Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) berkaitan dengan perpajakan. Apa saja? Kita bahas di artikel ini dengan cepat dan singkat (tetapi tanpa meninggalkan substansinya).
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Cost Of Goods Sold terkait dengan perpajakan, yaitu:
[-]. Raw Material/Inventory Purchase
Pembelian raw material maupun barang jadi disertai oleh PPN.
Jika pembelian dilakukan dengan cara meng-import, maka akan dikenakan PPn Import, dan atas pembayaran PPN tersebut tentunya anda akan mendapatkan bukti potong PPN yang dipungut oleh pihak Ditjend Bea Cukai (DJBC).
Jika pembelian dilakukan di dalam negeri, dimana supplier (pemasok barang) sudah PKP maka pembelian tersebut akan akan disertai PPN juga, dan sebagai pihak yang dipotong tentu anda akan mendapatkan bukti potong yang akan anda sebut sebagai “PPN Masukan” (bagi supplier itu ialah PPN keluaran).
Apakah PPN tersebut bab dari Inventory?, jawabannya : “Tidak”.
Misalnya:
Nilai pembelian lokal anda ialah Rp 1,000,000, atas pembelian tersebut anda dipungut PPN Rp 100,000. Walaupun anda membayar (mengakui hutang) sebesar Rp 1,100,000, nilai Inventory/Raw Material yang anda akui ialah sebesar nilai barangnya saja (tidak termasuk PPN-nya)
Jurnalnya:
[Debit]. Inventory/Raw Material = Rp 1,000,000
[Debit]. PPN = Rp 100,000
[Credit]. Cash/Hutang Dagang = Rp 1,100,000
Atas PPN Rp 100,000 yang dipungut oleh supplier (yang sudah PKP), nantinya mampu anda kompensasikan (kreditkan) dengan PPN keluaran nantinya bila sudah terjadi penjualan. Lebih mendalam mengenai PPN kita akan bahas dikesempatan lain. Sekarang focus pada pengesahan Inventory/Raw Material saja dahulu.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Cost Of Goods Sold terkait dengan perpajakan, yaitu:
[-]. Raw Material/Inventory Purchase
Pembelian raw material maupun barang jadi disertai oleh PPN.
Jika pembelian dilakukan dengan cara meng-import, maka akan dikenakan PPn Import, dan atas pembayaran PPN tersebut tentunya anda akan mendapatkan bukti potong PPN yang dipungut oleh pihak Ditjend Bea Cukai (DJBC).
Jika pembelian dilakukan di dalam negeri, dimana supplier (pemasok barang) sudah PKP maka pembelian tersebut akan akan disertai PPN juga, dan sebagai pihak yang dipotong tentu anda akan mendapatkan bukti potong yang akan anda sebut sebagai “PPN Masukan” (bagi supplier itu ialah PPN keluaran).
Apakah PPN tersebut bab dari Inventory?, jawabannya : “Tidak”.
Misalnya:
Nilai pembelian lokal anda ialah Rp 1,000,000, atas pembelian tersebut anda dipungut PPN Rp 100,000. Walaupun anda membayar (mengakui hutang) sebesar Rp 1,100,000, nilai Inventory/Raw Material yang anda akui ialah sebesar nilai barangnya saja (tidak termasuk PPN-nya)
Jurnalnya:
[Debit]. Inventory/Raw Material = Rp 1,000,000
[Debit]. PPN = Rp 100,000
[Credit]. Cash/Hutang Dagang = Rp 1,100,000
Atas PPN Rp 100,000 yang dipungut oleh supplier (yang sudah PKP), nantinya mampu anda kompensasikan (kreditkan) dengan PPN keluaran nantinya bila sudah terjadi penjualan. Lebih mendalam mengenai PPN kita akan bahas dikesempatan lain. Sekarang focus pada pengesahan Inventory/Raw Material saja dahulu.
[-]. Inbound Freight (Bea Angkut) atas Raw Material/Inventory Purchase
Jika pembelian raw material/inventory disertai oleh bea angkut (inbound freight), maka inbound freight ialah element dari inventory (otomatis akan menjadi element COGS).
Misalnya:
Dilakukan pembelian Rp 1,000,000 dan atas pembelian tersebut anda menanggung bea angkut sebesar Rp 50,000, maka jurnalnya:
[Debit]. Raw Material/Inventory = Rp 1,050,000
[Credit]. Hutang Dagang = Rp 1,050,000
Bisa juga bea angkut tidak dicatat dengan rekening terpisah, misalnya: rekeningnya di sebut “Bea Angkut”, hanya saja bea angkut tersebut dikelompokkan ke dalam Cost Of Goods Sold.
[Debit]. Raw Material/Inventory = Rp 1,050,000
[Credit]. Hutang Dagang = Rp 1,050,000
Bisa juga bea angkut tidak dicatat dengan rekening terpisah, misalnya: rekeningnya di sebut “Bea Angkut”, hanya saja bea angkut tersebut dikelompokkan ke dalam Cost Of Goods Sold.
[-]. Penggunaan Inventory/Raw Materials
Tidak menutup kemungkinan sejumlah tertentu dari raw materials atau inventory dipergunakan tidak untuk acara yang berafiliasi dengan produksi dan penjualan. Misalnya: Disumbangkan (charity), dipergunakan untuk keperluan langsung (personal use), atau diserahkan kepada pihak tertentu yang bukan untuk maksud dijual.
Penggunaan Inventory/Raw material yang tidak dimaksudkan untuk berproduksi dan dijual, tidak boleh diakui sebagai Cost.
Pertanyaan: Kenyataannya inventory atau raw material berkurang, sementara pengurangan atas inventory/raw material tersebut tidak boleh diakui sebagai cost, lalu diakui sebagai apa dan bagaimana mencatatnya?.
Berkurangnya inventory/raw material tersebut dicatat sesuai maksudnya, bila di sumbangkan, catat sebagai biaya bantuan (charity), bila dipergunakan untuk keperluan langsung (personal use) maka dicatat sebagai piutang dagang atau jenis debit tertentu (mungkin: employee advance, atau director advance atau yang sejenisnya). Dan dijurnal:
[Debit]. Charity (Sumbangan)
[Credit]. Inventory/Raw Material
Catatan: Pada buku Laporan Keuangan komersial, charity dikelompokkan ke dalam expenses (biaya operasional). Sedangkan bagi Ditjend pajak, bantuan (charity) tidak diakui sebagai biaya/cost, dan akan menjadi koreksi fiskal atas laporan komersial yang mengakui adanya bantuan (charity).
Atau di jurnal dengan:
[Debit]. Employee Advance/Director Advance
[Credit]. Inventory/Raw Material
Catatan: Employee advance, bukan bab dari “Nominal account” akan tetapi merupakan “Real Account” yaitu pada kelompok "Current Asset", yang nantinya (pada dikala tertentu) harus di offset dengan rekening lain.
Misalnya:
Direktur mengambil beberapa unit inventory/raw material senilai Rp 500,000 untuk dipakai pribadi, atas pengambilan inventory tersebut dicatat:
[Debit]. Director Advance = Rp 500,000 Ã Ke Balance Sheet
[Credit]. Inventory/raw Material = Rp 500,000 Ã Ke Balance Sheet
Atas penggunaan langsung inventory/raw material tersebut, akan dipotongkan pada gaji yang akan diterima oleh director pada bulan depannya, dikala pembayaran gaji director dicatat:
[Debit]. Payroll Expense = Rp 10,000,000
[Credit]. Cash = Rp 9,500,000
[Credit]. Director Advance = Rp 500,000
Dengan jurnal ini, maka director advance menjadi nol, biaya gaji tetap sebagaimana seharusnya, dan cash yang dikeluarkan lebih kecil dari jumlah gajinya, alasannya ialah sebagian gaji sudah diambil dalam bentuk inventory/raw material bulan lalunya.
Dengan posting ini ( Cost Of Goods Sold & Pajak (Taxation Notes) ), saya rasa series Cost of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) sudah cukup. Tapi jangan khawatir, nanti akan ditambahkan dengan kasus-kasus yang agak controversial, aneh, ajaib, lebih insightful dan pernak-pernik yang berafiliasi dengan Cost Of Goods Sold, termasuk: inventory analysis, Cost of Goods Analysis dan cost ratio yang terkait, semoga menjadi lebih kaya dan lebih advance tentunya.
Post a Comment
Post a Comment