID EXPENSE.

Kedua pengeluaran tersebut akan pribadi masuk ke dalam SALDO AWAL NERACA perusahaan, dicatat dengan mengkredit rekening MODAL.


Bedanya?.

Prepaid Expense (Uang Muka Biaya):

Masuk ke dalam kelompok AKTIVA LANCAR, dan sesudah perusahaan beroperasi, rekening pre-paid diconvert menjadi expense yang sesuai.

Jurnalnya:

Sebelum perusahaan beroperasi:
[Debit]. Prepaid Expense (Uang Muka Biaya)
[Credit]. Capital (Modal)

Catatan: Jurnal di atas akan menciptakan Saldo Awal Neraca Akan terisi dengan Prepaid Expense di sisi aktiva dan Capital di sisi Equity.

Setelah perusahaan beroperasi (i.e.: sebelum penutupan buku periode pertama), prepaid expense diconvert dengan menjurnal:
[Debit]. Expense (i.e.:Telephone/Misc Exp/Office Supplies)
[Credit]. Prepaid Expense (Uang Muka Biaya)

Catatan: Jurnal kedua diatas, akan menciptakan prepaid expenses yang kita akui pada ketika perusahaan belum bangun akan terhapus (washed) dan bermetamorfosis expense yang kita bebankan pada periode pertama perusahaan beroperasi.


Prepaid Cost (Company Set-up):

Masukkan ke dalam AKTIVA TETAP TAK BERWUJUD, dan DIAMORTISASI sesudah perusahaan beroperasi.

Jurnalnya:

Sebelum perusahaan beroperasi:

[Debit]. Company Set-up (Intangible Asset)
[Credit]. Modal (Capital)


Setelah perusahaan beroperasi (i.e.: menjelang penutupan buku) diamortisasi dengan jurnal:

[Debit]. Amortisasi Aktiva Tak Berwujud
[Credit]. Company Set-up

Wait.... mungkin anda ingin bertanya: Berapa usang Company Setup diamortisasi?

Umumnya setiap perjuangan tentunya dibutuhkan sanggup beroperasi selama mungkin, dengan kata lain; tidak ada pemilik perjuangan yang berharap perusahaannya beroperasi hanya untuk periode tertentu saja, tetapi dalam Undang-undang Perseroan Terbatas telah diatur (kalau saya tidak salah) 30 tahun. Untuk lebih pastinya, bacalah di Akte Pendirian Perusahaan. Untuk itu, Company Set-up diamortisasi selama umur usaha.

Bagaimana dengan expenditures sesudah tanggal pendirian perusahaan?

Perlakuannya sama saja dengan pengeluaran-pengeluaran sesudah perusahaan beroperasi:

Pengeluran-pengeluaran yang berpotensi menghasilkan manfaat lebih dari satu tahun buku, akui sebagai acquisition cost (harga perolehan aktiva), untuk disusutkan/diamortisasi nantinya. Sedangkan bila hanya akan memberi manfaat satu tahun buku saja atau kurang, maka akui sebagai expenses (biaya), tentunya dikelompokkan ke dalam rekening biaya yang sesuai. Hanya saja…………

Hanya saja, biar memperoleh demam isu analisis yang masuk akal dan memenuhi the matching principle, maka perhatikanlah unsur revenue (pendapatan) yang terjadi pada ketika itu. Jika atas biaya tersebut akan menjadikan revenue pada periode yang sama, maka sanggup pribadi diakui sebagai biaya sekaligus. Jika belum, maka akuilah sebagai BIAYA DIBAYAR DIMUKA (prepaid expense), dan nanti bila pengeluaran tersebut mulai menghasilkan revenue, maka convert prepaid expense menjadi biaya yang sesuai.

Dalam masalah ini, asuransi gedung yang masa pertanggungannya yaitu tahunan, maka pada bulan pertama dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Prepaid Expense (i.e.: pre-paid insurance)
[Credit]. Cash

Nantinya bila sudah mulai menghasilkan revenue, prepaid expense diconvert menjadi biaya dengan jurnal:

[Debit]. Insurance
[Credit]. Prepaid Insurance



Kesimpulan

Dari 3 Key Point di atas, maka daftar transaksi Linda di atas sanggup kita jurnal menyerupai dibawah ini:

 biasanya sudah terjadi semenjak sebelum perusahaan didirikan Prepaid Expenses, Costs & Company Set-up

Dari Author

Dengan study masalah yang saya angkat ini, mudah-mudahan Linda-Linda yang lain tidak kebingungan lagi, jikapun masih ada Linda-Linda lainnya yang belum membaca study masalah ini, saya mengharapkan anda yang sudah memahami masalah ini sanggup membantu Linda-Linda yang sedang kebingungan :-) Jikapun masih ada yang belum mengerti atau ragu-ragu, atau punya view yang berbeda atas masalah ini, silahkan tulis komentar anda disini. Feel free !

To your success,

Lie Dharma Putra

Kasus pajak ini sering terjadi; sehabis pengaliha perjuangan dilakukan, pemilik gres menemukan adanya kewajiban pajak historical yang tidak dilaksanakan oleh pemilik lama, masalhnya kewajiban pajak menempel pada tubuh usahanya, bukan pada pemiliknya. Apa yang harus dilakukan, apakah mengikuti jejak pemilik usang dengan tetap tidak melapor, atau mulai lapor pajak yang tak ubahnya menyerupai mebangunkan macan tidur.

Ini yaitu kasus yang disampikan oleh rekan kita melalui e-mail:

Dari: Ms. My L

Kalau ada case pengalihan perjuangan dari owner usang ke owner baru, kemudia gres diketahui kalau dari owner owner sebelumnya sama sekali tidak pernah membayar dan melapor pajak, kemudian apa yang sebaiknya dilakukan oleh owner baru:
Melapor pajak yang bertahun tahun tak terbayar menyerupai membangunkan macan tidur, atau mengikuti jejak owner usang mengabaikan begitu saja pelaporan pajaknya?

Menurut bapak langkah apa yang paling tepat?
Terima kasih atas perhatian bapak, juga blog bapak , thx atas blog pembelajarannya, sangat mempunyai kegunaan dan menambah wawasan


Dari Author:

Ini pelajaran yang sangat berharga. Disinilah peranan auditor independent diperlukan, supaya dapat melaksanakan investigasi komprehensive atas semua manajemen perusahaan mulai dari accounting hingga dengan perpajakannya.

Sebelum pengambil-alihan suatu perjuangan (oleh owner yang baru) seharusnya dilakukan audit menyeluruh supaya sebelum pengambil alihan terjadi, calon pemilik gres dapat melaksanakan mapping dengan niscaya apa saja kewajiban-kewajiban yang belum dipenuhi, dan apa saja hak-hak yang belum diterima, kemudian dibandingkan, sehingga dapat diketahui berapa kekayaan higienis peruhaan sebenarnya (berapa net assetnya? = berapa asset dikurangi kewajibannya?), yang pada hasilnya dapat memutuskan untuk membeli (mengambil-alih) atau tidak.

Pembelian perusahaan (keseluruhan saham atau sebagian) tentunya telah didahului oleh pertimbangan-pertimbangan bisnis yang matang mengenai potensi keuntungan, termasuk potensi resiko-nya.

Apapun itu masalahnya, itu telah terjadi dan harus dihadapi bukan?

Tentunya tidak dengan berpasrah diri begitu saja, ada usaha-usaha SERIUS yang perlu dilakukan untuk meminimize (kalau dapat meng-eliminasi) potensi resiko yang ada.

Skipping the problem is not a solution, tidak ada bedanya menyerupai menanam bomb di dalam rumah sendiri, dapat meledak sewaktu-waktu.


Langkah-langkah yang dapat dilakukan:

1. Hitung semua perpajakannya dari mulai NPWP terbit hingga ketika ini, supaya dapat diketahui (paling tidak memperkirakan): berapa utang pajak seluruhnya?.

2. Setelah diketahui berapa utang pajaknya, gres dipertimbangkan : langkah apa sebaiknya ditempuh :

[-] Tidak melapor sama sekali (dengan resiko, bunga atas hutang pajak semakin membengkak)? Atau;

[-] Melapor pajak, mulai ketika ini saja (tanpa melaporkan kewajiban perpajakan dimasa lalu), dengan resiko mungkin kantor pajak mulai memperhatikan perusahaan ini dan sangat mungkin akan menelusuri historicalnya? Atau;

[-] Melaporkan semua kewajiban perpajakan dari masa-masa yang sebelumnya?

Beberapa hal lain yang dapat dijadikan dasar pertimbangan:

[-] Kapan NPWP terbit? 1 tahun yang lalu? 2 tahun yang lalu? atau 5 tahun yang lalu?. bila masih 1-2 tahun yang lalu, pemilik perjuangan masih memungkinkan untuk menciptakan pernyataan bahwa selama 2 tahun sebelumnya perusahaan belum beroperasi sepenuhnya. Bukan berarti perusahaan boleh tidak melapor, tentunya disertai dengan data dan fakta yang sesuai, dan atas kelalian tersebut pastinya akan kena denda. Tapi bila lebih dari 2 tahun, tentunya tidak bisa.

[-] Apakah dimasa yang kemudian perusahaan dalam keadaan untung atau rugi?. Jika dalam keadaan rugi (memang benar-benar rugi), maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?. bahkan mungkin perusahaan dapat memperoleh "Lost Carry Forward" (kurugian dimasa kemudian yang dibebankan pada masa kini dan masa yang akan datang). Tetapi bila dalam kondisi untung, tentu perusahaan harus membayar pajak atas laba tersebut beserta bunga dan dendanya.


Upaya lain yang dapat dilakukan:

Lakukanlah internal audit atas operasional perusahaan untuk periode-periode sebelumnya, bila memang ada indikasi kebohongan, misalnya: saat transaksi jual beli dilakukan, pemilik usang menyatakan nilai kekayaan higienis perusahaan ketika itu yaitu 5 millyard, sehabis dilakukan audit ternyata kekayaan higienis perusahaan pada ketika itu hanya diperkirakan 1 millyard, mungkin langkah-langkah berikut ini dapat dilakukan:

Mintalah jasa independent auditor untuk melaksanakan investigasi yang menyeluruh supaya memperoleh kesimpulan yang lebih niscaya dan mempunyai legitimasi yang cukup. Jika memang terbukti terjadi pembohongan, pemilik gres dapat membicarakan kembali dengan pemilik lama. Jika pemilik usang dengan bangga bersedia menawarkan kompensasi (ganti rugi), tentu ini sangat baik. Jika tidak, tentunya pemilik gres (sebagai pihak yang dirugikan) dapat melaksanakan upaya-upaya aturan atas kasus kecurangan yang telah terjadi.

Perlu disadari bahwa ada cost atas usah-usaha serius tersebut. Adapun cost atas upaya-upaya tadi meliputi:

[1]. Monetary cost (tentunya dapat dihitung):

Fee untuk Auditor independent
Fee untuk Pengacara

[2]. Non-monetary cost (yang sulit untuk diukur):

Waktu yang dikonsumsi
Opportunity cost
Stress bagi staff
Company image

Non-monetary cost patut menjadi pertimbangan utama, untuk sebuah pertanyaan:

Should company devote all focus and energy for the issue, OR face the fact and shutdown the issue as soon as possible then move the focus to create more value and gains more profit on next stage?.

***A scaleable business sense and wise paradim applies***



Semoga menjadi dukungan yang berguna.


Biaya Entertainment.

Biaya entertainment merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses) sepanjang ada hubungan dengan acara wajib pajak dan dibuatkan daftar nominatifnya. Dengan demikian biaya entertainment yang tidak dilengkapi dengan daftar nominatifnya merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan.

Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya sepanjang untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) karakter a Undang-undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008. Contoh Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya yaitu jamuan makan untuk kekerabatan bisnis.

Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan acara perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil). Bagi Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya, biar melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Badan atau PPh Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan berupa daftar nominatif yang berisi :

1.      Nomor urut.
2.      Tanggal "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
3.      Nama daerah "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
4.      Alamat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
5.      Jenis "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
6.      Jumlah (Rp) "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
7.      Relasi usaha yang diberikan "entertainment" dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut tersebut di atas berisi :
a)      Nama
b)      Posisi
c)      Nama perusahaan
d)     Jenis usaha.

Perusahaan seringkali melaksanakan koreksi fiskal aktual atas biaya entertainment dalam laporan keuangan fiskalnya, sehingga mereka akan membayar pajak 30% lebih besar dari biaya total entertainment yang dikoreksi positif. Perusahaan dapat mengurangi beban pajak dengan membuat daftar nominatif dan melampirkannya dalam SPT Tahunan PPh Badan, dan menyimpan bukti pendukung pengeluaran entertainment tersebut, hal ini akan menghemat pajak sebesar sebesar 30% dari biaya entertainment yang boleh dikurangkan.

Perusahaan kadangkala membebankan juga bantuan uang tips, pengurusan dokumen atau izin, dan jamuan pemimpin projek ke dalam biaya entertainment atau biaya lain-lain, sementara daftar nominatifnya tidak dapat dibuat. Sebagai konsekuensinya, biaya entertainment yang tidak didukung daftar nominatif harus dikoreksi dikala menghitung PPh Badan pada final tahun. Perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut ke dalam bantuan honor atau imbalan kepada pihak ketiga untuk menghemat PPh. Penghitungan pajak dilakukan dengan cara gross-up, sehingga penghematan pajak dapat optimal. Akan tetapi, kalau perusahaan merugi, maka PPh Badannya akan nihil, sehingga pembebanan ke biaya entertainment dapat dilakukan untuk menghemat pajak

Benarkah ACCOUNTING & FINANCE Department hanya sebuah SUPPORT CENTER (service center) dan COST CENTER?. Salah satu fungsi data keuangan ialah sebagai sumber data analysis dan pengendalian keuangan serta kinerja. Jika tahu bagaimana cara membuatnya berfungsi maksimal, sesungguhnya data keuangan memang pantas untuk menjadi top priority dalam keseharian kerja kita di accounting & finance. How?

DO WE “REALLY” KNOW HOW TO UTILIZE’em to a maximum level?

Atau (bahasa politic yang popular):

Apakah kita tahu bagaimana “memberdayakan” fungsi accounting dan keuangan hingga ke tingkat yang maksimal?

Dengan mengetahui arti penting dan tahu cara mem-fungsi-kan data-data yang begitu di-confidential-kan oleh perusahaan manapun, kita akan tahu bagaimana mengumpulkan (collecting), mengakui (recognizing), mengklasifikasikan (classifying), melaporkan (summarizing & reporting) dan……jangan lupa menganalisa (analyzing) & pengendalian (controlling) dengan lebih baik, dan menimbulkan data-data accounting menjadi sumber informasi yang paling akurat, dapat di handalkan, menjadi cost-cutter leader, dan….

Dan ujung dari itu semua, akan membuat accounting/finance dept:

[-]. Menjadi salah satu department yang paling disegani (if not scaring).

[-]. Tidak lagi menjadi materi cibiran bahwa Accounting/Finance Dept tak lebih dari sebuah “Support Center” dan “Cost Center”.

[-]. Tidak lagi hanya dibaik-baikin kalau mereka (read:pegawai lain) akan minta cash advance (=cash bon?).

[-]. Tidak lagi dianggap departemen yang hanya (excuse my french) “makan gaji buta” alasannya ialah setiap hari kerjanya hanya di belakang computer memindahkan mouse pointer dari ujung screen atas kebawah - keatas lagi - kebawah lagi dari jam 9 am hingga jam 5 pm.

[-]. Tidak lagi menjadi prioritas terakhir dalam rencana kenaikan gaji pegawai.


So you wanna questioning me “How?”

Kunci dari semua itu ialah bagaimana kita dapat mengubah image “accounting—hanyalah—support-cost center” menjadi “Accounting—sebagai—Lead Center”. Information center that other department can’t life without, sumber data yang membuat department lain bahkan the whole organization tidak mampu bekerja tanpa accounting & finance dept.

That sounds daunting eh?, or too good to be true?, but lets talk about this a bit more and go to the details later.

Sebelum saya lanjut ke bab “what?”, “why?”, dan “How?” –nya, saya akan bercerita sedikit mengenai pengalaman langsung saya terkait dengan topic ini.

I don’t mean to insult anybody (party) for whatsoever. Tidak bermaksud menyinggung, no, tolong jangan di salah artikan. Samasekali di luar context itu. Ini ialah topic ilmiah, dan saya hanya ingin menyebarkan pengalaman, sharing opini, yang sukur-sukur kalau mampu menambah wawasan berpikir, membesarkan hati, memberi semangat, atau memberi inspirasi? Amin!

Suatu sore-petang, few years ago (kalau tidak salah di awal tahun 2003-an), selepas jam kantor ada program makan bersama, termasuk semua manager dan assistant dari bab lain tentunya.

Selesai makan, tentu masih ada sisa waktu kalem untuk berbincang-bincang sambil menghabiskan minuman, Hingga kami terlibat obrolan seru (yang bagi saya ialah mengasik-kan) alasannya ialah topic-nya tergolong ilmiah.

Berikut ialah obrolan kami waktu itu. Pembicara saya singkat menjadi intial karakter dari sebuah jabatan (karena saya belum minta ijin beliau-beliau untuk memuat namanya di sini).

MM = Marketing Manager
PM = Production Manager
WSM = Warehousing & Shipping Manager
HRM = HRD Manager
RDM = Research & Development Manager
FC = Financial Controller

(Yang terlibat obrolan waktu itu hanya: HRM, PM, WSM & MM dan FC, sedangkan RDM sudah pamit pulang duluan, obrolan dimulai oleh HRM….)

[HRM]: Pak FC, thanks sudah men-treat kita-kita, sekaligus congratulation untuk gaji pertamanya, semoga betah bergabung dengan kita-kita.

[FC]: You’re welcomed, thanks for supporting.

[PM]: Dan mudah-mudahan ini bukan gaji pertama sekaligus gaji terakhir ya pak…:P

(Sulit ditangkap apa maksudnya, tapi “a weird statement indeed”, sambutan yang hangat saya pikir :-) ).

[FC]: Wah kenapa begitu?, maksudnya bagaimana?

[PM]: Begini pak FC, Accounting Manager yang dahulu, hanya bertahan 1 bulan, nah saya berharap accounting manager yang sekarang lebih baik dari itu.

[FC]: Mengapa mampu begitu?

[PM]: Mungkin dia (Accounting manager yang dahulu) menyadari posisinya?

(Lagi-lagi statement pak PM sulit untuk dipahami)

[FC]: menyadari posisinya?, maksudnya?

[PM]: Yah…. bab keuangan (Accounting/Finance), kan hanya support center yang cenderung ke cost center lah ya….

(Wah mulai hangat suasananya. Tetapi menarik, topic beralih ke “Performance Audit”, salah satu topic favourite saya).

[FC]: I see…… so….?

[PM]: Nah kalau kita-kita kan targetnya jelas, prestasi terperinci mampu diukur

[FC]: I see… wah bagaimana tuh cara mengukurnya?

[PM]: Makin banyak volume produksi, makin berprestasi…

[FC]: Quality?

[PM]: Kalau dilema quality, mengacu ke AQL saja

(AQL= Accepted Quality Level, nama standarisasi untuk mutu product, dimana jumlah barang tidak lolos Quality Control tidak boleh melebihi percentage tertentu yang telah ditentukan oleh Quality Assurance Association).

[FC]. Kalau PLT? how good do you improve that?

(PLT = Production Lead Time = Lamanya waktu penyelesaian pesanan)

[PM]: zzzz….. (mengisap rokok tanpa menjawab)

[FC]: Kalau MM, bagaimana mengukur prestasi Marketing Dept?

[MM]: Kami Revenue Center, ya terperinci dari SUM OF SALES lah

(Sum Of Sales = Total Penjualan dalam USD/IDR)

[FC]: Customer Satisfaction?, Conversion Rate? Rasio antara new order dengan repeat order? Bagaimana?

(Conversion Rate dalam marketing = rasio calon pelanggan dan pelanggan musiman yang mampu di-convert/diubah menjadi pelanggan tetap)

[MM]: :-) (Cuma nyengir)

[FC]: Kalau HRM & WSM bagaimana mengukurnya?

[HRM]: ;-) (Cuma nyengir)

[WSM]: Kalau saya sih, makin banyak barang yang mampu selesai di-packing dan di berangkatkan makin bagus.

[FC]: Fungi? Moulding? Ground handling?, L/C discrepancies? custom clearance?

(Sepi sesaat…….sampai ketika….ini bab yang penting diperhatikan)

[PM]: Kalau FC gimana caranya mengukur prestasi bab keuangan?, bukannya nanti ujung-ujungnya toh mengeluarkan uang, dan tidak mungkin menghasilkan uang, bukan?

(wah lumayan pedas…)

[FC]: Mengukur prestasi bab keuangan… sebagai support center yang cenderung cost center……(dengan nada menyindir) makin sering saya dan belum dewasa accounting/keuangan menemukan anda-anda itu melaksanakan fraudulence (korupsi dan penyelwengan) atau melaksanakan acara yang tidak effisien dan merugikan, ya makin berpretasi.

[PM]: pak FC bercanda, yang pegang uang kan anda, bukan saya, bagaimana saya mampu korupsi?

[FC]: pak, corruption & fraudulence itu bentuknya mampu macam-macam, korupsi waktu, menggunakan kemudahan kantor untuk kepentingan pribadi, insider trading (perusahaan dalam perusahaan), me-redirect customer keluar rantai penjualan kita, data theft, information theft, supplier brabe, dan 1001 bentuk lainnya.

[PM]: Apakah itu suatu prestasi?, apakah itu menghasilkan pendapatan?

[FC]: Yang dibutuhkan oleh perusahaan bukan pendapatan, bukan jumlah (volume) produksi, bukan juga penjualan (sales), bukan jumlah container yang mampu di shipped-out. Yang dibutuhkan perusahaan ialah “PROFIT”, “VALUE ADDED”.

[MM]: Hubungannya dengan korupsi, penyelewengan & effisiensi?

[FC]: Profit & value added tidak hanya mampu diperoleh dengan meningkatkan volume produksi dan nilai penjualan, tetapi juga mampu diperoleh dengan menekan cost, meningkatkan effisiensi, mencegah kebocoran. Tanpa itu, semua product yang dihasilkan maupun dijual ialah kesia-siaan.

[PM]: Tetapi waktu kita kuliah, rasanya yang menjadi tolak ukur prestasi production dept hanya jumlah (volume) product yang dihasilkan, makin banyak makin bagus. Apakah pak FC sudah lupa itu?

[FC]: Benar sekali, tetapi approach menyerupai itu berlaku dahulu waktu industry dan usaha masih “Product oriented” dimana sources (sumber daya) masih melimpah, rasio supply-demand masih kecil, jumlah permintaan masih lebih besar dibandingkan jumlah product yang tersedia dan competition masih sangat rendah. Tetapi di masa sekarang ini, di masa kompetisi yang begini ketat, dan sources yang semakin berkurang, usaha sudah harus “Market Oriented & Profit oriented.


Nah hingga di sini saya penggal bentuk percakapannya. Berangkat dari mini serie derama tadi, kita akan ulas dan bahas “How to broaden and maximize the accounting/finance function” atau bahasa politic kita di Indonesia “Bagaimana memberdayaken bab accounting & keuangan”, yang bersama-sama juga saya intisarikan dari penjelasan panjang lebar saya terhadap colleagues saya waktu itu.

Maximizing (baca:memberdayakan) fungsi accounting dan keuangan kuncinya ialah MELIHAT GAMBARAN OPERASIONAL PERUSAHAAN SECARA KESELURUHAN, see the big picture, the whole process, dari awal siklus hingga selesai dan kembali ke awal lagi. Dari gambar besar, gres kita masuk ke bagian-bagian kecilnya yang lebih detail.

Misalnya:

[-]. Untuk perusahaan jasa : dimulai dari kegiatan perancangan dan perencanaan penjualan jasa, marketingnya, proses pembuatan contract jasa, proses penyerahan jasa beserta follow-up-nya, proses pembayaran beserta follow-up-nya, hingga client meminta jasa kembali untuk yang kedua kalinya, kontrak gres ditandatangani dan seterusnya.

[-]. Untuk perusahaan dagang: dimulai dari kegiatan promosi, pemesanan barang ke vendor (supplier), mendapatkan pesanan barang, hingga barang diserahkan….dan seterusnya hingga proses promosi kembali.

[-]. Untuk perusahaan manufaktur (industry): mulai dari proses research & development (penelitian dan rancang—bangun), promosi dan marketing, proses penjualan, perencanaan produksi, proses produksi, barang di serahkan (dikirimkan), proses pembayaran (penagihan), repeat order (back order), hingga proses research development kembali.

Dengan memahami keseluruhan proses operasional dari awal hingga ke awal lagi, akan membuat kita lebih waspada dan peka (aware) terhadap semua aktifitas operasional perusahaan.

Dan pemahaman alur operasional perusahaan diintegrasikankan (integrating) dan disinergikan (combining), dan laverage dengan:

[-]. Aktifitas pengendalian

direalisasikan dengan;

[-]. Audit keuangan dan audit kinerja

adalah kunci dari pemberdayaan accounting/finance department. Kedua hal tersebut menurut saya ialah pilar untuk dapat memberdayakan accounting/finance department, yang artinya; accounting/finance dept hanya mampu disegani dan dihargai dengan semestinya apabila dapat melaksanakan “minimal” kedua fungsi tersebut secara maksimal.


Pengendalian (Controlling) - Sekilas

Membandingkan antara apa yang dipahami dalam proses operasional dengan realisasi transaksi mungkin akan membuat kita terkejut dan terkaget-kaget, menemukan banyaknya perbedaan, penyimpangan dan keganjilan yang terjadi. Berangkat dari data itulah proses “cost-cutting (pemangkasan cost/biaya) approach" dan bentuk pengendalian lainnya dirancang dan diterapkan tentunya.

Essence dari pengendalian adalah memastikan semua sumberdaya perusahaan (keuangan & manusia) dipergunakan secara effisien guna dapat mencapai tujuan perusahaan (Company’s objective), yang secara umum tentunya menghasilkan GAIN (keuntungan dalam banyak sekali bentuk) yang maksimal.

Contoh: (dari percakapan di atas)

Dikatakan oleh production manager [PM] bahwa prestasinya diukur dari jumlah (volume) product yang dihasilkan. Tahun kemaren berhasil memproduksi 10,000 unit, tahun ini mampu memproduksi 15,000 unit.

Apakah itu sudah prestasi?, kalau iya, berapa besar prestasinya bila di convert ke rupiah/dollar?. Sudahkah semua fasilitas, peralatan, mesin, tenaga kerja dan raw material dipergunakan dengan tingkat efficiency yang maksimal?. Berapa nilai tambah (value added) yang telah diberikan kepada perusahaan dari setiap unit product yang dihasilkan?

Tingkat effisiensi tentunya dapat diukur dengan cara membandingkan antara cost/expense yang timbul dengan nilai product yang dihasilkan. Sedangkan nilai tambah-nya (value added) diukur dengan membandingkan antara Gross Margin (GM) periode sebelumnya dengan Gross Margin saat ini. Selisih itulah merupakan realisasi value added yang berhasil dibuat (sebuah prestasi) untuk periode ini. Penilaian tingkat effisiensi dilakukan dengan jalan melaksanakan “Audit Keuangan”, disinilah accounting/finance department mengambil peranan, MENJADI LEADER.

Kesimpulan:

Menjadikan volume (jumlah) product yang dihasilkan sebagai ukuran prestasi ialah sebuah tanda tanya, “a premature contribution recognition”, mengakuan kontribusi yang terlalu dini, masih perlu diukur lebih jauh lagi.


Audit Kinerja (Performance Audit) – Sekilas

Salah satu perwujudan dari aktifitas pengendalian ialah audit kinerja, yaitu mengukur dan menilai kinerja semua element (personal) perusahaan, mulai dari level yang paling bawah hingga ke level yang paling atas.

Tujuan utama dari audit kinerja (audit performance) adalah:

[1]. Memastikan setiap rupiah/cent yang dibayarkan ke setiap personal (pegawai) perusahaan ialah rupiah/cent yang memang benar-benar PANTAS untuk dibayarkan tidak under-paid ataupun over-paid). Kata “pantas” disini bermakna 2, yaitu:

(a). Pegawai/pekerja memang telah mendapatkan angka yang wajar diterima sebagai hak atas kontribusi yang diberikannya kepada perusahaan.

(b). Jasa kerja yang diserahkan oleh pegawai (pekerja) memang sudah setimpal dengan kompensasi (gaji/upah, incentive, uang lembur, uang makan, dan bentuk reward lainnya) yang diterimanya.

Intinya ialah membandingkan setiap rupiah/cent yang dibayarkan untuk tenaga kerja & pegawai dengan setiap jenis kontribusi yang diterima oleh perusahaan.

[2]. Mengidentifikasi dan mencari pemecahan masalah terkait dengan pemberdayaan setiap pegawai, section, department dan perusahaan secara keseluruhan biar dapat menunjukkan kontribusi yang maksimal ke arah pencapian goal perusahaan.


Kedua fungsi itu sudah merupakan TICKET yang cukup untuk dapat memberdayakan accounting/finance department. Dan itu semua hanya akan mampu terlaksana apabila kita:

[-]. Betul-betul memahami alur proses operasional perusahaan dengan baik (the more detail, the better it is).

[-]. Memiliki data keuangan yang akurat, sanggup mendapatkan amanah dan dihandalkan. Sehingga mampu dijadikan data analysis yang akurat, dijadikan navigasi oleh setiap department di perusahaan untuk operasional berikutnya.

[-]. Melakukan analisa dan pengendalian yang ketat atas setiap aktifitas yang ada.

Tentu saja itu bukan pekerjaan yang mudah dan cepat mampu dilaksanakan, diperlukan:

[-]. Kesungguhan
[-]. Consistency dan persistency

Di posting saya yang lainnya nanti, mungkin kita akan bahas mengenai : BASIC ANALISA LAPORAN KEUANGAN, yang mudah-mudahan mampu dijadikan bekal dasar untuk mampu memberdayakan accounting/finance department ditempat kerja masing-masing dimasa-masa yang akan datang.

Apakah benar accounting/finance departement hanya merupakan SUPPORT CENTER dan COST CENTER? Well tergantung, apakah accounting/finance sudah mampu melaksanakan fungsi-fungsinya atau belum.

Artikel ini akan membahas mengenai : Penentuan Harga Pokok Penjualan ( COGS ), hubungannya dengan PPn Import, PPh Pasal 22 Import, beserta pengkreditan kedua jenis pajak tersebut. Diangkat dari masalah yang disampaikan oleh saudara Ydy di Jakarta. Akan dibahas step by step dengan screen shoot – screen shoot dan konstruksi: Proses Penjurnalan, Buku Besar, Inventory Card, hingga Profit & Lost Statement. Saya mengusahakannya sesederhana dan sesingkat mungkin supaya gampang dipahami dan diikuti oleh siapapun (yang tidak pernah menangani masalah import sekalipun), tentu saja tanpa mengabaikan detail dan konsep dasar dan logika-logikanya. Dan menyerupai biasa saya akan sertai catatan-catatan yang saya anggap penting.

Artikel masalah ini saya dedikasikan untuk semua rekan-rekan dibagian accounting, keuangan dan perpajakan yang sedang mengejar deadline SPT Tahun Takwim 2007 yang sudah harus disetor paling lambat tanggal 20 Maret, dan laporan paling lambat tanggal 25 Maret ini, tinggal beberapa hari saja. Saya ada tips khusus diakhir artikel nanti :-)

Kita pribadi ke kasusnya:


Data Import

Pada tanggal 01 February 2008, PT. Royal Bali Cemerlang mengimport barang dagangan dari Canada sebanyak 4700 unit dengan data-data (setelah di-convert ke Rupiah) sebagai berikut:
 beserta pengkreditan kedua jenis pajak tersebut COGS, PPn & PPh Pasal 22 ImportHarga Pokok Penjualan), dipecah lagi menjadi : Inventory, Raw Material, Direct Labor Cost, Overhead Cost. Tetapi pada masalah ini, Direct Labor Cost dan Raw Metrial tidak tersedia, sebagai gantinya hanya muncul muncul semua element expenditure sehubungan dengan Import yang sebenarnya merupakan “Overhead Cost” yang saya munculkan menyerupai aslinya, supaya gampang dipahami.

Gross Profit, didapat dengan formula : Revenue [minus] COGS.

Expenses, yaitu biaya-biaya yang muncul sehubungan operasional perusahaan yang tidak dipengaruhi oleh output (produktifitas) perusahaan. Seharusnya ada elemen depreciation/amortization expenses, akan tetapi pada masalah ini saya tidak munculkan supaya lebih sederhana.

Earning Before Tax, diperoleh dengan formula: Gross Profit [minus] Expenses
Setelah semua elemen diatas seharusnya ada : Corporate Income Tax (PPh Badan), Earning After Tax (Profit Earning). Tetapi alasannya yaitu masalah ini focus pada penentuan “COGS” saja, maka saya tidak akan bahas di posting ini (kita bahas di postingan yang lain).

Setelah saya construct, semua angka saya masukkan, maka Profit & Lost statement menjadi menyerupai dibawah ini:
 beserta pengkreditan kedua jenis pajak tersebut COGS, PPn & PPh Pasal 22 ImportHarga Pokok Penjualan & Harga Pokok Produksi atau Harga Pokok Penjualan (Cost Of Good Sold) - Basic atau Harga Pokok Penjualan Usaha Dagang (Trading)


Persyaratan-Persyaratan  Beban  Promosi Sesuai Peraturan Perpajakan.

Setiap usaha pastilah ada acara untuk memasarkan barang atau jasanya dan dalam acara pemasaran akan dijumpai biaya untuk promosi. Makara biaya promosi yaitu biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperkenalkan atau menganjurkan pemakaian produk baik secara eksklusif ataupun tidak untuk mempertahankan atau meningkatkan penjualan. Namun demikian ada ketentuan khusus dalam perpajakan biar biaya promosi dapat dikurangkan dari peredaran bruto.

Biaya promosi yang dapat dikurangkan meliputi biaya periklanan pada media, biaya bazar produk, biaya pengenalan produk, biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk. Sedangkan perlindungan dalam bentuk uang atau sumbangan tidak dapat dikategorikan sebagai biaya promosi demikian juga biaya untuk mendapatkan, menagih dan memlihara penghasilan yang bukan objek pajak atau pajak simpulan juga tidak dapat dimasukkan sebagai biaya promosi.

Persyaratan yang harus dipenuhi biar biaya promosi dapat dikurangkan dari peredaran usaha harus diberikan daftar nominatif sesuai ketentuan. Daftar nominatif ini dilampirkan pada ketika pelaporan SPT tahunan PPH badan. Dan dalam hal perlindungan sample produk pembebanan biaya promosi sebesar harga pokok produk sample tersebut dan sepanjang belum dibebankan.

Dengan peraturan yang gres ini, lebih menjamin kepastian hukumyang sama terhadap biaya promosi dan ketentuan ini dikeluarkan pada bulan Jan 2010 melalui peraturan nomor 02/KMK03/2010 yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2009. Dalam peraturan lama yang sudah tak berlaku, terdapat pembatasan prosentase biaya promosi yang boleh dikurangkan dari peredaran bruto terutama untuk industri rokok dan Farmasi. Dan semoga dengan peraturan yang gres ini akan lebih mendorong suasana usaha yang mendukung.

COST OF GOODS SOLD (COGS) mampu saya lanjutkan lagi setelah sempat diselingi oleh topic-topic yang lain, kali ini ialah HARGA POKOK PRODUKSI – COST OF GOODS SOLD untuk perusahaan manufaktur.

Perlu diketahui, mengenai Harga Pokok Penjualan untuk perusahaan manufaktur, scoop-nya sangat luas, meng-cover semua cost accounting (Akuntansi Biaya) mulai dari awal siklus sampai terbentuknya harga pokok penjualan. Obviously saya akan post di sini secara bertahap (baca: serial), jikalau tidak maka satu artikel mengenai harga pokok penjualan saja mampu menjadi giga article, yang page loadnya mungkin akan sangat lama. Tetapi jangan khawatir, kita akan lewati itu semua pelan-pelan, kita bahas satu persatu, bertahap tentunya.

Pada kesempatan kali ini kita akan bahas basicnya dahulu. Jangan under-estimate dahulu, basic is always the heart of the whole knowledge. Tanpa penguasaan dasar-dasarnya, saya khawatir akan membuat kebingungan (bahkan tersesat) ditengah jalan nanti.

Bagi rekan-rekan yang kebetulan dikala ini sedang bekerja di perusahaan yang tanpa aktifitas produksi (non-manufacturer), mungkin perusahaan dagang, jasa, atau bahkan di koperasi, yayasan, LSM (NGO) atau bentuk organisasi nir-laba (non-profit organization), saya mampu mengerti jikalau anda tidak terlalu tertarik dengan topic ini. Tetapi saya ingin argue anda untuk tetap mengikutinya, kenapa?

Sebagai orang accounting (apalagi sarjana akuntansi), sungguh lucu jikalau anda tidak menguasai cost accounting (akuntansi biaya). Akuntansi biaya hampir mendominasi seluruh problem di dalam akuntansi. Lagipula puncak career dari accounting ialah menjadi seorang CFO (Chief Financial Officer), atau mungkin menjadi partner di accounting firm (KAP), dan untuk mencapai jenjang itu harus menguasai semua problem accounting (the whole circumstances and its all miscellaneous). Hanya alasannya ialah dikala ini anda tidak bekerja di perusahaan manufaktur (mungkin anda tidak akan pernah ingin bekerja di pabrik) trus anda jadi tidak menguasai cost accounting? “a-a, that is not cool”.

“Saya cuma pengen jadi konsultan pajak, asal saya menguasai akuntansi in general plus rajin-rajin mengikuti update peraturan/UU perpajakan, beres sudah”

Oh ya?, tahukah anda bahwa bawah umur STAN yang nota bena-nya calon pegawai pajak-pun mendalami cost accounting. Bagaimana mampu melakukaan assessment (pemeriksaan) pajak jikalau tidak menguasai cost accounting which is bab terpenting dari kegiatan usaha manufaktur.

Sedikit mengenai perkembangan dunia konsultasi pajak (walaupun saya bukan konsultan pajak), dahulu, di masa tahun 2000 ke bawah, iya konsultan pajak cukup menguasai undang-undang dan tehnis pelaksanaan perpajakan, mampu setting pajak menjadi lebih kecil. Iya sudah cukup ampuh, bahkan tidak sedikit yang berhasil creating wealth dari sana. Tetapi di tahun 2001 kebelakang ini, hmmm… sepertinya sudah tidak semudah itu lagi. Perpajakan semakin transparent, ruang ibarat dulu makin sempit. So, konsultan yang dibutuhkan di masa sekarang dan seterusnya ialah konsultan yang mampu membuat usaha menjadi effisien lebih profitable dan menguasai perpajakan in the same time. Masalah pajak bagaimana?, itu sudah ada aturannya, tidak perlu trick untuk itu, anda tidak perlu jadi hebat pajak untuk mampu mengikuti aturan perpajakan. Jikapun mengelami proses pemeriksaan pajak yang berliku-liku proposed or un-proposed), toh pada hasilnya yang berlaku ialah substansi hukum pajaknya. Bukan trick-trick-nya, bukan brabe-nya, bukan juga black mailing-nya. Setidaknya itulah point view saya.

Ok, saya rasa cukup preamble -nya, sekarang kita ke topic-nya.


Harga Pokok Produksi (Manufacturing/Production Cost)

Ada 3 (tiga) hal yang obviously membedakan HPP (COGS) manufaktur dengan bentuk-bentuk usaha lainnya, antara lain:

[-]. Adanya “Bahan Baku” (Raw Material) yang di dalamnya termasuk juga materi penolong atau materi pembantu atau apalah istilahnya lagi.

[-]. Adanya “Barang Dalam Proses” (Work In Process).

[-]. "Tenaga Kerja Langsung" (Direct Labor) biasanya dapat dibebankan dengan sempurna

[-]. Adanya Depreciation Cost atas penggunaan mesin dan peralatan produksi lainnya yang masuk dalam kelompok Overhead Cost/Indirect Cost.

Akumulasi dari ke-empat elemen cost tadi disebut dengan harga pokok produksi (Manufacturing Cost/Production Cost).

A question: “Mengapa Inventory tidak termasuk ke dalam harga pokok produksi?

Inventory atau persediaan barang jadi (merchandize) ialah persediaan yang sudah tidak melalui proses produksi lagi, tidak melalui pengolahan lagi. Artinya, pada dikala persediaan diakui sebagai persediaan barang jadi (inventory), maka sudah tidak diharapkan penglohan lagi Jikapun barang masih harus melalui proses pengemasan (packaging), proses tersebut tidaklah membuat barang jadi menjadi bertambah (meningkat) fungsionalnya. Artinya, tanpa dikemaspun sebenarnya barang tersebut sudah dapat berfungsi sebagaimana yang seharusnya.

Misalnya: Barang jadi sepatu, tanpa di masukkan ke delam carton box, sepatu sudah befungsi sebagmana layaknya fungsi sepatu.

Bagaimana dengan bottling & pengalengan?

Bottling ataupun pengelengan dan proses-proses pengemasan lain untuk barang yang tidak wajar dijual dalam keadaan tidak terbungkus, maka proses packaging maupun materi packing-nya digolongankan kedalam materi baku.

Misalnya: Beer.

Botol maupun proses memasukkan cairan beer ke dalam botolnya sampai botolnya di tutup, ialah direct cost bukan indirect cost. Sedangkan carton box dan proses memasukkan botol beer ke dalam carton box sampai carton box di seal-tape, ialah indirect cost.

Dari penjelasan di atas maka production cost dapat dihitung dengan menjumlahkan ke-empat unsur cost diatas:

Harga Pokok Produksi (Production/Manufacturing Cost):

Raw Material Usage+Work In Process Usage+ Direct Labour Cost+Overhead Cost

dimana :

* Raw Material Usage dihitung dengan :
Opening Balance + Purchase – Closing Balance

* Work In Process dihitung dengan:
Opening Balance – Closing Balance

* Direct Labor Cost = Upah buruh dan tenaga kerja harian di produksi

*Over Head Cost : Indirect cost yang terkait dengan production activity.


Kaitan Harga Pokok Produksi dengan Harga Pokok Penjualan

Harga Pokok Penjualan :

Inventory Usage + Production Cost

So, production cost ialah salah satu elemen dari Harga Pokok Penjualan usaha manufaktur.

Catatan :

Proses pembentukan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan pada perusahaan manufactur mengalami transformasi seiring dengan proses pembentukan barang (product), ada siklusnya. Disinilah biasanya cost accounting menjadi bab yang sulit untuk dipahami. Nanti akan kita bahas di posting-posting berikutnya.



Up-coming topic : Standard Cost & Variance

Standard Cost memainkan peranan yang penting di dalam cost accounting, mengingat sebagian besar pabrik (manufacturer) menerapkan standard cost dalam penghitungan production cost maupun cost of goods sold-nya. Apa perlu-nya mengetahui standard cost?, bagaimana model penerapan standard cost?, apa itu variance?, mengapa timbul variance? Bagaimana perlakuan akuntansi untuk variance dalam harga pokok produksi?, akan ada di topic yang akan kita bahas di posting saya berikutnya.

Sampai ketemu di COST OF GOODS SOLD – Standard Cost & Variance

Break Even Point yang biasa disingkat dengan BEP, yang di Indonesia kita kenal dengan TITIK IMPAS, termasuk alat analisa paling classic yang digunakan untuk menganalisa korelasi antara: Revenue/Sales, Cost, Volume & Profit. Dalam artikel ini kita akan coba explore sejauh yang kita sanggup dan mengaplikasikannya kedalam suatu kasus bisnis. Saya eksklusif tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai Break Even Point. Terus terang, waktu masih jamannya kuliah, subject ini sangat membosankan buat saya. Tetapi kini saya merasa ini ialah salah satu minning knowledge (tambang pengetahuan) yang menantang untuk di explorize. Makara bersama-sama artikel ini lebih merupakan suatu pembelajaran sekaligus experiment bagi saya pribadi. Saya ingin mengetahui:

(-). Sejauh mana alat analisis ini sanggup diterapkan dalam menjawab dilema bisnis?

(-). Apakah mempunyai suatu keterbatasan?

(-). Atau justru alat analysis ini sanggup diaplikasikan untuk keperluan lain, tidak hanya sekedar untuk mengetahui break even point (misalnya: untuk membidik tingkat profit tertentu?).

(-). Apa bedanya BEP dengan ROC (Return of capital)? Apakah berhubungan?


Saya sangat berharap dengan research, explorasi dan experiment kecil-kecilan ini sanggup memperoleh jawaban, sekaligus sanggup menyebarkan dengan pengunjung blog ini, biar tidak perlu membuang waktu untuk ber-experiment sendiri, cukup hanya membaca hasil laporan saya ini :-) Sukur-sukur jikalau sanggup diaplikasikan pada perjuangan kecil yang gres anda rintis, misalnya: pizza kaki lima?, atau distro?, atau mini market di komplek perumahaan dimana anda tinggal? Atau bagi yang suka hal-hal berbau analytical works mungkin ingin mengembangkannya lebih jauh lagi. Silahkan….

Bagi yang tertarik dengan topic ini silahkan ikuti terus hingga selesai, sedikit agak panjang (memang tidak sanggup dibentuk singkat), bagi yang tidak silahkan baca artikel lainnya di blog ini. Bagi saya eksklusif ini ialah tantangan yang meng-asyik-kan


Pengertian dan Formulasi “Break Even Point”
Pemahaman saya eksklusif (dengan logika sederhana saja): Break Even Point ialah titik dimana Entity/company/business dalam keadaan belum memperoleh keuntungan, tetapi juga sudah tidak merugi. Jika dinyatakan dengan bahasa akuntansi keuangan mungkin jadinya: Suatu keadaan dimana:

REVENUE - COGS – EXPENSES = 0

Jika REVENUE - COGS – EXPENSES = 1, berarti di atas break even point (untung)
Jika REVENUE - COGS – EXPENSES = -1, berarti belum break even (masih rugi)

Setuju?.

Selanjutnya saya mencari-cari pengertian BEP sambil berharap untuk memperoleh pengertian yang lebih specific dan detail.

Berikut ini ialah pengertian Break even point yang saya temukan di www.organisasi.org:

Break Even point atau BEP ialah suatu analisis untuk memilih dan mencari jumlah barang atau jasa yang harus dijual kepada konsumen pada harga tertentu untuk menutupi biaya-biaya yang timbul serta mendapat laba / profit.

Dan rumusnya :

Rumus Analisis Break Even :
BEP = Total Fixed Cost / (Harga perunit - Variabel Cost Perunit)


Cukup memuaskan?, berdasarkan saya tidak mengecewakan bagus, lebih detail dibandingkan pengertian saya, tetapi definisinya agak rancu (agak bias), coba kita cari lagi……… kali ini saya mencarinya di Yahoo Answer, dan saya menemukan klarifikasi salah satu member disana, yang berdasarkan saya sudah cukup detail, formula dan pengertiannya ibarat dibawah ini:

BEP ialah Total Revenue = Total Cost
Total Revenue = Total Fixed Cost + Total Variabel Cost

Total Revenue ialah pendapatan total kita.Total Fixed Cost ialah total semua biaya tetap kita. Yaitu biaya yang "mau ga mau, produksi atau ga produksi" harus tetap dibayar.
Total Variabel Cost ialah total semua biaya variable. Yaitu biaya yang kita keluarkan untuk memproduksi satu unit produk. Singkatnya, BEP terjadi bila total seluruh pendapatan kita sama dengan total semua biaya yang kita keluarkan.
Kalau kau mau tahu rumus BEP untuk satuan unit:
Total Fixed Cost/(Price-Variabel Cost)
Price ialah harga jual barang
”.


Okay, tampaknya kita mendapat pengertian yang kurang lebih sama, so seharusnya dari sini kita sanggup tarik kesimpulan apa itu BEP.

Break Even Point” ialah titik dimana Revenue sama dengan Cost.

Pertanyaan saya: apakah itu saja sudah applicable?, apakah sudah sanggup dijadikan tool untuk menjawab kasus suatu bisnis?.
Saya melanjutkan research kecil-kecilan saya, nah berikut ini ialah rujukan kasus yang diungkapkan di www.organisasi.org:

"Misalnya ada perusahaan konveksi kaos kaki murah yang harga satu buah kaos kaki ialah Rp. 10.000 dengan biaya variabel sebesar Rp. 5.000 per kaos kaki dan biaya tetap sebesar Rp. 10.000.000

BEP = 10.000.000 / (10.000 - 5.000)
BEP = 20.000

Jadi diharapkan memproduksi 20.000 kaos kaki untuk mendapat kondisi seimbang antara biaya dengan laba alias profit nol. (Putra: mungkin writter-nya salah ketik, di atas mungkin maksudnya harga sepasang kaos kaki Rp 10,000, bukan sebuah kaos kaki).

“Wow”, great!, ternyata kita memperoleh balasan yang tidak mengecewakan applicable.

Sayang skalanya sangat kecil. Bisa dimengerti, mungkin hanya untuk memperlihatkan pengetahuan dasar (basic knowledge) mengenai BEP. Masalahnya, mana mungkin ada suatu perusahaan memproduksi hanya sepasang kaos kaki.


Pengembangan Kasus Break Even Point

Ada beberapa pertanyaan yang mungkin sanggup kita kembangkan:

1). Bagaimana jikalau kaos kaki yang dibentuk 1000 pairs?

2). Bagimana jikalau pertanyaannya saya ubah: jikalau berproduksi 1000 pairs, pada harga berapa seharunya kaos kaki tersebut dijual biar perusahaan mencapai break even point?

3). Jika berproduksi 1000 pairs dengan harga Rp 10,000/pair, berapa fixed cost yang sanggup dialokasikan biar perusahaan mencapai break even?

4). Jika berproduksi 5000 pairs, harga kaos kaki Rp 15,000/pair berapa usang perusahaan akan mencapai BEP?

5). Fixed Cost yang dimaksudkan pada rujukan diatas mencakup apa saja? (walaupun sudah diungkapkan di yahoo answer di atas bahwa fixed cost yang dimaksudkan disini ialah pengeluaran-pengeluaran yang tidak dipengaruhi oleh acara produksi) akan tetapi rasanya tidak cukup specific.

6). Yang dimaksudkan variable cost dari proses produksi kaos kaki disini apa saja?.

7). Bagaimana jikalau ada mixed cost (cost yang sebagian tergolong fixed cost, sisanya tergolong variable cost). Misal: Perusahaan menyewa genset untuk satu bulan Rp 10,000,000,- untuk penggunaan 8 jam saja, sedangkan kelebihan jam penggunaan akan dihitung Rp 25,000/jam. Perusahaan juga membayar honor seorang salesman dengan Gaji Pokok Rp 2,000,000,- dan komisi 2% untuk setiap penjualan yang dihasilkan. Bagaimana memilih BEP-nya?.

8). Bagaimana jikalau perusahaan tidak hanya menjual kaos kaki, perusahaan juga menjual kaos dalam dan celana dalam, bagaimana menghitung BEP-nya?

Sampai pada tahap ini, saya masih harus mencari balasan atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Apakah saya akan menemukan balasan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut?, bagimana caranya memberdayakan alat ini (Break Even Point Analysis) biar sanggup kita terapkan?, bagaimana penerapannya?.

Di posting saya yang berikutnya: Break Even Point (BEP) Analysis – Part 2, akan saya explore dengan formulasi yang lebih berkembang dan rujukan kasus yang lebih complex. Silahkan ikuti terus. Sampai ketemu di Break Even Point (BEP) Analysis – Part 2.

Ini ialah kelanjutan dari posting saya sebelumnya (Break Even Point Analysis – Bagian 1), di Break Even Point Analysis – Bagian 2 ini, akan saya bahas mengenai: Formulasi Break Even Point yang Lebih Dikembangkan, Determinasi Fixed Cost dan Variable Cost, Berhadapan dengan Mixed Cost. Aplikasi Break Even Point Analysis pada kasus yang Lebih Complex, BEP untuk “Product Mixed”, Return Of Capital.
Saya melanjutkan kembali explorasi kecil-kecilan saya….
Break Even Point Analysis


Formulasi Break Even Point Yang Dikembangkan

Untuk menjawab tantangan business yang semakin berkembang, kita tidak sanggup berpatokan pada satu formualsi saja, formula harus kita dig lebih jauh lagi. Dari logika diawal bahwa break even point ialah titik dimana perusahaan belum memperoleh laba tetapi juga tidak dalam kondisi rugi, maka Break Even Point sanggup kita formulasikan secara sederhana sebagai berikut:

BEP -> TR = TC
TR = Total Revenue, TC = Total Cost

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan Sales, Cost, Volume, Profit termasuk waktunya, kita coba kembangkan formula sederhana di atas sehingga menjadi lebih flexible dan sanggup mengikuti keadaan dengan situasi yang berbeda-beda, yaitu dengan membentuk persamaan linear sederhana ibarat dibawah ini:

TR = TC
TR – TC = 0

Karena TR ialah untuk “Total Revenue” maka TR sanggup kita turunkan menjadi :

TR = Unit Price x Qty

Sedangkan TC stand for “Total Cost”, yang mana kita semua tahu bahwa dalam Cost Accounting, cost itu ada 2 macamnya, yaitu: “Variable Cost” dan “Fixed Cost”, maka turunan dari TC adalah:

TC = Variable Cost + Fixed Cost

Dari formula di atas kita turunkan lagi menjadi:

TC = [Qty x Unit Variable Cost] + Fixed Cost

Saya rasa kini semua elemen yang ada sudah habis kita turunkan, selanjutnya kita akan menciptakan persamaan linear secara penuh untuk kondisi “Break Even Point”:

TR - TC = 0
[Qty x Unit Price] - [(Qty x Unit VC) + Fixed Cost] = 0, atau
[Qty x Unit Price] - [Qty x Unit VC] - Fixed Cost = 0
Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost

Nah, ini dia. Sekarang kita sudah mempunyai persamaan linear yang sudah cukup flexible. Dengan berbekal persamaan ini, kini kita sanggup menjawab banyak problem (pertanyaan), misalnya:

Pertanyaan: Jika perusahaan berproduksi dalam jumlah tertentu, supaya perusahaan sanggup mencapai break even point, berapakah unit price yang harus dipatok?.

* Target kita ialah “Unit Price”, maka formulanya:

Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost
Unit Price = [Fixed Cost / Qty] + Unit Variable Cost

Pertanyaan: Jika perusahaan menyadari bahwa harga paling bersaing untuk produknya ialah Rp tertentu, maka berapa pcs kah perusahaan harus berproduksi supaya mencapai “break even point”?

* Target kita ialah “Qty”, maka formulanya:
Qty x [Unit Price - Unit Variable Cost] = Fixed Cost
Qty = Fixed Cost / [Unit Price - Unit Variable Cost]

Dan seterusnya….. (silahkan dikembangkan)


Determinasi Elemen-Elemen Break Even Point

Okay kita sudah mempunya formula, yang elemen-elemenya terdiri: Revenue (R), Quantity (Qty), Unit Price, Variable Cost, Unit Variable Cost, dan Fixed Cost.

Misi kita selanjutnya ialah mendeterminasi (menentukan?) masing-masing elemen tersebut. Here they are:

Revenue (R): ialah pendapatan, yang dalam perusahaan manufactur biasanya didominasi oleh Sales, yang mana Sales ialah jumlah terjual (Qty=Quantity) dikalikan dengan unit price product yang akan terjual.

Quantity (Qty): ialah jumlah barang yang akan dijual, yang dalam perusahaan manufactur tentunya diproduksi terlebih dahulu.

Unit Price: ialah harga per unit dari barang yang akan dijual

Variable Cost: ialah cost yang timbul akhir diproduksinya suatu product (barang), artinya segala yang cost yang terjadi untuk memproduksi suatu barang. Seperti sebutannya “Variable Cost”, akan berubah-ubah mengikuti jumlah product yang akan diproduksi. Semakin banyak jumlah yang diproduksi semakin bedar juga variable cost-nya, begitu juga sebaliknya. Jika kita lihat pada Laporan Laba rugi nantinya, variable cost akan tergolong ke dalam kelompok “Cost of Good Sales”, yang pada perusahaan manufacur umumnya terdiri dari: Bahan Baku (Raw Material), Bahan Penolong, Cost Tenaga Kerja Langsung (Direct labor Cost) dan Ovear Head Cost yang biasanya terdiri dari penyusutan Gedung Pabrik, Penyusutan Mesin (Machineries) yang memakai unit production output, Maintenance, Listrik (electricity), Pengiriman (Delivery & Services), dll.

Unit Variable Cost: ialah besarnya variable cost yang ditimbulkan untuk menciptakan satu unit produk tertentu, yang besarnya diperoleh dengan cara membagi total variable cost (Variable Cost) dengan jumlah product yang dibentuk (qty).

Fixed Cost: ialah cost yang akan terjadi akhir penggunaan sumber daya tertentu yang penggunaannya tanpa dipengaruhi oleh banyak sedikitnya produk yang diproduksi. Dengan kata lain: berapapun jumlah product yang dibuat, fixed cost yang akan dibuat, costnya relative sama, bahkan tidak berproduksi sekalipun cost ini akan tetap terjadi. Seperti sebutannya, fixed cost sifatnya relative stabil, tidak dipengaruhi oleh production output. Adapun jenis-jenis cost yang terjadi biasanya yang ada pada kelompok Biaya Operasional (Operating Expenses: Payroll, Office Supplies), Lease Hold (Hak Sewa), termasuk penyusutan-penyusutan dan amortisasi yang memakai metode garis lurus.


Aplikasi Break Even Point Analysis Pada Kasus

Kita coba construct satu kasus yang lebih complex:

Kesuksesan PT. Royal Bali Cemerlang dalam memproduksi produk kaos kaki, menciptakan board member berencana akan melaksanakan expansi usaha, yaitu dengan menciptakan pabrik pakaian jadi yang akan memproduksi “women apparels” (Blouses, Skirts, Trousers & Short Pants). Untuk maksud tersebut PT. Royal Bali Cemerlang akan membangun pabrik yang akan memakai tubuh perjuangan sendiri yang akan diberi nama PT. Royal Bali Apparel, berikut ialah Investasi dan budget yang akan dialokasikan:


Break Even Point Analysis – Bagian 3

Sampai ketemu.
Putra

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.