Masih ada satu sub topic dari serie “
Standard Cost, Variance & Effisiensi” yang belum saya bahas yaitu:
mengalokasikan variance. Seperti kita ketahui bahwa tidak ada rekening (account) variance di dalam laporan keuangan, jadi dibawa kemanakah variance ini? Bagaimana jurnalnya?. Yet, standard cost dan analysis variance sangat bersahabat kaitannya dengan effisiensi, justru disinilah pembahasan Standard Cost dan Analysis Variance yang sesungguhnya.
Apakah menurunnya cost sudah berarti effisiensi? Kita akan bahas sebentar lagi.
Hanya untuk recall saja, bila saya summarize variances yang sudah terjadi dari topic sebelumnya (
Standard Cost, Variance & Effisiensi dan
Standard Cost, Variance – Part 2), ada 4 (empat) variances yang ditemukan, yaitu:
[Debit]. Raw Material Price Variance = 1,500,000
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500
Dari keempat variance di atas, “
Raw Material Price Variance” ada 2 (dua) debit dan kredit, mampu eksklusif di off-set-kan, sehingga tinggal 3 (tiga) variances saja, yitu:
[Debit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500
Selanjutnya dibawa kemanakah variance tersebut?Mengalokasikan VarianceKita tahu pada laporan keuangan tidak mengenal rekening (account) “variance”, oleh alasannya yakni itu variance harus dialokasikan sebelum buku ditutup ke laba rugi dan neraca. Perlu diketahui, bahwa variance bukanlah rekening permanent, melainkan rekening sementara yang dijadikan salah satu instrument pengukur effisiensi semata-mata.
Bagaimanapun juga variance yang timbul yakni positif dan harus diakui. Bagaimanapun juga pada alhasil transaksi yang diakui dan dilaporkan yakni actual cost-nya (bukan standard cost-nya). Selisih antara actual cost dengan standard cost yang tadinya di post ke rekening variance masing-masing harus dikembalikan ke dalam cost-nya, sehingga nantinya cost yang di laporkan di dalam Profit & Lost Statament maupun Neraca yakni “sebesar actual cost-nya”.
Kapan variance dialokasikan ke cost?Peng-alokasi-an dilakukan tentunya setelah semua variance di verifikasi, di analisa, disimpulkan dan didokumentasikan, selambat-lambatnya, sebelum proses tutup buku di laksanakan.
Kemana dan bagaimana mengalokasikan variance?Variance pada raw material (either price variance or usage variance)[-].
Jika pada ketika pengalokasian variance ke cost-nya,
barang jadi (inventory) sudah terjual seluruhnya, maka variance eksklusif di alokasikan ke Cost of Goods Sold (Material Usage), dengan jurnal (sesuai dengan contoh kasus):
[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 937,500
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[-].
Jika sebagian sudah terjual, sebagian belum, maka dilihat dahulu nilai variance-nya. Jika nilai variance-nya dianggap “
immaterial”, maka mampu eksklusif dialokasikan ke
COGS (Inventory usage) ibarat jurnal di atas. Sedangkan bila nilai variance-nya dianggap ”
material”, maka sebagian
dialokasikan ke inventory, sebagian ke
inventory usage (COGS) secara proportional (sesuai prosentase berapa terjual berapa yang masih berupa persediaan barang jadi), jurnalnya:
[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 900,000 (misal: sudah terjual)
[Debit]. Inventory = 37,500 (misal: belum terjual)
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
Variance pada Direct Labor CostLangsung dialokasikan ke cost asalnya (Direct Labor Cost) dengan jurnal:
[Debit]. Direct Labour Cost (COGS) = Rp 62,500
[Credit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500
Variance pada Overhead CostWalaupun pada contoh kasus ini tidak ada variance, pada kenyataannya, tidak menutup kemungkinan variance mampu terjadi juga pada overhead cost, bila memang terjadi maka dialokasikan dengan jurnal:
[Debit]. Overhead Cost (COGS)
[Credit]. Overhead Cost Variance
Catatan: dengan jurnal di atas, maka rekening sementara variance sudah nol (terhapus), variance sudah dialokasikan ke cost aslinya dan cost yang diakui telah sama dengan actual costnya.
“
Kalau toh alhasil dikembalikan ke actual cost-nya, buat apa mencari variance dan buat apa menerapkan standard cost?”.
Tujuan utama penerapan standard cost yakni semata-mata untuk mengukur dan menjaga effisiensi. Kita lanjutkan ke variance dan effisiensi, disana kita bahas lebih mendalam lagi.
Variance dan EffisiensiSaya tambahkan sub pokok bahasan ini dengan harapan: mudah-mudahan mampu mengasah “
awareness instinct (=kewaspadaan naluriah?)” akan potensi in-effisiensi dan bentuk-bentuk kebocoran yang mampu terjadi.
Ini penting bagi rekan-rekan di accounting dan keuangan, khususnya bagi mereka-mereka yang tidak merasa cukup puas dengan hanya menjadi clerk atau bookkeeper saja. So, untuk rekan-rekan yang hanya sekedar ingin tahu perlakuan dan jurnalnya saja, anda tidak perlu membaca (mengikuti) penjelasan saya lebih lanjut lagi, don’t waste your time.
Tapi bagi yang suka berpikir, ingin berguru lebih mendalam, ingin mengerti managerial-nya, saya encourage untuk mengikuti (membacanya) hingga akhir.
You are not going to waste your time, you are eventually about to learn a more insightful of accounting cost, it will be well worth it.
Kembali ke basic-nya, variance cost (selisih pada cost), entah itu atas raw material, direct labor maupun overhead cost, bila variance yang timbul:
[-]. Bersaldo debitBerarti actual cost-nya lebih tinggi dibandingkan standard cost, bila ini yang terjadi, artinya perusahaan beroperasi di atas budget yang sudah ditetapkan. Apakah ini sudah pasti kebocoran/inefficiency?, belum tentu, tetapi sudah pasti ada yang tidak beres.
[-]. Bersaldo CreditBerarti actual cost-nya lebih rendah dibandingkan standard cost, yang artinya perusahaan beroperasi dibawah budget yang telah di tetapkan. Apakah ini sudah berarti effiseinsi?, belum tentu juga.
Variance manapun yang timbul, masih memerlukan follow-up (=tindak lanjut?) dari pihak manajemen. Yang bertugas untuk melaksanakan verifikasi dan analisa tentunya mereka (dia) yang bertanggung jawab mengelola keuangan perusahaan, mereka (dia) yang dibutuhkan menjadi pengaman asset perusahaan. Pada perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, peran ini biasanya ditangani eksklusif oleh direktur, sedangkan pada perusahaan yang sudah bersekala corporation (besar) biasanya ditangani oleh Controller (Financial Controller) dan atau Chief Financial Officer (CFO).
Itulah sebabnya mengapa rekan-rekan di accounting dan keuangan (jika memang ingin mengembangkan career ke level yang lebih tinggi lagi) sebaiknya mulai pelan-pelan memahami: flow (alur), mobilty (perpindahan dan pergerakan) fisik barang sekaligus transaksinya secara terintegrasi, minimal (sekali lagi saya underline “minimal”).
Catatan: (Permakluman)Banyak cara dan daerah untuk belajar. Tentu blog ini bukanlah sesuatu yang layak untuk dijadikan daerah belajar. Blog ini awalnya ingin saya jadikan sebagai wadah bagi diri saya untuk ber-ekspresi, ber-idealisme, sekaligus untuk daerah mengasah diri saya pribadi, untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah saya kerjakan. Jikapun ada diantara rekan-rekan pengunjung menganggap blog ini sebagai alternative sarana belajar, bertukar pikiran, dan berbagi, dan lain sebagainya, saya berterimakasih dan bersukur. Amin!. Atas dasar aliran itulah saya merasa perlu membenahi-nya, semoga mampu menunjukkan sumbangan yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Dan untuk maksud tersebut, saya sadar itu butuh waktu, saya harus berguru lebih banyak hal lagi. Sekalilagi terimakasih untuk support-nya.
Kembali ke topic……Jika memiliki product knowledge yang kuat, mengetahui tehnis pelaksanaan mulai dari research & development, marketing, purchasing, production, quality management, packaging, inventory management, sales hingga ke shipping, ditambah dengan accounting, keuangan dan perpajakan, maka fungsi pengendalian (controlling) akan mampu dilaksanakan dengan sangat baik. Karena kunci dari fungsi pengendalian yakni memahami dan menguasai “
the whole picture” secara terintegarsi, bukan sebagian-sebagian atau sepenggal-sepenggal, apalagi cuma setengah-setengah.
Mengapa perlu?[-]. Karena tanpa menguasai flow dan mobilitas (pergerakan/perpindahan) fisik barang dari satu adegan ke adegan yang lain, dari satu section ke section yang lain, dari satu workstation ke workstation yang lain, dari hulu hingga ke hilir dan balik ke hulu lagi, maka mustahil untuk mampu meng-interpretasi-kan transaksi ke dalam pencatatan dan pelaporan dengan benar dan akurat.
[-]. Karena tanpa product knowledge dan tehnis process di semua bagian, section, dan workstation, mustahil untuk mampu melaksanakan verifikasi dan analisa yang benar dan akurat juga.
Contoh (sebagai ilustrasi saja):Ada variance bersaldo negative (note: untuk yang bersaldo positif rasanya saya tidak perlu jelaskan lagi, sudah banyak saya bicarakan), artinya actual cost lebih rendah dibandingkan standard cost-nya. Apakah itu sudah berarti effisien? Masih perlu kajian dan analisa lebih jauh lagi dibandingkan sekedar angka variance. Perlu mengetahui formula-formula dibawah ini:
[-]. Secara alamiah, efficiency sering berbanding terbalik dengan quality of product.
[-]. Naturally, speed (total hour dibagi oleh total quantity atau volume) sering berbanding terbalik dengan quality.
Artinya apa?, jika menemukan variance negative (actual cost lebih kecil dari standard cost) maka anda sudah harus melakukan:
[-]. Verifikasi antara angka-angka di buku dengan bukti transaksi dan physical count.
Question: Bagaimana mampu melaksanakan itu bila tidak menguasai alur fisik barang dan alur transaksi secara terintegrasi?
Okay, let’s say sudah diverifikasi dengan benar, memang matching and it’s confirmed, memang benar ada negative variance, apakah itu sudah cukup? Not yet….
[-]. Itu merupakan another alarm bell atau red alert atau sinyal ancaman lainnya pada “quality of product”, anda sudah harus cepat-cepat periksa quality barang yang dihasilkan, tentu saja tanpa meng-intervensi kerja adegan quality control, anda hanya perlu melaksanakan verifikasi dan analisa, adegan keuangan berhak untuk melaksanakan itu, tentunya diubahsuaikan dengan level dan authority-nya.
Question: Bagaimana mampu melaksanakan itu bila tidak menguasai quality management and its standard?. Mustahil bukan?
Kembali ke duduk perkara quality dan effisiensi. Ini formula selanjutnya yang perlu diketahui (di ingat baik-baik):
[-]. Quality berbanding lurus dengan sales (both in volume & value). Semakin menurun qualitas, most probably sales akan turun juga.
[-]. Sales sudah pasti (saya yakin anda sudah tahu) berbanding lurus terhadap revenue.
[-]. Revenue berbanding lurus terhadap PROF!T.
So, you are questioning me “bagaimana bila produksi berdasarkan pesanan?, toh barang sudah dipesan”.
Tahukah anda bahwa, purchase order tidak berarti orang tidak boleh mengembalikan barang, bila poor in quality pasti barang dikembalikan, bila quality “agak” rendah, mungkin barang tetap diterima tetapi dengan discount.
Okay, let’s say, somehow, quality rendah, tetapi barang diterima dan tanpa discount. Does that sound perfect?. Belum tentu, sangat mungkin back-order atau repeat order-nya akan dikurangi, atau bahkan tidak ada repeat order lagi. Jika new customer, hampir mampu dipastikan tidak akan pernah kembali lagi, artinya conversion menurun (kesempatan untuk meng-convert new customer menjadi regular customer hilang). See, we just through the “next cash” out of the window.
“Tapi, itu kan nanti, yang terperinci untuk periode ini perusahaan untung”. A-a, perlu diketahui, kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan untuk periode yang akan datang yakni bentuk lain dari cost. Namanya “Opportunity Cost”.
“apakah opportunity cost dilaporkan di dalam laporan keuangan?”. Memang, tidak dilaporkan, tetapi akan muncul nanti pada laporan yang akan datang dalam wujud "pertumbuhan revenue yang menurun".
Misalnya:
Dua periode sebelumnya memperoleh revenue Rp 1,000,000 dan periode yang lalu memperoleh revenue Rp 1,500,000, dan periode berjalan memperoleh revenue Rp 2,250,000. Artinya rata-rata pertumbuhan revenue yakni 150%. Dengan rata-rata 150% seharusnya revenue di periode berikutnya seharusnya Rp 3,375,000, tetapi karena menurunnya quality, beberapa customer yang mendapatkan poor quality product tidak melaksanakan pesanan lagi, sehingga angka Rp 3,375,000 kemungkinan besar tidak akan tercapai. In worst case, sangat mungkin revenue malah turun ke angka dibawah Rp 2,250,000.
Contoh lain: (kasus yang berbeda)
Terjadi variance bersaldo negative pada Direct Labour Cost, artinya upah buruh yang dibayarkan lebih rendah dibandingkan standard cost, apakah sudah berarti effisiensi? Belum tentu juga.
Pada Direct Labor Cost (upah buruh) berlaku formula:
[-]. "Direct Labor Cost" berbanding lurus terhadap “descent work(=tingkat kepuasan kerja?)”.
[-]. "Descent work" berbanding lurus terhadap "employee loyalty"
[-]. "Employee loyalty" berbanding lurus terhadap "productivity"
[-]. "Productivity" berbanding lurus terhadap "Revenue"
[-]. "Descent work" berbanding terbalik terhadap "Employee turnover (arus keluar masuk karyawan)".
[-]. "Employee Turnover" berbanding lurus dengan "Recruitment & Training Expense"
Menurunnya upah buruh sangat mungkin menyebabkan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh, dan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh secara alamiah akan menurunkan productivity, productivity besar lengan berkuasa terhadap revenue. Tingkat kepuasan kerja yang menurun juga menyebabkan employee turnover yang tinggi, employee turnover yang tinggi akan menyebabkan recruitment dan training expense meningkat. Look, that’s another big potential cost.
Failure dalam menentukan “employee retention policy (=kebijakan dalam pertolongan kompensasi, incentive dan kesempatan berkembang)” could directly impact productivity and employee turnover.
Catatan: Approach yang sesuai terhadap "Kebijakan Ketenaga Kerjaan", "Human Resource Management" yakni salah satu kunci kesuksesan aktifitas pengendalian. Dan, rasanya akan menjadi sesuatu yang berat bila kedua hal tersebut tidak dikeuasai dengan baik.
Kesimpulan
“Dari awal pembahasan hingga sekarang sepertinya in-efficient salah, efficient juga salah, yang benar yang mana?, mana yang lebih penting; efficient atau quality?, Direct Labor Cost efficiency atau Descent Work?”
Kondisi ideal yang dibutuhkan tentu: Qualitas product terbaik pada tingat effisiensi yang tinggi juga, descent work tertinggi pada tingkat effisiensi direct labor cost yang tinggi juga. Goal setting yang tinggi yakni postif, tapi perlu realistis in the same time.
Dengan melaksanakan musim analysis dari satu period ke period yang lain, membandingkan unsur-unsur: variance Vs quality, variance Vs productivity, variance Vs employee turnover yang pada alhasil membandingkan revenue Vs cost/expense secara berkesinambungan, akan dapat menentukan “Match Point (titik temu)” dan “Elasticity” antara unsur-unsur yang di bandingkan.
Yang dimaksudkan dengan match point di sini adalah:
“titik” dimana:
[-]. Effisiensi Vs Quality, mengahasilkan profit tertinggi
[-]. Effisiensi Vs Productivity, menghasilan profit tertinggi
[-]. Effisiensi Vs Employee Turnover, menghasilkan profit tertinggi
Match point tersebutlah nantinya akan dijadikan teladan standard cost berikutnya, standard untuk mentukan kebijakan-kebijakan perusahaan di semua department diperiode berikutnya. Dengan usaha yang terus menerus, dari period ke periode berikutnya yang semakin ditingkatkan, suatu ketika kondisi ideal yang dibutuhkan tentunya mampu diwujudkan.
Last question:
“Kalau toh pada alhasil untuk mencari tingkat profitability maximum, bukankah cukup hanya dengan menganlisis laporan laba rugi saja?, toh sudah mampu dibandingkan antara revenue dengan cost, antara sales dengan gross margin, antara sales dengan profit margin, dan sebagainya?”
Pszz…..wrong conclusion.
Semua analisa perbandingan tadi yakni dengan asumsi, “NO ERROR (Zero Error)”, hanya duduk perkara mencari titik temu saja. Pada kenyataannya, error sering terjadi, kesalahan mampu timbul dimana saja, entah karena kurangnya ketrampilan pegawai/buruh, atau adanya pegawai/buruh yang bekerja diluar system yang telah ditentukan.
Salah satu fungsi pengendalian yakni menangkap sinyal error semenjak dini, sehingga mampu mencegahnya (tidak membiarkan-nya terjadi). Menganalisa dan menyimpulkan apa yang telah terjadi saja bukanlah tindakan yang smart (jika tidak mau disebut bodoh). Jika pintar, maka harus mampu meng-identifikasi dan mencegahnya, jikapun tidak mampu dicegah, maka error yang timbul harus dicari akar masalahnya, lalu shutdown right on the spot (tepat d ititik dimana terjadi-nya error), jangan hingga meluas atau menjalar, dan tidak akan terjadi lagi. Itu gres smart.
Jika diperusahaan anda menggunakan
STANDARD COST, artinya akan ada
VARIANCE, artinya perusahaan sangat care terhadap effisiensi. Semua itu membutuhkan kerja keras dan commitment yang sungguh-sungguh dari semua element di perusahaan. Jika belum, mungkin ingin mencoba menerapkan standard cost?