Articles by "COGS"

Account Assistant Account Officer Account Payable Account Receivable Accounting Accounting Case Study Accounting Certification Accounting Contest Accounting For Manager Accounting Manager Accounting Software Acquisition Admin Administrasi administrative assistant Administrator Advance accounting Aktiva Tetap Akuisisi Akun Akuntan Privat Akuntan Publik AKUNTAN. Akuntansi Akuntansi Biaya Akuntansi Dasar Akuntansi Management Akuntansi Manajemen Dan Biaya Akuntansi Pajak Akuntansi Perusahaan Dagang Akuntansi Perusahaan Jasa Akuntansi Syariah Akuntansi Translasi Akunting Analisis Transaksi Announcement Aplikasi Akuntansi archiving ARTICLES ARTIKEL Asumsi dasar Akuntansi Asuransi Aturan Pencatatan Akuntansi Audit Audit Kinerja Auditing Balance sheet Bank Basic Accounting Bea Cukai Bea Masuk Bidang Akuntansi Bukti Transaksi Buku Besar Calculator Capital Cara Pencatatan Akuntansi Career Cash Cash Flow Cat Certification Checker Checker Gudang COGS Collection Contest Corporate Social Responsibility (CSR) Cost Cost Analysis CPA CPA EXAM Credit Credit Policy Current Asset Custom Custom Clearence Dasar Akuntansi Data Debit Kredit Discount Diskon Distributor Dyeing Ekspor Engineering Etika Profesi & Tata Kelola Korporat Example Expense Export - Import FASB Finance FINANCIAL Financial Advisor Financial Control Finansial Foreign Exchange Rate Form FRAUD Free Download Freebies Fungsi Akuntansi GAAP GAJI Garansi Gift Goodwill Gudang Harga Pokok Penjualan Hotel HPP HRD IFRS Impor Import Import Duty Informasi Akuntansi International Accounting Investasi IT Jasa Jasa Konstruksi Job Vacant JUDUL SKRIPSI AKUNTANSI TERBARU Jurnal Khusus Jurnal Pembalik Jurnal Pembalik Dagang Jurnal Penutup Jurnal Penutup Dagang Jurnal Penyesuaian Jurnal Umum Kas Kas Bank Kas Kecil Kasus Akuntansi Kasus Legal Kasus Pajak Kepala Rekrutment Kertas Kerja Keuangan Knitting Komentar Komputer Konsolidasi Konstruksi Konsultan Laba-Rugi Laboratorium Lain-lain lainnya LANDING COST Laporan akuntansi Laporan Arus Kas Laporan Keuangan Laporan Keuangan Dagang Laporan Keuangan Jasa Laporan Laba Rugi Laporan Perubahan Modal laporan Rugi Laba Layanan Konsumen Lean Accounting Lean Concept Lean Manufacturing Legal Logistik Lowongan Kerja Accounting MA Accounting Macam Transaksi Dagang Management Management Accounting Manager Manajemen Manajemen Keuangan Manajemen Keuangan Manajemen Stratejik Manajer Manajer Administrasi Manfaat Akuntansi Manufaktur Marketing Matching Color Mekanisme Debit Mekanisme Kredit Mencatat Transaksi Merger metode fifo dan lifo Mid Level Miscellaneous Modal Neraca Neraca Lajur Neraca Saldo Neraca Saldo Setelah Penutupan Nerasa Saldo Office Operator Operator Produksi Paint PAJAK pajak pusat.pajak daerah(provinsi dan kabupaten) payroll Pelaporan Korporate Pemasaran Pembelian Pemberitahuan Pemindahbukuan Jurnal Pencatatan Perusahaan Dagang Pendapatan Pengakuan Pendapatan Pengarsipan Pengendalian Pengendalian Keuangan Pengertian Akuntansi PENGERTIAN LAPORAN KEUANGAN pengertian pajak PENGERTIAN PSAK PENGGELAPAN Pengguna Akuntansi Pengkodean Akun Penjualan Perbankan Perlakuan akuntansi Perpajakan Persamaan Dasar Akun Petty Cash Piutang Posting Buku Besar PPH PASAL 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 26 PPn PPn Import Prefesi Akuntansi Prinsip Akuntansi PRINSIP DASAR AKUNTANSI Produksi Profesi Akuntansi Professi Akuntan Profit-Lost Proses Akuntansi Proyek PSAK PSAK TERBARU PURCHASE Purchasing QA QC Quality Assurance Quality Control Quiz Rabat Rajut rangkuman Rebate Recruitment Recruitment Head Rekrutment Retail Retur Return Revenue Review Saldo Normal Sales Sales Representative Sejarah Akuntansi SERIE ARTIKEL Sertifikasi Shareholder Shipping Agent Shipping Charge siklus akuntansi Silus Akuntansi Dagang Sistem sistem akuntansi Sistem Informasi Sistem Informasi & Pengendalian Internal Soal dan Jawaban CPA SPI Spreadsheet Accounting Spreadsheet Gratis Staff Struktur Dasar Akuntansi Supervisor system pengendalian system pengendalian gaji Tax Taxation Teknik Tekstil Template Teori-teori Akuntansi Tinta Tip n Tricks TIPS AND TRICKS Tools Top Level Transaksi Keuangan Tutup Buku Ujian CPA UPAH update situs USAP Utilities Video Tutor Warehouse Warna warranty What Is New
Showing posts with label COGS. Show all posts

COST OF GOODS SOLD (COGS) sanggup saya lanjutkan lagi sesudah sempat diselingi oleh topic-topic yang lain, kali ini yaitu HARGA POKOK PRODUKSI – COST OF GOODS SOLD untuk perusahaan manufaktur.

Perlu diketahui, mengenai Harga Pokok Penjualan untuk perusahaan manufaktur, scoop-nya sangat luas, meng-cover semua cost accounting (Akuntansi Biaya) mulai dari awal siklus sampai terbentuknya harga pokok penjualan. Obviously saya akan post di sini secara sedikit demi sedikit (baca: serial), jikalau tidak maka satu artikel mengenai harga pokok penjualan saja sanggup menjadi giga article, yang page loadnya mungkin akan sangat lama. Tetapi jangan khawatir, kita akan lewati itu semua pelan-pelan, kita bahas satu persatu, sedikit demi sedikit tentunya.

Pada kesempatan kali ini kita akan bahas basicnya dahulu. Jangan under-estimate dahulu, basic is always the heart of the whole knowledge. Tanpa penguasaan dasar-dasarnya, saya khawatir akan menciptakan kebingungan (bahkan tersesat) ditengah jalan nanti.

Bagi rekan-rekan yang kebetulan dikala ini sedang bekerja di perusahaan yang tanpa aktifitas produksi (non-manufacturer), mungkin perusahaan dagang, jasa, atau bahkan di koperasi, yayasan, LSM (NGO) atau bentuk organisasi nir-laba (non-profit organization), saya sanggup mengerti jikalau anda tidak terlalu tertarik dengan topic ini. Tetapi saya ingin argue anda untuk tetap mengikutinya, kenapa?

Sebagai orang accounting (apalagi sarjana akuntansi), sungguh lucu jikalau anda tidak menguasai cost accounting (akuntansi biaya). Akuntansi biaya hampir mendominasi seluruh problem di dalam akuntansi. Lagipula puncak career dari accounting yaitu menjadi seorang CFO (Chief Financial Officer), atau mungkin menjadi partner di accounting firm (KAP), dan untuk mencapai jenjang itu harus menguasai semua problem accounting (the whole circumstances and its all miscellaneous). Hanya alasannya yaitu dikala ini anda tidak bekerja di perusahaan manufaktur (mungkin anda tidak akan pernah ingin bekerja di pabrik) trus anda jadi tidak menguasai cost accounting? “a-a, that is not cool”.

“Saya cuma pengen jadi konsultan pajak, asal saya menguasai akuntansi in general plus rajin-rajin mengikuti update peraturan/UU perpajakan, beres sudah”

Oh ya?, tahukah anda bahwa belum dewasa STAN yang nota bena-nya calon pegawai pajak-pun mendalami cost accounting. Bagaimana sanggup melakukaan assessment (pemeriksaan) pajak jikalau tidak menguasai cost accounting which is bab terpenting dari acara perjuangan manufaktur.

Sedikit mengenai perkembangan dunia konsultasi pajak (walaupun saya bukan konsultan pajak), dahulu, di abad tahun 2000 ke bawah, iya konsultan pajak cukup menguasai undang-undang dan tehnis pelaksanaan perpajakan, sanggup setting pajak menjadi lebih kecil. Iya sudah cukup ampuh, bahkan tidak sedikit yang berhasil creating wealth dari sana. Tetapi di tahun 2001 kebelakang ini, hmmm… tampaknya sudah tidak semudah itu lagi. Perpajakan semakin transparent, ruang menyerupai dulu makin sempit. So, konsultan yang dibutuhkan di abad kini dan seterusnya yaitu konsultan yang sanggup menciptakan perjuangan menjadi effisien lebih profitable dan menguasai perpajakan in the same time. Masalah pajak bagaimana?, itu sudah ada aturannya, tidak perlu trick untuk itu, anda tidak perlu jadi jago pajak untuk sanggup mengikuti aturan perpajakan. Jikapun mengelami proses investigasi pajak yang berliku-liku proposed or un-proposed), toh pada alhasil yang berlaku yaitu substansi aturan pajaknya. Bukan trick-trick-nya, bukan brabe-nya, bukan juga black mailing-nya. Setidaknya itulah point view saya.

Ok, saya rasa cukup preamble -nya, kini kita ke topic-nya.


Harga Pokok Produksi (Manufacturing/Production Cost)

Ada 3 (tiga) hal yang obviously membedakan HPP (COGS) manufaktur dengan bentuk-bentuk perjuangan lainnya, antara lain:

[-]. Adanya “Bahan Baku” (Raw Material) yang di dalamnya termasuk juga materi penolong atau materi pembantu atau apalah istilahnya lagi.

[-]. Adanya “Barang Dalam Proses” (Work In Process).

[-]. "Tenaga Kerja Langsung" (Direct Labor) biasanya sanggup dibebankan dengan sempurna

[-]. Adanya Depreciation Cost atas penggunaan mesin dan peralatan produksi lainnya yang masuk dalam kelompok Overhead Cost/Indirect Cost.

Akumulasi dari ke-empat elemen cost tadi disebut dengan harga pokok produksi (Manufacturing Cost/Production Cost).

A question: “Mengapa Inventory tidak termasuk ke dalam harga pokok produksi?

Inventory atau persediaan barang jadi (merchandize) yaitu persediaan yang sudah tidak melalui proses produksi lagi, tidak melalui pengolahan lagi. Artinya, pada dikala persediaan diakui sebagai persediaan barang jadi (inventory), maka sudah tidak diharapkan penglohan lagi Jikapun barang masih harus melalui proses pengemasan (packaging), proses tersebut tidaklah menciptakan barang jadi menjadi bertambah (meningkat) fungsionalnya. Artinya, tanpa dikemaspun bahwasanya barang tersebut sudah sanggup berfungsi sebagaimana yang seharusnya.

Misalnya: Barang jadi sepatu, tanpa di masukkan ke delam carton box, sepatu sudah befungsi sebagmana layaknya fungsi sepatu.

Bagaimana dengan bottling & pengalengan?

Bottling ataupun pengelengan dan proses-proses pengemasan lain untuk barang yang tidak masuk akal dijual dalam keadaan tidak terbungkus, maka proses packaging maupun materi packing-nya digolongankan kedalam materi baku.

Misalnya: Beer.

Botol maupun proses memasukkan cairan beer ke dalam botolnya sampai botolnya di tutup, yaitu direct cost bukan indirect cost. Sedangkan carton box dan proses memasukkan botol beer ke dalam carton box sampai carton box di seal-tape, yaitu indirect cost.

Dari klarifikasi di atas maka production cost sanggup dihitung dengan menjumlahkan ke-empat unsur cost diatas:

Harga Pokok Produksi (Production/Manufacturing Cost):

Raw Material Usage+Work In Process Usage+ Direct Labour Cost+Overhead Cost

dimana :

* Raw Material Usage dihitung dengan :
Opening Balance + Purchase – Closing Balance

* Work In Process dihitung dengan:
Opening Balance – Closing Balance

* Direct Labor Cost = Upah buruh dan tenaga kerja harian di produksi

*Over Head Cost : Indirect cost yang terkait dengan production activity.


Kaitan Harga Pokok Produksi dengan Harga Pokok Penjualan

Harga Pokok Penjualan :

Inventory Usage + Production Cost

So, production cost yaitu salah satu elemen dari Harga Pokok Penjualan perjuangan manufaktur.

Catatan :

Proses pembentukan harga pokok produksi dan harga pokok penjualan pada perusahaan manufactur mengalami transformasi seiring dengan proses pembentukan barang (product), ada siklusnya. Disinilah biasanya cost accounting menjadi bab yang sulit untuk dipahami. Nanti akan kita bahas di posting-posting berikutnya.



Up-coming topic : Standard Cost & Variance

Standard Cost memainkan peranan yang penting di dalam cost accounting, mengingat sebagian besar pabrik (manufacturer) menerapkan standard cost dalam penghitungan production cost maupun cost of goods sold-nya. Apa perlu-nya mengetahui standard cost?, bagaimana model penerapan standard cost?, apa itu variance?, mengapa timbul variance? Bagaimana perlakuan akuntansi untuk variance dalam harga pokok produksi?, akan ada di topic yang akan kita bahas di posting saya berikutnya.

Sampai ketemu di COST OF GOODS SOLD – Standard Cost & Variance

Kita akan explore lebih jauh lagi mengenai STANDARD COST , VARIANCE dan EFFISIENSI. Di wilayah mana lagi standard cost diterapkan dan kemungkinan variance timbul akan timbul?, Bagaimana perlakuannya?.

Masih menggunakan pola product dasi yang kita pakai di Standard Cost, Variance & Effisiensi Part 1. Untuk mengingat kembali dan biar tidak bolak balik mencarinya, tabel standard cost-nya saya tampilkan lagi dibawah ini:

 Di wilayah mana lagi standard cost diterapkan dan kemungkinan variance timbul akan timbul STANDARD COST, VARIANCE - Part 2Standard Cost, Variance & Effisiensi – Part 3.

Masih ada satu sub topic dari serie “Standard Cost, Variance & Effisiensi” yang belum saya bahas yaitu: mengalokasikan variance. Seperti kita ketahui bahwa tidak ada rekening (account) variance di dalam laporan keuangan, jadi dibawa kemanakah variance ini? Bagaimana jurnalnya?. Yet, standard cost dan analysis variance sangat bersahabat kaitannya dengan effisiensi, justru disinilah pembahasan Standard Cost dan Analysis Variance yang sesungguhnya. Apakah menurunnya cost sudah berarti effisiensi? Kita akan bahas sebentar lagi.

Hanya untuk recall saja, jikalau saya summarize variances yang sudah terjadi dari topic sebelumnya (Standard Cost, Variance & Effisiensi dan Standard Cost, Variance – Part 2), ada 4 (empat) variances yang ditemukan, yaitu:

[Debit]. Raw Material Price Variance = 1,500,000
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

Dari keempat variance di atas, “Raw Material Price Variance” ada 2 (dua) debit dan kredit, sanggup pribadi di off-set-kan, sehingga tinggal 3 (tiga) variances saja, yitu:

[Debit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Debit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500
[Debit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

Selanjutnya dibawa kemanakah variance tersebut?


Mengalokasikan Variance

Kita tahu pada laporan keuangan tidak mengenal rekening (account) “variance”, oleh lantaran itu variance harus dialokasikan sebelum buku ditutup ke keuntungan rugi dan neraca. Perlu diketahui, bahwa variance bukanlah rekening permanent, melainkan rekening sementara yang dijadikan salah satu instrument pengukur effisiensi semata-mata.

Bagaimanapun juga variance yang timbul yaitu kasatmata dan harus diakui. Bagaimanapun juga pada akibatnya transaksi yang diakui dan dilaporkan yaitu actual cost-nya (bukan standard cost-nya). Selisih antara actual cost dengan standard cost yang tadinya di post ke rekening variance masing-masing harus dikembalikan ke dalam cost-nya, sehingga nantinya cost yang di laporkan di dalam Profit & Lost Statament maupun Neraca yaitu “sebesar actual cost-nya”.

Kapan variance dialokasikan ke cost?

Peng-alokasi-an dilakukan tentunya sesudah semua variance di verifikasi, di analisa, disimpulkan dan didokumentasikan, selambat-lambatnya, sebelum proses tutup buku di laksanakan.

Kemana dan bagaimana mengalokasikan variance?

Variance pada raw material (either price variance or usage variance)

[-]. Jika pada ketika pengalokasian variance ke cost-nya, barang jadi (inventory) sudah terjual seluruhnya, maka variance pribadi di alokasikan ke Cost of Goods Sold (Material Usage), dengan jurnal (sesuai dengan contoh kasus):

[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 937,500
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500

[-]. Jika sebagian sudah terjual, sebagian belum, maka dilihat dahulu nilai variance-nya. Jika nilai variance-nya dianggap “immaterial”, maka sanggup pribadi dialokasikan ke COGS (Inventory usage) ibarat jurnal di atas. Sedangkan jikalau nilai variance-nya dianggap ”material”, maka sebagian dialokasikan ke inventory, sebagian ke inventory usage (COGS) secara proportional (sesuai prosentase berapa terjual berapa yang masih berupa persediaan barang jadi), jurnalnya:

[Debit]. Inventory Usage (COGS) = Rp 900,000 (misal: sudah terjual)
[Debit]. Inventory = 37,500 (misal: belum terjual)
[Credit]. Raw Material Price Variance = Rp 750,000
[Credit]. Raw Material Usage Variance = Rp 187,500

Variance pada Direct Labor Cost

Langsung dialokasikan ke cost asalnya (Direct Labor Cost) dengan jurnal:

[Debit]. Direct Labour Cost (COGS) = Rp 62,500
[Credit]. Direct Labour Cost Variance = Rp 62,500

Variance pada Overhead Cost

Walaupun pada contoh masalah ini tidak ada variance, pada kenyataannya, tidak menutup kemungkinan variance sanggup terjadi juga pada overhead cost, jikalau memang terjadi maka dialokasikan dengan jurnal:

[Debit]. Overhead Cost (COGS)
[Credit]. Overhead Cost Variance

Catatan: dengan jurnal di atas, maka rekening sementara variance sudah nol (terhapus), variance sudah dialokasikan ke cost aslinya dan cost yang diakui telah sama dengan actual costnya.

Kalau toh akibatnya dikembalikan ke actual cost-nya, buat apa mencari variance dan buat apa menerapkan standard cost?”.

Tujuan utama penerapan standard cost yaitu semata-mata untuk mengukur dan menjaga effisiensi. Kita lanjutkan ke variance dan effisiensi, disana kita bahas lebih mendalam lagi.


Variance dan Effisiensi

Saya tambahkan sub pokok bahasan ini dengan harapan: mudah-mudahan sanggup mengasah “awareness instinct (=kewaspadaan naluriah?)” akan potensi in-effisiensi dan bentuk-bentuk kebocoran yang sanggup terjadi.

Ini penting bagi rekan-rekan di accounting dan keuangan, khususnya bagi mereka-mereka yang tidak merasa cukup puas dengan hanya menjadi clerk atau bookkeeper saja. So, untuk rekan-rekan yang hanya sekedar ingin tahu perlakuan dan jurnalnya saja, anda tidak perlu membaca (mengikuti) klarifikasi saya lebih lanjut lagi, don’t waste your time.

Tapi bagi yang suka berpikir, ingin berguru lebih mendalam, ingin mengerti managerial-nya, saya encourage untuk mengikuti (membacanya) hingga akhir. You are not going to waste your time, you are eventually about to learn a more insightful of accounting cost, it will be well worth it.

Kembali ke basic-nya, variance cost (selisih pada cost), entah itu atas raw material, direct labor maupun overhead cost, jikalau variance yang timbul:

[-]. Bersaldo debit
Berarti actual cost-nya lebih tinggi dibandingkan standard cost, jikalau ini yang terjadi, artinya perusahaan beroperasi di atas budget yang sudah ditetapkan. Apakah ini sudah niscaya kebocoran/inefficiency?, belum tentu, tetapi sudah niscaya ada yang tidak beres.

[-]. Bersaldo Credit
Berarti actual cost-nya lebih rendah dibandingkan standard cost, yang artinya perusahaan beroperasi dibawah budget yang telah di tetapkan. Apakah ini sudah berarti effiseinsi?, belum tentu juga.

Variance manapun yang timbul, masih memerlukan follow-up (=tindak lanjut?) dari pihak manajemen. Yang bertugas untuk melaksanakan verifikasi dan analisa tentunya mereka (dia) yang bertanggung jawab mengelola keuangan perusahaan, mereka (dia) yang diperlukan menjadi pengaman asset perusahaan. Pada perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, kiprah ini biasanya ditangani pribadi oleh direktur, sedangkan pada perusahaan yang sudah bersekala corporation (besar) biasanya ditangani oleh Controller (Financial Controller) dan atau Chief Financial Officer (CFO).

Itulah sebabnya mengapa rekan-rekan di accounting dan keuangan (jika memang ingin mengembangkan career ke level yang lebih tinggi lagi) sebaiknya mulai pelan-pelan memahami: flow (alur), mobilty (perpindahan dan pergerakan) fisik barang sekaligus transaksinya secara terintegrasi, minimal (sekali lagi saya underline “minimal”).


Catatan: (Permakluman)

Banyak cara dan kawasan untuk belajar. Tentu blog ini bukanlah sesuatu yang layak untuk dijadikan kawasan belajar. Blog ini awalnya ingin saya jadikan sebagai wadah bagi diri saya untuk ber-ekspresi, ber-idealisme, sekaligus untuk kawasan mengasah diri saya pribadi, untuk mengingat-ingat kembali apa yang telah saya kerjakan. Jikapun ada diantara rekan-rekan pengunjung menganggap blog ini sebagai alternative sarana belajar, bertukar pikiran, dan berbagi, dan lain sebagainya, saya berterimakasih dan bersukur. Amin!. Atas dasar ajaran itulah saya merasa perlu membenahi-nya, semoga sanggup menawarkan sumbangan yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Dan untuk maksud tersebut, saya sadar itu butuh waktu, saya harus berguru lebih banyak hal lagi. Sekalilagi terimakasih untuk support-nya.


Kembali ke topic……

Jika mempunyai product knowledge yang kuat, mengetahui tehnis pelaksanaan mulai dari research & development, marketing, purchasing, production, quality management, packaging, inventory management, sales hingga ke shipping, ditambah dengan accounting, keuangan dan perpajakan, maka fungsi pengendalian (controlling) akan sanggup dilaksanakan dengan sangat baik. Karena kunci dari fungsi pengendalian yaitu memahami dan menguasai “the whole picture” secara terintegarsi, bukan sebagian-sebagian atau sepenggal-sepenggal, apalagi cuma setengah-setengah.

Mengapa perlu?

[-]. Karena tanpa menguasai flow dan mobilitas (pergerakan/perpindahan) fisik barang dari satu kepingan ke kepingan yang lain, dari satu section ke section yang lain, dari satu workstation ke workstation yang lain, dari hulu hingga ke hilir dan balik ke hulu lagi, maka tidak mungkin untuk sanggup meng-interpretasi-kan transaksi ke dalam pencatatan dan pelaporan dengan benar dan akurat.

[-]. Karena tanpa product knowledge dan tehnis process di semua bagian, section, dan workstation, tidak mungkin untuk sanggup melaksanakan verifikasi dan analisa yang benar dan akurat juga.

Contoh (sebagai ilustrasi saja):

Ada variance bersaldo negative (note: untuk yang bersaldo positif rasanya saya tidak perlu jelaskan lagi, sudah banyak saya bicarakan), artinya actual cost lebih rendah dibandingkan standard cost-nya. Apakah itu sudah berarti effisien? Masih perlu kajian dan analisa lebih jauh lagi dibandingkan sekedar angka variance. Perlu mengetahui formula-formula dibawah ini:

[-]. Secara alamiah, efficiency sering berbanding terbalik dengan quality of product.
[-]. Naturally, speed (total hour dibagi oleh total quantity atau volume) sering berbanding terbalik dengan quality.

Artinya apa?, jika menemukan variance negative (actual cost lebih kecil dari standard cost) maka anda sudah harus melakukan:

[-]. Verifikasi antara angka-angka di buku dengan bukti transaksi dan physical count.

Question: Bagaimana sanggup melaksanakan itu jikalau tidak menguasai alur fisik barang dan alur transaksi secara terintegrasi?

Okay, let’s say sudah diverifikasi dengan benar, memang matching and it’s confirmed, memang benar ada negative variance, apakah itu sudah cukup? Not yet….

[-]. Itu merupakan another alarm bell atau red alert atau sinyal ancaman lainnya pada “quality of product”, anda sudah harus cepat-cepat periksa quality barang yang dihasilkan, tentu saja tanpa meng-intervensi kerja kepingan quality control, anda hanya perlu melaksanakan verifikasi dan analisa, kepingan keuangan berhak untuk melaksanakan itu, tentunya diubahsuaikan dengan level dan authority-nya.

Question: Bagaimana sanggup melaksanakan itu jikalau tidak menguasai quality management and its standard?. Mustahil bukan?

Kembali ke duduk kasus quality dan effisiensi. Ini formula selanjutnya yang perlu diketahui (di ingat baik-baik):

[-]. Quality berbanding lurus dengan sales (both in volume & value). Semakin menurun qualitas, most probably sales akan turun juga.
[-]. Sales sudah niscaya (saya yakin anda sudah tahu) berbanding lurus terhadap revenue.
[-]. Revenue berbanding lurus terhadap PROF!T.

So, you are questioning mebagaimana jikalau produksi menurut pesanan?, toh barang sudah dipesan”.

Tahukah anda bahwa, purchase order tidak berarti orang dihentikan mengembalikan barang, jikalau poor in quality niscaya barang dikembalikan, jikalau quality “agak” rendah, mungkin barang tetap diterima tetapi dengan discount.

Okay, let’s say, somehow, quality rendah, tetapi barang diterima dan tanpa discount. Does that sound perfect?. Belum tentu, sangat mungkin back-order atau repeat order-nya akan dikurangi, atau bahkan tidak ada repeat order lagi. Jika new customer, hampir sanggup dipastikan tidak akan pernah kembali lagi, artinya conversion menurun (kesempatan untuk meng-convert new customer menjadi regular customer hilang). See, we just through the “next cash” out of the window.

Tapi, itu kan nanti, yang terang untuk periode ini perusahaan untung”. A-a, perlu diketahui, kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan untuk periode yang akan tiba yaitu bentuk lain dari cost. Namanya “Opportunity Cost”.

apakah opportunity cost dilaporkan di dalam laporan keuangan?”. Memang, tidak dilaporkan, tetapi akan muncul nanti pada laporan yang akan tiba dalam wujud "pertumbuhan revenue yang menurun".
Misalnya:
Dua periode sebelumnya memperoleh revenue Rp 1,000,000 dan periode yang kemudian memperoleh revenue Rp 1,500,000, dan periode berjalan memperoleh revenue Rp 2,250,000. Artinya rata-rata pertumbuhan revenue yaitu 150%. Dengan rata-rata 150% seharusnya revenue di periode berikutnya seharusnya Rp 3,375,000, tetapi lantaran menurunnya quality, beberapa customer yang mendapatkan poor quality product tidak melaksanakan pesanan lagi, sehingga angka Rp 3,375,000 kemungkinan besar tidak akan tercapai. In worst case, sangat mungkin revenue malah turun ke angka dibawah Rp 2,250,000.


Contoh lain: (kasus yang berbeda)

Terjadi variance bersaldo negative pada Direct Labour Cost, artinya upah buruh yang dibayarkan lebih rendah dibandingkan standard cost, apakah sudah berarti effisiensi? Belum tentu juga.

Pada Direct Labor Cost (upah buruh) berlaku formula:

[-]. "Direct Labor Cost" berbanding lurus terhadap “descent work(=tingkat kepuasan kerja?)”.
[-]. "Descent work" berbanding lurus terhadap "employee loyalty"
[-]. "Employee loyalty" berbanding lurus terhadap "productivity"
[-]. "Productivity" berbanding lurus terhadap "Revenue"
[-]. "Descent work" berbanding terbalik terhadap "Employee turnover (arus keluar masuk karyawan)".
[-]. "Employee Turnover" berbanding lurus dengan "Recruitment & Training Expense"

Menurunnya upah buruh sangat mungkin menjadikan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh, dan menurunnya tingkat kepuasan kerja buruh secara alamiah akan menurunkan productivity, productivity kuat terhadap revenue. Tingkat kepuasan kerja yang menurun juga menjadikan employee turnover yang tinggi, employee turnover yang tinggi akan menjadikan recruitment dan pembinaan expense meningkat. Look, that’s another big potential cost.

Failure dalam memilih “employee retention policy (=kebijakan dalam pinjaman kompensasi, incentive dan kesempatan berkembang)” could directly impact productivity and employee turnover.

Catatan: Approach yang sesuai terhadap "Kebijakan Ketenaga Kerjaan", "Human Resource Management" yaitu salah satu kunci kesuksesan aktifitas pengendalian. Dan, rasanya akan menjadi sesuatu yang berat jikalau kedua hal tersebut tidak dikeuasai dengan baik.

Kesimpulan

Dari awal pembahasan hingga kini tampaknya in-efficient salah, efficient juga salah, yang benar yang mana?, mana yang lebih penting; efficient atau quality?, Direct Labor Cost efficiency atau Descent Work?

Kondisi ideal yang diperlukan tentu: Qualitas product terbaik pada tingat effisiensi yang tinggi juga, descent work tertinggi pada tingkat effisiensi direct labor cost yang tinggi juga. Goal setting yang tinggi yaitu postif, tapi perlu realistis in the same time.

Dengan melaksanakan ekspresi dominan analysis dari satu period ke period yang lain, membandingkan unsur-unsur: variance Vs quality, variance Vs productivity, variance Vs employee turnover yang pada akibatnya membandingkan revenue Vs cost/expense secara berkesinambungan, akan sanggup memilih “Match Point (titik temu)” dan “Elasticity” antara unsur-unsur yang di bandingkan.

Yang dimaksudkan dengan match point di sini adalah:

titik” dimana:

[-]. Effisiensi Vs Quality, mengahasilkan profit tertinggi
[-]. Effisiensi Vs Productivity, menghasilan profit tertinggi
[-]. Effisiensi Vs Employee Turnover, menghasilkan profit tertinggi

Match point tersebutlah nantinya akan dijadikan contoh standard cost berikutnya, standard untuk mentukan kebijakan-kebijakan perusahaan di semua department diperiode berikutnya. Dengan perjuangan yang terus menerus, dari period ke periode berikutnya yang semakin ditingkatkan, suatu ketika kondisi ideal yang diperlukan tentunya sanggup diwujudkan.

Last question:

Kalau toh pada akibatnya untuk mencari tingkat profitability maximum, bukankah cukup hanya dengan menganlisis laporan keuntungan rugi saja?, toh sudah sanggup dibandingkan antara revenue dengan cost, antara sales dengan gross margin, antara sales dengan profit margin, dan sebagainya?

Pszz…..wrong conclusion.

Semua analisa perbandingan tadi yaitu dengan asumsi, “NO ERROR (Zero Error)”, hanya duduk kasus mencari titik temu saja. Pada kenyataannya, error sering terjadi, kesalahan sanggup timbul dimana saja, entah lantaran kurangnya ketrampilan pegawai/buruh, atau adanya pegawai/buruh yang bekerja diluar system yang telah ditentukan.

Salah satu fungsi pengendalian yaitu menangkap sinyal error semenjak dini, sehingga sanggup mencegahnya (tidak membiarkan-nya terjadi). Menganalisa dan menyimpulkan apa yang telah terjadi saja bukanlah tindakan yang smart (jika tidak mau disebut bodoh). Jika pintar, maka harus sanggup meng-identifikasi dan mencegahnya, jikapun tidak sanggup dicegah, maka error yang timbul harus dicari akar masalahnya, kemudian shutdown right on the spot (tepat d ititik dimana terjadi-nya error), jangan hingga meluas atau menjalar, dan tidak akan terjadi lagi. Itu gres smart.

Jika diperusahaan anda memakai STANDARD COST, artinya akan ada VARIANCE, artinya perusahaan sangat care terhadap effisiensi. Semua itu membutuhkan kerja keras dan commitment yang sungguh-sungguh dari semua element di perusahaan. Jika belum, mungkin ingin mencoba menerapkan standard cost?

Setelah Standard Cost & Variance dibahas, kini lanjut lagi mengenai Harga Pokok Penjualan (HPP/COGS) perusahaan manufaktur. Yang sering menjadi sumber kesulitan dalam memahami Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok Penjualan perusahaan manufaktur yakni alur dan jurnalnya. Sekarang akan dibahas khusus alur dan jurnalnya.

Beberapa bulan yang lalu, friend’s of my friend mengalami kesulitan mengenai alur dan jurnal harga pokok produksi dan harga pokok penjualan, padahal beliau sudah pernah menangani accounting sebuah pabrik sebelumnya. Hanya saja sebelumnya, pabrik yang ditangani tidak mengakui adanya persediaan barang dalam proses, sementara perusahaannya yang kini mengakui.

Ok, let’s keep it short and quick……

Sebenarnya alur harga pokok produksi sebagian sudah saya bahas di Standard Cost, hanya saja, alasannya yakni di topic itu focus pada standard cost & variance, maka pembicaraan lebih banyak di sekitar bagaimana penentuan standard cost, terjadinya variance, perlakuan dan approach yang dipergunakan. Sehingga alurnya kurang difocuskan. Sekarang saya akan berfocus pada alur dan jurnalnya sampai terbentuknya Harga Pokok Penjualan (tanpa memperhitungkan adanya standard cost maupun variance).

Jika saya gambarkan dengan diagram, kurang-lebih menyerupai ini:
 Yang sering menjadi sumber kesulitan dalam memahami Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok  COST OF GOODS SOLD (COGS/HPP) - MANUFAKTUR (The Alure)Harga Pokok Produksi (Manufacturing Cost) dan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold/HPP) perusahaan Manufactur.

Seperti apakah bentuk dan struktur penyajian Harga Pokok Penjualan (COGS) pada Laporan Laba/Rugi?. Kita akan bahas sebentar lagi.

Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) yang sering disingkat dengan HPP atau COGS strukturnya berbeda-beda tergantung jenis perjuangan dan tingkat keperluan management dalam menyajikan laporan.

Ada perusahaan yang menyajikan “Laporan Laba/Rugi” hanya dengan menyebutkan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) saja, ada juga yang di sertai oleh rincian perhitungan-nya dengan lampiran terpisah, ada juga yang menyajikan semua element yang membentuknya secara lengkap.

Semakin terperinci suatu laporan tentu semakin baik, saya langsung menyarankan biar menyajikan Harga Pokok Penjualan (pada Laporan Laba/Rugi) minimal menawarkan unsur utama yang membentuk harga pokok penjualan tersebut, sesuai dengan jenis usahanya.


Perusahaan Dagang

Seperti yang sudah sering saya sampaikan, bahwa untuk perusahaan dagang, harga pokok penjualannya biasanya hanya terdiri dari “Inventory” dan “Overhead” saja, untuk itu penyajian harga pokok penjualannya hendaknya menawarkan kedua unsur tersebut.

Lebih concrete-nya, bentuknya dapat menyerupai ini:

struktur penyajian Harga Pokok Penjualan  Harga Pokok Penjualan (COGS) – Struktur LaporanCost Of Goods Sold – Manufaktur (The Alure)), dapat anda temukan bahwa pada perusahaan manufaktur, Direct Labor Cost dan Overhead Cost telah diconvert ke dalam nilai inventory pada dikala barang final dan diserahkan ke gudang penyimpanan barang jadi. Sehingga semua barang jadi (Inventory) yang masuk ke gudang penyimpanan sudah mengandung Direct Labor Cost & Overhead Cost.

Sebagai epilog serie sehabis Harga Pokok Penjualan (COGS) - Struktur Laporan ini, di posting saya berikutnya, akan kita bahas: Cost Of Goods Sold – Taxation Notes. Disana akan saya bahas mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan Cost Of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) terkait dengan perpajakan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) berkaitan dengan perpajakan. Apa saja? Kita bahas di artikel ini dengan cepat dan singkat (tetapi tanpa meninggalkan substansinya).

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Cost Of Goods Sold terkait dengan perpajakan, yaitu:

[-]. Raw Material/Inventory Purchase

Pembelian raw material maupun barang jadi disertai oleh PPN.

Jika pembelian dilakukan dengan cara meng-import, maka akan dikenakan PPn Import, dan atas pembayaran PPN tersebut tentunya anda akan mendapatkan bukti potong PPN yang dipungut oleh pihak Ditjend Bea Cukai (DJBC).

Jika pembelian dilakukan di dalam negeri, dimana supplier (pemasok barang) sudah PKP maka pembelian tersebut akan akan disertai PPN juga, dan sebagai pihak yang dipotong tentu anda akan mendapatkan bukti potong yang akan anda sebut sebagai “PPN Masukan” (bagi supplier itu yakni PPN keluaran).

Apakah PPN tersebut bab dari Inventory?, jawabannya : “Tidak”.

Misalnya:

Nilai pembelian lokal anda yakni Rp 1,000,000, atas pembelian tersebut anda dipungut PPN Rp 100,000. Walaupun anda membayar (mengakui hutang) sebesar Rp 1,100,000, nilai Inventory/Raw Material yang anda akui yakni sebesar nilai barangnya saja (tidak termasuk PPN-nya)

Jurnalnya:

[Debit]. Inventory/Raw Material = Rp 1,000,000
[Debit]. PPN = Rp 100,000
[Credit]. Cash/Hutang Dagang = Rp 1,100,000

Atas PPN Rp 100,000 yang dipungut oleh supplier (yang sudah PKP), nantinya sanggup anda kompensasikan (kreditkan) dengan PPN keluaran nantinya jikalau sudah terjadi penjualan. Lebih mendalam mengenai PPN kita akan bahas dikesempatan lain. Sekarang focus pada legalisasi Inventory/Raw Material saja dahulu.


[-]. Inbound Freight (Bea Angkut) atas Raw Material/Inventory Purchase

Jika pembelian raw material/inventory disertai oleh bea angkut (inbound freight), maka inbound freight yakni element dari inventory (otomatis akan menjadi element COGS).

Misalnya:
Dilakukan pembelian Rp 1,000,000 dan atas pembelian tersebut anda menanggung bea angkut sebesar Rp 50,000, maka jurnalnya:

[Debit]. Raw Material/Inventory = Rp 1,050,000
[Credit]. Hutang Dagang = Rp 1,050,000

Bisa juga bea angkut tidak dicatat dengan rekening terpisah, misalnya: rekeningnya di sebut “Bea Angkut”, hanya saja bea angkut tersebut dikelompokkan ke dalam Cost Of Goods Sold.


[-]. Penggunaan Inventory/Raw Materials

Tidak menutup kemungkinan sejumlah tertentu dari raw materials atau inventory dipergunakan tidak untuk acara yang bekerjasama dengan produksi dan penjualan. Misalnya: Disumbangkan (charity), dipergunakan untuk keperluan langsung (personal use), atau diserahkan kepada pihak tertentu yang bukan untuk maksud dijual.

Penggunaan Inventory/Raw material yang tidak dimaksudkan untuk berproduksi dan dijual, dihentikan diakui sebagai Cost.

Pertanyaan: Kenyataannya inventory atau raw material berkurang, sementara pengurangan atas inventory/raw material tersebut dihentikan diakui sebagai cost, kemudian diakui sebagai apa dan bagaimana mencatatnya?.

Berkurangnya inventory/raw material tersebut dicatat sesuai maksudnya, jikalau di sumbangkan, catat sebagai biaya derma (charity), jikalau dipergunakan untuk keperluan langsung (personal use) maka dicatat sebagai piutang dagang atau jenis debit tertentu (mungkin: employee advance, atau director advance atau yang sejenisnya). Dan dijurnal:

[Debit]. Charity (Sumbangan)
[Credit]. Inventory/Raw Material

Catatan: Pada buku Laporan Keuangan komersial, charity dikelompokkan ke dalam expenses (biaya operasional). Sedangkan bagi Ditjend pajak, derma (charity) tidak diakui sebagai biaya/cost, dan akan menjadi koreksi fiskal atas laporan komersial yang mengakui adanya derma (charity).

Atau di jurnal dengan:

[Debit]. Employee Advance/Director Advance
[Credit]. Inventory/Raw Material

Catatan: Employee advance, bukan bab dari “Nominal account” akan tetapi merupakan “Real Account” yaitu pada kelompok "Current Asset", yang nantinya (pada ketika tertentu) harus di offset dengan rekening lain.

Misalnya:

Direktur mengambil beberapa unit inventory/raw material senilai Rp 500,000 untuk digunakan pribadi, atas pengambilan inventory tersebut dicatat:

[Debit]. Director Advance = Rp 500,000 à Ke Balance Sheet
[Credit]. Inventory/raw Material = Rp 500,000 à Ke Balance Sheet

Atas penggunaan langsung inventory/raw material tersebut, akan dipotongkan pada honor yang akan diterima oleh director pada bulan depannya, ketika pembayaran honor director dicatat:

[Debit]. Payroll Expense = Rp 10,000,000
[Credit]. Cash = Rp 9,500,000
[Credit]. Director Advance = Rp 500,000

Dengan jurnal ini, maka director advance menjadi nol, biaya honor tetap sebagaimana seharusnya, dan cash yang dikeluarkan lebih kecil dari jumlah gajinya, alasannya yakni sebagian honor sudah diambil dalam bentuk inventory/raw material bulan lalunya.


Dengan posting ini ( Cost Of Goods Sold & Pajak (Taxation Notes) ), saya rasa series Cost of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) sudah cukup. Tapi jangan khawatir, nanti akan ditambahkan dengan kasus-kasus yang agak controversial, aneh, ajaib, lebih insightful dan pernak-pernik yang bekerjasama dengan Cost Of Goods Sold, termasuk: inventory analysis, Cost of Goods Analysis dan cost ratio yang terkait, biar menjadi lebih kaya dan lebih advance tentunya.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.