Latest Post

Account Assistant Account Officer Account Payable Account Receivable Accounting Accounting Case Study Accounting Certification Accounting Contest Accounting For Manager Accounting Manager Accounting Software Acquisition Admin Administrasi administrative assistant Administrator Advance accounting Aktiva Tetap Akuisisi Akun Akuntan Privat Akuntan Publik AKUNTAN. Akuntansi Akuntansi Biaya Akuntansi Dasar Akuntansi Management Akuntansi Manajemen Dan Biaya Akuntansi Pajak Akuntansi Perusahaan Dagang Akuntansi Perusahaan Jasa Akuntansi Syariah Akuntansi Translasi Akunting Analisis Transaksi Announcement Aplikasi Akuntansi archiving ARTICLES ARTIKEL Asumsi dasar Akuntansi Asuransi Aturan Pencatatan Akuntansi Audit Audit Kinerja Auditing Balance sheet Bank Basic Accounting Bea Cukai Bea Masuk Bidang Akuntansi Bukti Transaksi Buku Besar Calculator Capital Cara Pencatatan Akuntansi Career Cash Cash Flow Cat Certification Checker Checker Gudang COGS Collection Contest Corporate Social Responsibility (CSR) Cost Cost Analysis CPA CPA EXAM Credit Credit Policy Current Asset Custom Custom Clearence Dasar Akuntansi Data Debit Kredit Discount Diskon Distributor Dyeing Ekspor Engineering Etika Profesi & Tata Kelola Korporat Example Expense Export - Import FASB Finance FINANCIAL Financial Advisor Financial Control Finansial Foreign Exchange Rate Form FRAUD Free Download Freebies Fungsi Akuntansi GAAP GAJI Garansi Gift Goodwill Gudang Harga Pokok Penjualan Hotel HPP HRD IFRS Impor Import Import Duty Informasi Akuntansi International Accounting Investasi IT Jasa Jasa Konstruksi Job Vacant JUDUL SKRIPSI AKUNTANSI TERBARU Jurnal Khusus Jurnal Pembalik Jurnal Pembalik Dagang Jurnal Penutup Jurnal Penutup Dagang Jurnal Penyesuaian Jurnal Umum Kas Kas Bank Kas Kecil Kasus Akuntansi Kasus Legal Kasus Pajak Kepala Rekrutment Kertas Kerja Keuangan Knitting Komentar Komputer Konsolidasi Konstruksi Konsultan Laba-Rugi Laboratorium Lain-lain lainnya LANDING COST Laporan akuntansi Laporan Arus Kas Laporan Keuangan Laporan Keuangan Dagang Laporan Keuangan Jasa Laporan Laba Rugi Laporan Perubahan Modal laporan Rugi Laba Layanan Konsumen Lean Accounting Lean Concept Lean Manufacturing Legal Logistik Lowongan Kerja Accounting MA Accounting Macam Transaksi Dagang Management Management Accounting Manager Manajemen Manajemen Keuangan Manajemen Keuangan Manajemen Stratejik Manajer Manajer Administrasi Manfaat Akuntansi Manufaktur Marketing Matching Color Mekanisme Debit Mekanisme Kredit Mencatat Transaksi Merger metode fifo dan lifo Mid Level Miscellaneous Modal Neraca Neraca Lajur Neraca Saldo Neraca Saldo Setelah Penutupan Nerasa Saldo Office Operator Operator Produksi Paint PAJAK pajak pusat.pajak daerah(provinsi dan kabupaten) payroll Pelaporan Korporate Pemasaran Pembelian Pemberitahuan Pemindahbukuan Jurnal Pencatatan Perusahaan Dagang Pendapatan Pengakuan Pendapatan Pengarsipan Pengendalian Pengendalian Keuangan Pengertian Akuntansi PENGERTIAN LAPORAN KEUANGAN pengertian pajak PENGERTIAN PSAK PENGGELAPAN Pengguna Akuntansi Pengkodean Akun Penjualan Perbankan Perlakuan akuntansi Perpajakan Persamaan Dasar Akun Petty Cash Piutang Posting Buku Besar PPH PASAL 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 26 PPn PPn Import Prefesi Akuntansi Prinsip Akuntansi PRINSIP DASAR AKUNTANSI Produksi Profesi Akuntansi Professi Akuntan Profit-Lost Proses Akuntansi Proyek PSAK PSAK TERBARU PURCHASE Purchasing QA QC Quality Assurance Quality Control Quiz Rabat Rajut rangkuman Rebate Recruitment Recruitment Head Rekrutment Retail Retur Return Revenue Review Saldo Normal Sales Sales Representative Sejarah Akuntansi SERIE ARTIKEL Sertifikasi Shareholder Shipping Agent Shipping Charge siklus akuntansi Silus Akuntansi Dagang Sistem sistem akuntansi Sistem Informasi Sistem Informasi & Pengendalian Internal Soal dan Jawaban CPA SPI Spreadsheet Accounting Spreadsheet Gratis Staff Struktur Dasar Akuntansi Supervisor system pengendalian system pengendalian gaji Tax Taxation Teknik Tekstil Template Teori-teori Akuntansi Tinta Tip n Tricks TIPS AND TRICKS Tools Top Level Transaksi Keuangan Tutup Buku Ujian CPA UPAH update situs USAP Utilities Video Tutor Warehouse Warna warranty What Is New

Setelah Standard Cost & Variance dibahas, sekarang lanjut lagi mengenai Harga Pokok Penjualan (HPP/COGS) perusahaan manufaktur. Yang sering menjadi sumber kesulitan dalam memahami Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok Penjualan perusahaan manufaktur ialah alur dan jurnalnya. Sekarang akan dibahas khusus alur dan jurnalnya.

Beberapa bulan yang lalu, friend’s of my friend mengalami kesulitan mengenai alur dan jurnal harga pokok produksi dan harga pokok penjualan, padahal ia sudah pernah menangani accounting sebuah pabrik sebelumnya. Hanya saja sebelumnya, pabrik yang ditangani tidak mengakui adanya persediaan barang dalam proses, sementara perusahaannya yang sekarang mengakui.

Ok, let’s keep it short and quick……

Sebenarnya alur harga pokok produksi sebagian sudah saya bahas di Standard Cost, hanya saja, alasannya di topic itu focus pada standard cost & variance, maka pembicaraan lebih banyak di sekitar bagaimana penentuan standard cost, terjadinya variance, perlakuan dan approach yang dipergunakan. Sehingga alurnya kurang difocuskan. Sekarang saya akan berfocus pada alur dan jurnalnya sampai terbentuknya Harga Pokok Penjualan (tanpa memperhitungkan adanya standard cost maupun variance).

Jika saya gambarkan dengan diagram, kurang-lebih ibarat ini:
 Yang sering menjadi sumber kesulitan dalam memahami Harga Pokok Produksi dan Harga Pokok  COST OF GOODS SOLD (COGS/HPP) - MANUFAKTUR (The Alure)Harga Pokok Produksi (Manufacturing Cost) dan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold/HPP) perusahaan Manufactur.

Prosedur dan Jurnal Tutup Buku ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle, disini akan dibahas secara specific konsep, mekanisme dan pengerjaannya step—by—step, hingga mengahsilkan Laporan Keuangan (Profit/Lost Statement & Balance Sheet).

Di artikel sebelumnya (Alur Akuntansi [-baca-]) kita sudah hingga pada pembuatan “Adjusted Trial Balance” yang hasilnya menyerupai dibawah ini (sekedar mengingat kembali):

 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU


Artikel ini yakni lanjutan dari Alur akuntansi (Sorry for a while break), di artikel ini akan dilanjutkan.

Sebelum ke mekanisme dan Jurnal Tutup Buku, berikut ini yakni cuplikan percakapan menarik sekaligus menggelitik yang saya extract dari suatu milis, kalau tidak salah ini yakni percakapan antara user suatu “Accounting Software” dengan seorang IT consultant:

Dari : DJ <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Saya lagi galau dengan istilah posting. Itu maksudnya bagaimana? Kalokartu stok, piutang, dan hutang tidak di dihapus ntar bagaimana dengansaldo awal ? Biasanya kan pada tanggal 1 tiap bulannya diberiketerangan saldo awal, kalo lanjut terus bagaimana pada tanggal 1 bulanberikutnya?

Halo D,

Posting itu bahasa akuntansi yang artinya memasukkan semua jurnal kebuku besar. Hanya ketika ini lebih baik pribadi dimasukkan secaraotomatis (posting otomatis). Kan setiap simpulan bulan, kartu stok, piutang, hutang, jurnal, bukubesar, keuntungan rugi dan neraca ditutup bulan. Kaprikornus niscaya saldo awal bulanini yakni saldo simpulan bulan lalu. Data kartu stok, piutang, hutang,jurnal, buku besar, keuntungan rugi dan neraca tidak perlu dihapus, biar siuser bisa melihat data yang bulan2 lalu.

Advess
ISV and IT Consultant


Dihapus?”. I don't mean to insult anybody, but it sound ODD to me. Tentu saja “hapus/tidak” bukanlah pilihan (mirip-mirip judul lagu di MTV ya?). Saya rasa pertanyaanya bukan dihapus atau tidak, tetapi “bagaimana prosedurnya yang benar?” :-).


Apa Essensi Tutup Buku?

Arti harfiah “Tutup Buku” mengesankan bahwa pembukuan perusahaan ditutup, apakah berarti buku catatan keuangan perusahan ditutup?.

Concept dasar tutup buku yakni memindahkan "Nominal Accounts" dan "Dividen" ke rekening “Retained Earning (Laba Ditahan)” sehingga diperoleh nilai “Equity (modal)” di simpulan periode”.

Tutup buku dimaksudkan untuk:

[-]. Melakukan pemisahan (dikenal dengan istilah “CUT-OFF/PISAH BATAS”) antar periode/tahun buku.

[-]. Menentukan “Laba/Rugi” di simpulan periode.

[-]. Memperoleh “Neraca Akhir”

[-]. Memisahkan “Hard Copy” (bukti transaksi) antar periode/tahun buku

Dan sesudah tutup buku nantinya diperlukan biar aneka macam pihak (yang berkepentingan) dapat:

[-]. Menilai “achievement progress” atau perkembangan pencapaian perusahaan ke arah objective (tujuan) perusahaan (organisasi) yang intinya yakni “Profit/Laba”.

[-]. Mengetahui kekayaan perusahaan di simpulan periode.

[-]. Mengetahui tingkat kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya (liquidity) dan jangka panjangnya (solvability), dan rasio keuangan lainnya.

You may questioning “Account apa saja yang disebut sebagai Nominal Account ?

Nominal Account: yakni account-account temporary yang harus ditutup diakhir periode ke rekening “Retained Earning (Laba Ditahan)”, yang meliputi:

- Cost & Expense accounts (Cost & Biaya)
- Income Tax
- Revenue accounts (Pendapatan)

Disamping "Nominal Account", "Dividen" juga harus ditutup.

Dari Penjelasan diatas saya yakin, sudah mulai ada citra yang cukup mengenai apa itu tutup buku, dan mungkin sudah mulai ada citra bagaimana seharusnya mekanisme tutup buku itu?. Anyway, I am handing-this-on right now, read on....


Prosedur dan Jurnal Tutup Buku

Pada dasarnya mekanisme tutup buku sederhana saja. Tehnisnya menyerupai ini:

Step-1: Pisahkan “Nominal Accounts” dengan “Real Account”

Jika kita pisahkan account-account yang ada di trial balance ke dua kelompok di atas maka akan menjadi sebagai berikut:



 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU


Step-2: Menutup “Nominal Account” ke “Income Statement (Lap. Laba Rugi)”

Pemindahan nominal account (Revenue/Sales, Cost & Expenses) ke Income Statement dilakukan dengan:

(a). Menutup Cost & Expense ke “Profit/Lost”
(b). Menutup Revenue/Sales ke “Profit/Lost”

Dengan jurnal :



 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU
Catatan:
Costs & Expenses ditutup dengan men-debit rekening "Profit/Lost", sedangkan Revenue ditutup dengen meng-credit rekening "Profit/Lost"

Dengan kedua jurnal di atas maka:

[-]. Saldo simpulan semua account Cost, Expense, & Revenue akan menjadi 0 (nol).
[-]. Dan membentuk Buku Besar “Profit/Lost”.


Step-3: Membuat “Profit & Lost Statement”

Dari sini “Profit & Lost Statement” sudah sudah bisa di-construct, dan hasilnya akan menyerupai dibawah ini:



 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU
Catatan: Hasil jadinya masih berupa “Earning Before Tax” = Rp 15,437,500


Step-4: Menghitung “Income Tax”

Dengan “Earning Before Tax” diatas maka “Income Tax " sanggup kita hitung (Laba Kena Pajak dibawah Rp 50,000,000 so rate-nya 10%):

Rp 15,437,500 x 10% = Rp 1,543,750


Step-5: Posting “Income Tax”

Income Tax dijurnal dengan:

 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU
Catatan:
Jurnal diatas akan membentuk Buku Besar gres yaitu:

Buku Besar “Income Tax” dengan saldo Debit = Rp 1,543,750
Buku Besar “Income Tax Payable” dengan saldo Credit = Rp 1,543,750


Step-5: Menutup Buku Besar "Income Tax" ke "Profit/Lost"

Karena Income Tax juga termasuk account nominal, biar saldo jadinya juga menjadi nol maka ditutup dengan jurnal:
 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU
Setelah Income Tax ditutup ke buku besar "Profit/Lost" maka “Profit & Lost Statement” sudah bisa diconstruct sempurna. Setelah Income Tax dimasukkan, maka Income Statement simpulan akan kita peroleh menyerupai dibawah ini:


 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU
Catatan: Setelah rekening-rekening Cost, Expense, Revenue & Income Tax ditutup ke rekening gres "Profit/Lost", maka Buku Besar "Profit/Lost" akan menjadi menyerupai dibawah ini:


 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU



Step-6: Menutup Buku Besar “Profit/Lost” ke “Retained Earning”

Pada jadinya Buku Besar “Profit/Lost” juga harus kita tutup. Dan “Profit/Lost” ditutup ke “Retained Earning” dengan jurnal:


 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU

Catatan:

Pada dasarnya semua nominal account hanyalah daerah persinggahan sementara, yang pada jadinya ditutup ke Retained Earning (Real Account), itulah sebabnya Nominal Account sering disebut dengan "Temporary Account".

Sekarang semua Nominal Account telah kita tutup

Tetapi masih ada satu rekening yang masih open, yaitu “Dividen” yang dibayarkan kepada pemegang saham sebesar Rp 1,000,000,- dan ini harus ditutup juga.


Step-7: Menutup “Dividen” ke “Retained Earning”

Dividen ditutup dengan jurnal:

 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU


Sampai ketika ini semua Nominal Account & Dividen telah ditutup, artinya: SEMUA REKENING NOMINAL SUDAH BERSALDO 0 (NOL), tinggal “Real Account” yang masih ada saldonya, karena memang Real Account akan rolled up ke periode berikutnya.

Langkah selanjutnya yakni menciptakan “Neraca Lajur”.


Step-8: Membuat “Neraca Lajur”

Jika semua buku besar yang masih ada saldo-nya (Real Account) kita masukkan ke dalam “Neraca Lajur” maka hasilnya akan menyerupai dibawah ini:


 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU

Step-9: Membuat Neraca Akhir (31-Dec-2008)

Dari Neraca lajur pada step-8 diatas maka kita sudah bisa mendapat “NERACA Per 31 Desember 2008” menyerupai dibawah ini:

 ini akan menjadi simpulan dari accounting cycle PROSEDUR DAN JURNAL TUTUP BUKU
Catatan: (Penting)

Jika ada penyesuaian-penyesuaian, maka perlu dilakukan “Penyesuaian Kembali pada ketika menjelang awal tahun buku. Hal ini dimaksudkan biar buku tetap consistent, tetapi lantaran pokok bahasan ini hanya mengenai penutupan buku, maka hal tersebut tidak saya bahas di artikel ini. Akan saya bahas di artikel yang lain.

Contoh saya buat sesederhana mungkin dengan maksud utama: AGAR SIKLUS BISA DI PAHAMI DENGAN JELAS. There is no way to cover cases allover those “wide-range-industries-and services” in one article :P.

Tetapi jikalau dipadukan dengan kasus-kasus specific, perlakuan-perlakuan specific, yang sudah dan akan saya tambahkan diposting-posting saya berikutnya, saya yakin siapapun tidak akan mengalami kesulitan untuk construct laporan keuangan.

Even, I made that simple, I know it still sound not easy, izzit?, I know I know…….

But if you try to do your best to understand and follow all the step since the beginning, keep excercising, trust me, it will be more than worth it!, that's why I merely writte this step-by-step guidance. Hopefuly this helps.

Have a bright time!

Putra


Peran Investor Institusi

Investor institusi cenderung memperhatikan  market  yang dapat menunjukkan keberadaan dan keuntungan yang tinggi dalam jangka panjang (sustainable)  (Suchman, 1995; Barkemeyer, 2007). Dengan demikian, apabila perusahaan memiliki kontrak dengan pemilik institusi, baik dalam relasi kepemilikan atau relasi dagang, maka perusahaan akan lebih didukung dalam melaksanakan pengungkapan laporan keberlanjutannya.

Institutional investors cenderung tertarik pada  long-term capital gain, sehingga pada banyak kasus,  stable shareholders tidak tertarik berpartisipasi pada administrasi perusahaan, melainkan pada seluruh kesehatan dan pertumbuhan perusahaan.

Seperti apakah bentuk dan struktur penyajian Harga Pokok Penjualan (COGS) pada Laporan Laba/Rugi?. Kita akan bahas sebentar lagi.

Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) yang sering disingkat dengan HPP atau COGS strukturnya berbeda-beda tergantung jenis usaha dan tingkat keperluan management dalam menyajikan laporan.

Ada perusahaan yang menyajikan “Laporan Laba/Rugi” hanya dengan menyebutkan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) saja, ada juga yang di sertai oleh rincian perhitungan-nya dengan lampiran terpisah, ada juga yang menyajikan semua element yang membentuknya secara lengkap.

Semakin terang suatu laporan tentu semakin baik, aku eksklusif menyarankan semoga menyajikan Harga Pokok Penjualan (pada Laporan Laba/Rugi) minimal menawarkan unsur utama yang membentuk harga pokok penjualan tersebut, sesuai dengan jenis usahanya.


Perusahaan Dagang

Seperti yang sudah sering aku sampaikan, bahwa untuk perusahaan dagang, harga pokok penjualannya biasanya hanya terdiri dari “Inventory” dan “Overhead” saja, untuk itu penyajian harga pokok penjualannya hendaknya menawarkan kedua unsur tersebut.

Lebih concrete-nya, bentuknya mampu ibarat ini:

struktur penyajian Harga Pokok Penjualan  Harga Pokok Penjualan (COGS) – Struktur LaporanCost Of Goods Sold – Manufaktur (The Alure)), mampu anda temukan bahwa pada perusahaan manufaktur, Direct Labor Cost dan Overhead Cost telah diconvert ke dalam nilai inventory pada ketika barang final dan diserahkan ke gudang penyimpanan barang jadi. Sehingga semua barang jadi (Inventory) yang masuk ke gudang penyimpanan sudah mengandung Direct Labor Cost & Overhead Cost.

Sebagai penutup serie setelah Harga Pokok Penjualan (COGS) - Struktur Laporan ini, di posting aku berikutnya, akan kita bahas: Cost Of Goods Sold – Taxation Notes. Disana akan aku bahas mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan Cost Of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) terkait dengan perpajakan.

Salah satu jenis penarikan aktiva ialah PENJUALAN AKTIVA TETAP. Perlakuan Akuntansinya (Prosedur, perhitungan, pencatatan dan pelaporan -nya) akan dibahas di artikel ini, termasuk aspek perpajakan -nya.

Pada dasarnya, tidak satupun perusahaan bermaksud dan merencanakan untuk menjual aktiva tetapnya, alasannya aktiva tetap dibeli dimaksudkan untuk dipergunakan selama umur ekonomisnya untuk menjaga kelangsungan perjuangan (entah untuk berproduksi, dijadikan daerah usaha, dijadikan peralatan kerja, dan lain sebagainya).

Akan tetapi ada kondisi-kondisi (read: reason) tertentu yang mengakibatkan perusahaan menjual aktiva tetapnya, antara lain:

[-]. Karena perusahaan kekurangan supply dana, sehingga perusahaan dengan terpaksa menjual aktiva tetap-nya untuk memperoleh embel-embel dana entah untuk modal kerja, atau untuk memenuhi kewajiban (bayar hutang) jangka pendek/panjang-nya.

[-]. Karena perusahaan berganti jenis product, sehingga mesin-mesin dan perlatan tertentu tidak diharapkan lagi (tidak memberi manfaat lagi). Hal ini biasanya terjadi pada perusahaan-perusahaan manufaktur yang memproduksi “fast moving product”, misalnya: Perusahaan Apparel, perubahan animo mode akan menciptakan perusahaan tidak mempergunakan mesin untuk jenis pengerjaan bab tertentu lagi.

[-]. Karena perusahaan berganti technology, misalnya: perusahaan menjual semua computer ber spesifikasi Pentium III, alasannya perusahaan akan membeli computer yang berspefisifikasi Pentium IV. Atau perusahaan menjual monitor non-flat alasannya akan memakai flat-monitor.

[-]. Karena perusahaan akan ditutup (berhenti beroperasi) alasannya alasan tertentu.


Prosedur dan Perlakuan Akuntansi atas penjualan Aktiva Tetap

Pada garis besarnya mekanisme dan jurnal penjualan aktiva tetap hanya terdiri dari 2 (dua) langkah saja, yaitu:

Step-1: Update Buku Aktiva yang dijual
Step-2: Hapus Aktiva Tetap

Tentu saja ada beberapa langkah detail dari masing-masing langkah di atas


Contoh Kasus:

Pada tanggal 18 April 2008, PT. ROYAL BALI CEMERLANG menjual salah satu mesin produksinya seharga Rp 15,000,000. Dahulunya dibeli pada tanggal 22 February 2005 dengan harga perolehan sebesar Rp 25,000,000.

Catatan:

PT. Royal Bali Cemerlang menggunakan metode garis lurus untuk menghitung penyusutan aktiva tetapnya, tanpa “Salvage Value (nilai residu)”, umur hemat (life time) mesin diperkirakan 8 Tahun. Posisi Aktiva Tetap Mesin PT. Royal Bali Cemerlang per 31 Des 2007 ialah sebagai berikut:

Perolehan = Rp 25,000,000
Accum Deprec = (Rp 8,854,167)
----------------------------------------
Nilai Buku = Rp 16,145,833


Prosedur dan Perlakuan-nya:


Step-1: Update Buku Aktiva Tetap

[-]. Hitung Penyusutan 01 January – 18 Maret 2008:

Karena mesin dijual pada tanggal 18 April 2008, dimana tanggal 18 sudah melewati tengah bulan, oleh hasilnya untuk bulan April dianggap mesin telah dipergunakan selama satu bulan penuh (jika dibawah tanggal 15 maka dianggap belum dipergunakan), maka.

Penyusutan 01 Jan – 18 Apr 2008:

4/12 x (25,000,000/8) = Rp 1,041,667

[-]. Bebankan Penyusutan dengan jurnal:

[Debit]. Depreciation = Rp 1,041,667
[Credit]. Accum Deprec = Rp 1,041,667

Catatan: Jurnal di atas akan menambah "Depreciation Cost" dan menambah "Accum Deprec" mesin sebesar Rp 1,041,667

Sehingga "Accum Deprec Mesin" per tanggal 18 April 2008 adalah:

Accum Deprec per 31 Dec 2007 = Rp 8,854,167
Accum Deprec 01 Jan-18 Apr 2008 = Rp 1,041,667
-------------------------------------------------------------
Accum Deprec per 18 April 2008 = Rp 9.895,833

Dan nilai "Buku Aktiva Tetap Mesin" per 18 April 2008 adalah:

Rp 25,000,000 – Rp 9,895,833 = Rp 15,104,167

Langkah berikutnya ialah penghapusan


Step-2: Penghapusan Aktiva Tetap Mesin

Aktiva Tetap Mesin dihapus dengan jurnal:

[Debit]. Kas/Piutang = Rp 15,000,000,-
[Debit]. Accum Deprec Mesin = Rp 9,895,833
[Debit]. Rugi Penjualan Aktiva = Rp 104,167
[Credit]. Aktiva Tetap Mesin = Rp 25,000,000

Catatan:

Jurnal di atas akan:

(-). Menghapus Aktiva Tetap Mesin dan Akumulasi penyusutannya. Penghapusan terjadi alasannya posting Aktiva Tetap Mesin di masukkan di credit (berlawanan dengan perolehan aktiva tetap mesin yang berada di debit) dan Deprec Accum di masukkan ke sisi Debit (berlawanan dengan saldonya yang berada di sisi credit).

(-). Mencatat Kas masuk atau mengakui piutang sebesar nilai penjualan

(-). Mengakui Rugi Penjualan Aktiva Tetap sebesar selisih antara harga perolehan dengan (Kas+ Accum Deprec), dengan kata lain selisih antara nilai buku aktiva tetap sehabis di-update dengan nilai penjualan.


Bagaimana jikalau mesin dijual seharga Rp 16,000,000?

Jurnalnya:

[Debit]. Kas/Piutang = Rp 16,000,000,-
[Debit]. Accum Deprec Mesin = Rp 9,895,833
[Credit]. Aktiva Tetap Mesin = Rp 25,000,000
[Credit]. Laba Penjualan Aktiva = Rp 895,833

Catatan: terjadi Laba dan diakui sebagai Laba Penjualan Aktiva Tetap sebesar Rp 895,833, yang dihitung dengan cara mencari selisih antara Nilai Buku Aktiva Tetap Mesin dengan Nilai Penjualan (Rp 6,000,000 - Rp 15,104,167).


Pelaporan Laba/Rugi Penjualan Aktiva Tetap

Laba atau Rugi Penjualan Aktiva Tetap di laporkan pada “Laporan Laba/Rugi” masuk dalam kelompok “Pendapatan Lain-Lainbernilai nyata jikalau untung, dan bernilai negative jikalau rugi.


PPN (=PPn?) atas Penjualan Aktiva (My big Question)

Terus terperinci saya masih belum sanggup memahami (read: hard to understand) Undang-Undang PPN No (Pasal) 16D, apakah penjualan aktiva tetap memang terhutang PPN? mengapa?, bukankah PPN ialah Pajak Pertambahan Nilai?, apakah ada value-added (nilai yang ditambahkan) atas penggunaan aktiva sehingga nilai aktiva menjadi meningkat? yang ada nilai aktiva menurun alasannya haus jawaban penggunaan-nya. So... again, it is still my big question.

Sekiranya ada yang lebih sanggup memahami ihwal hal ini, mungkin ada bapak-bapak petugas pajak atau konsultan pajak kebetulan singgah dan membaca posting saya ini, mohon biar sanggup diberikan pencerahan (jawaban) atas pertanyaan-pertanyaan saya di atas, Terimakasih.


Laba/Rugi Penjualan Aktiva Tetap Pada Laporan Laba/Rugi Fiskal

Laba/Rugi atas PENJUALAN AKTIVA TETAP ialah Obyek pajak PPh Badan, sehingga dalam Laporan Laba/Rugi Fiskal, Laba/Rugi Penjualan Aktiva Tetap juga masuk ke dalam pendapatan lain-lain, bernilai nyata jikalau untung, dan bernilai negative jikalau rugi. Sedangkan pada SPT PPh Badan (Pasal 29), Laba/Rugi atas PENJUALAN AKTIVA TETAP di masukkan pada kelompok “Laba/Rugi Penjualan Aktiva".

Aktiva Tetap yang: RUSAK, TERBAKAR atau HILANG, juga merupakan salah satu alasan penarikan aktiva tetap (Plant Asset Retirement). Di artikel ini akan saya bahas perlakuannya dan mekanisme penghapusannya.


Aktiva Tetap Hilang Tercuri (Theft Asset)

Sangat mungkin salah satu atau lebih dari aktiva tetap yang telah dibukukan hilang (tercuri). Dalam hal ini aktiva yang hilang tentunya harus dihapus dari buku (catatan) perusahaan. Pengahapusan buku dilakukan atas dasar bukti “Surat Lapor Kehilangan” kepada pihak kepolisian.

Kasus:

Pada tanggal 19 April 2008, PT. XYZ kehilangan Handycam brand SONY™ yang dahulu dibeli pada tanggal 01 Maret 2008 dengan harga perolehan Rp 16,000,000. atas kehilangan tersebut pihak PT. XYZ telah melaporkannya kepada pihak kepolisian dengan surat lapor no. 120/IV/SLK/POLRI/2008 tertanggal 19 April 2008.

Catatan: Dalam menghitung penyusutannya, PT. XYZ memakai metode garis lurus. Umur hemat handycam diperkirakan 4 Tahun, PT. XYZ tidak memperhitungkan salvage value (nilai residu).

Prosedur penghapusannya sederhana saja:

Step-1: Update Buku Aktiva Tetap (Handycam)

Upadate buku dengan menghitung penyusutan handycam dari tanggal perolehan hingga tanggal hilangnya handycam.

Penyusutan 01 Maret – 19 April 2008:
Penyusutan = 2/12 x (16,000,000/4) = Rp 666,667
(catatan: handycam telah dipergunakan 2 bulan)

Akui penyusutan tersebut dengan jurnal:

[Debit]. Depreciation = Rp 666,667
[Credit]. Accum Deprec = Rp 666,667

Jurnal diatas untuk:
- Mengakui “Biaya Penyusutan” sebesar Rp 666,667
- Mengakui “Accum Deprec” dengan nilai yang sama.

Dengan demikian, maka Nilai Buku Handycam per 19 April 2008:

Perolehan Handycam = Rp 16,000,000
Accum Deprec = (Rp 666,667)
------------------------------------------------
* Nilai Buku = Rp 15,333,333

Step-2: Hapus Aktiva Tetap (Handycam) yang hilang

Aktiva tetap yang hilang dihapuskan dengan jurnal:

[Debit]. Accum Deprec = Rp 666,667
[Debit]. Rugi Kehilangan Aktiva = Rp 15,333,333
[Credit]. Aktiva Tetap (Handycam) = Rp 16,000,000

Kesimpulan : Kerugian diakui sebesar “Nilai Buku” Aktiva Tetap yang hilang.


Aktiva Tetap Rusak (Fatal Damaged) & Terbakar (Fire Loss)

Kerusakan aktiva tetap sanggup disebabkan oleh:

[a]. Kelalaian pihak perusahaan sendiri (oleh pemilik, atau pegawainya)

Kelalaian itu ada banyak sekali macam kemungkinanya, yang paling sering terjadi adalah:

[-]. Salah mengoperasikan, kalau ini yang terjadi biasanya yang bertanggung jawab ialah operator (yang memakai mesin/peralatan) dan supervisornya, tentunya juga tergantung policy perusahaan. Tanggung jawab diwujudkan dalam bentuk penggantian kerugian.

[-]. Salah instalasi, kalau ini yang terjadi maka yang bertanggung jawab ialah technician atau electrician, kalau memakai jasa tehnisi dari luar perusahaan (out-sourcing) tentu yang bertanggung jawab (ganti rugi) ialah pihak yang menyediakan jasa.


[b]. Force Majeur (kerusakan akhir peristiwa alam)

Bentuknya sanggup bermacam-macam: Kebakaran (Fire), Banjir (Flood), Gempa Bumi (Earthquake), bahkan badai, atau yang paling popular belakangan ini ialah Tsunami. Untuk melindungi asset dari kemungkinan kerugian atas force majeur biasanya perusahaan memakai asuransi (insurance) untuk loss coverage.

Catatan: saya belum tahu, apakah “Huru-hara dan penjarahan” sanggup dimasukkan ke dalam kategori force majeur? Rasanya sangat beralasan, mengingat kerusakan terjadi bukan lantaran adanya unsur kesengajaan dar pihak perusahaan atau pihak pegawai. Tetapi yang saya tahu belakangan ini semakin banyak insurance company yang sudah menyediakan option untuk category “All Risk Coverage termasuk huru-hara dan penjarahan. Tentu ini kemajuan yang menggembirakan mengingat potensi resiko yang semakin complex belakangan ini. Sudah barang tentu premium untuk jenis ini menjadi lebih tinggi. Tetapi melihat potensi resiko yang begitu besar, seharunya masih option terbaik.

Semua category force majeur harus dilengkapi oleh bukti lapor ke pihak kepolisian.

Prosedur penghapusannya:

Sama saja dengan masalah kehilangan, hanya saja menjadi sedikit berbeda apabila sehabis kerusakan ada ganti rugi maupun insurance coverage.

Kasus:

Pada tanggal 18 April 2008 Gedung PT. DEF yang diperoleh tanggal 15 Oktober 2004 senilai Rp 500,000,000 mengalami kebakaran, beruntung gedung telah dilindungi oleh asuransi dan memperoleh uang pertanggungan pada tanggal 19 April 2008 sebesar Rp 400,000,000

Catatan:
- PT. DEF memakai metode garis lurus dalam menghitung penyustan gedungnya.
- Gedung diperkirakan mempunyai umur hemat 30 tahun.
- Posisi Aktiva Tetap Gedung per tanggal 31 December 2007 ialah sebagai berikut: Perolehan Gedung = Rp 500,000,000 dan Accum Deprec Rp 52,777,778.

Step-1: Up-date Buku Aktiva Tetap Bangunan

Penyusutan 01 Jan – 18 April 2008:

Penyusutan = 4/12 x (Rp 500,000,000/30) = Rp 5,555,556

Akui penyusutan dengan jurnal:

[Debit]. Depreciation = Rp 5,555,556
[Credit]. Accum. Deprec = Rp 5,555,556

Dengan jurnal diatas, maka Accum. Deprec per 18 April 2008 menjadi:

Accum Deprec per 31 Dec 2007 = Rp 52,777,778
Accum Deprec 01 Jan- 18 Apr 2008 = Rp 5,555,556
-------------------------------------------------------------- (+)
* Accum Deprec 18 April 2008 = Rp 58,333,333

Sehingga Nilai buku gedung per 18 April 2008 menjadi:

Perolehan = Rp 500,000,000
Accum Deprec = (Rp 58,333,333)
-----------------------------------------
* Nilai Buku = Rp 441,666,667


Step-2: Hapus Aktiva Tetap Gedung

Pada tanggal 18 April 2008, Aktiva Tetap Gedung yang terbakar dihapus dengan jurnal:

[Debit]. Accum. Deprec = Rp 58,333,333
[Debit]. Fire Lost = Rp 441,666,667
[Credit]. Aktiva Tetap Gedung = Rp 500,000,000

Step-3: Pengakuan Claim Asuransi

Pada tanggal 19 April 2008, penerimaan pembayaran atas claim asuransi sebesar Rp 400,000,000 dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Cash = Rp 400,000,000
[Credit]. Fire Lost = Rp 400,000,000

Dengan jurnal diatas, maka Saldo Fire Lost per tanggal 19 April 2008 tinggal Rp 41,667,000 saja.


Pelaporan Pengahapusan Aktiva Tetap Rusak, Terbakar, Hilangan

Di selesai periode nanti, Aktiva Tetapnya tentu sudah tidak kelihatan di neraca lantaran saldo-nya sudah 0 (nol), sedangkan kerugiannya di masukkan ke dalam kelompok “POS-POS LUAR BIASA” atau “EXTRA ORDINARY ITEMS”. Dan didalam catatan laporan keuangan sudah niscaya harus diberikan penjelasan mengenai terjadinya Extraordinary Items.

Catatan: Mengenai perlakuan pajaknya, hingga ketika ini saya belum menemukan undang-undang/surat edaran/Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hal ini, apakah kerugian tersebut sanggup dibebankan?. Jika ada diantara rekan-rekan mengetahui wacana hal ini, mohon biar sanggup dibagi disini. Saya akan sangat mengehargainya.

Dari kasus Aktiva Tetap (Bangunan) terbakar tadi, logika-nya kalau bangunan perusahaan terbakar hingga habis (=ludes?), pastinya habis berikut isi-isinya bukan? Mesin, peralatan kantor, bahkan inventory-nya. Mesin dan Peralatan kantor tentu sanggup dihapuskan dengan cara yang sama menyerupai menghapuskan bangunan, Bagaimana dengan Inventory-nya? Apakah caranya sama?, sebagai clue saja: abolisi inventory berbeda dengan aktiva tetap, mengapa?, lantaran itu terkait dengan harga pokok penjualan. akan saya bahas di posting saya yang lainnya, mudah-mudahan tidak ada halangan, Semoga bermanfaat, Amin!.


Kesamaan hak untuk saham dengan kelas yang sama

Semua pemegang saham dalam pembagian terstruktur mengenai yang sama harus menerima perlakuan yang sama.
a)             Dalam suatu pembagian terstruktur mengenai saham, semua saham harus mempunyai hak-hak yang sama. Semua investor harus dapat memperoleh gosip wacana hak-hak yang melekat pada semua pembagian terstruktur mengenai saham sebelum membeli saham. Setiap perubahan pada hak bunyi harus menerima persetujuan pemegang saham yang dirugikan.
b)             Pemegang saham minoritas harus dilindungi dari tindakan yang merugikan yang dilakukan oleh atau atas nama dari pemegang saham pengendali baik eksklusif maupun tidak eksklusif dan harus memiliki cara yang efektif untuk memperoleh ganti rugi.
c)             Pemberian bunyi dapat dilakukan oleh kustodian atau wakil yang ditunjuk setelah disetujui oleh beneficial owner dari saham. Dalam UUPT tidak ditegaskan wacana pihak yang dapat mewakili beneficial owner, akan tetapi ditetapkan beberapa pihak yang dilarang mewakili beneficial owner dalam RUPS.
d)            Hambatan santunan bunyi oleh pemegang saham yang berdomisili di luar wilayah kedudukan Emiten atau Perusahaan Publik harus dihilangkan.
e)             Proses dan tata cara RUPS harus memperlihatkan perlakuan yang sama terhadap pemegang saham.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) berkaitan dengan perpajakan. Apa saja? Kita bahas di artikel ini dengan cepat dan singkat (tetapi tanpa meninggalkan substansinya).

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Cost Of Goods Sold terkait dengan perpajakan, yaitu:

[-]. Raw Material/Inventory Purchase

Pembelian raw material maupun barang jadi disertai oleh PPN.

Jika pembelian dilakukan dengan cara meng-import, maka akan dikenakan PPn Import, dan atas pembayaran PPN tersebut tentunya anda akan mendapatkan bukti potong PPN yang dipungut oleh pihak Ditjend Bea Cukai (DJBC).

Jika pembelian dilakukan di dalam negeri, dimana supplier (pemasok barang) sudah PKP maka pembelian tersebut akan akan disertai PPN juga, dan sebagai pihak yang dipotong tentu anda akan mendapatkan bukti potong yang akan anda sebut sebagai “PPN Masukan” (bagi supplier itu ialah PPN keluaran).

Apakah PPN tersebut bab dari Inventory?, jawabannya : “Tidak”.

Misalnya:

Nilai pembelian lokal anda ialah Rp 1,000,000, atas pembelian tersebut anda dipungut PPN Rp 100,000. Walaupun anda membayar (mengakui hutang) sebesar Rp 1,100,000, nilai Inventory/Raw Material yang anda akui ialah sebesar nilai barangnya saja (tidak termasuk PPN-nya)

Jurnalnya:

[Debit]. Inventory/Raw Material = Rp 1,000,000
[Debit]. PPN = Rp 100,000
[Credit]. Cash/Hutang Dagang = Rp 1,100,000

Atas PPN Rp 100,000 yang dipungut oleh supplier (yang sudah PKP), nantinya mampu anda kompensasikan (kreditkan) dengan PPN keluaran nantinya bila sudah terjadi penjualan. Lebih mendalam mengenai PPN kita akan bahas dikesempatan lain. Sekarang focus pada pengesahan Inventory/Raw Material saja dahulu.


[-]. Inbound Freight (Bea Angkut) atas Raw Material/Inventory Purchase

Jika pembelian raw material/inventory disertai oleh bea angkut (inbound freight), maka inbound freight ialah element dari inventory (otomatis akan menjadi element COGS).

Misalnya:
Dilakukan pembelian Rp 1,000,000 dan atas pembelian tersebut anda menanggung bea angkut sebesar Rp 50,000, maka jurnalnya:

[Debit]. Raw Material/Inventory = Rp 1,050,000
[Credit]. Hutang Dagang = Rp 1,050,000

Bisa juga bea angkut tidak dicatat dengan rekening terpisah, misalnya: rekeningnya di sebut “Bea Angkut”, hanya saja bea angkut tersebut dikelompokkan ke dalam Cost Of Goods Sold.


[-]. Penggunaan Inventory/Raw Materials

Tidak menutup kemungkinan sejumlah tertentu dari raw materials atau inventory dipergunakan tidak untuk acara yang berafiliasi dengan produksi dan penjualan. Misalnya: Disumbangkan (charity), dipergunakan untuk keperluan langsung (personal use), atau diserahkan kepada pihak tertentu yang bukan untuk maksud dijual.

Penggunaan Inventory/Raw material yang tidak dimaksudkan untuk berproduksi dan dijual, tidak boleh diakui sebagai Cost.

Pertanyaan: Kenyataannya inventory atau raw material berkurang, sementara pengurangan atas inventory/raw material tersebut tidak boleh diakui sebagai cost, lalu diakui sebagai apa dan bagaimana mencatatnya?.

Berkurangnya inventory/raw material tersebut dicatat sesuai maksudnya, bila di sumbangkan, catat sebagai biaya bantuan (charity), bila dipergunakan untuk keperluan langsung (personal use) maka dicatat sebagai piutang dagang atau jenis debit tertentu (mungkin: employee advance, atau director advance atau yang sejenisnya). Dan dijurnal:

[Debit]. Charity (Sumbangan)
[Credit]. Inventory/Raw Material

Catatan: Pada buku Laporan Keuangan komersial, charity dikelompokkan ke dalam expenses (biaya operasional). Sedangkan bagi Ditjend pajak, bantuan (charity) tidak diakui sebagai biaya/cost, dan akan menjadi koreksi fiskal atas laporan komersial yang mengakui adanya bantuan (charity).

Atau di jurnal dengan:

[Debit]. Employee Advance/Director Advance
[Credit]. Inventory/Raw Material

Catatan: Employee advance, bukan bab dari “Nominal account” akan tetapi merupakan “Real Account” yaitu pada kelompok "Current Asset", yang nantinya (pada dikala tertentu) harus di offset dengan rekening lain.

Misalnya:

Direktur mengambil beberapa unit inventory/raw material senilai Rp 500,000 untuk dipakai pribadi, atas pengambilan inventory tersebut dicatat:

[Debit]. Director Advance = Rp 500,000 à Ke Balance Sheet
[Credit]. Inventory/raw Material = Rp 500,000 à Ke Balance Sheet

Atas penggunaan langsung inventory/raw material tersebut, akan dipotongkan pada gaji yang akan diterima oleh director pada bulan depannya, dikala pembayaran gaji director dicatat:

[Debit]. Payroll Expense = Rp 10,000,000
[Credit]. Cash = Rp 9,500,000
[Credit]. Director Advance = Rp 500,000

Dengan jurnal ini, maka director advance menjadi nol, biaya gaji tetap sebagaimana seharusnya, dan cash yang dikeluarkan lebih kecil dari jumlah gajinya, alasannya ialah sebagian gaji sudah diambil dalam bentuk inventory/raw material bulan lalunya.


Dengan posting ini ( Cost Of Goods Sold & Pajak (Taxation Notes) ), saya rasa series Cost of Goods Sold (Harga Pokok Penjualan) sudah cukup. Tapi jangan khawatir, nanti akan ditambahkan dengan kasus-kasus yang agak controversial, aneh, ajaib, lebih insightful dan pernak-pernik yang berafiliasi dengan Cost Of Goods Sold, termasuk: inventory analysis, Cost of Goods Analysis dan cost ratio yang terkait, semoga menjadi lebih kaya dan lebih advance tentunya.

Nilai Buku sudah nol tetapi kenyataannya aktiva masih berfungsi”, that is a common phenomenon, jamak terjadi. Mengapa sanggup terjadi menyerupai itu? Apa yang harus dilakukan? Apakah buku sebaiknya dibiarkan saja dengan menutup mata bahwa aktiva tersebut masih memberi manfaat?, di kesempatan ini saya akan angkat study kasus yang saya alami sendiri (kenyataan/bukan ilustrasi).

Kasus menyerupai ini membawa ingatan saya ke 6 tahun yang lalu, ketika saya gres bergabung dengan sebuah private company (setelah beberapa tahun di KAP & Consultant). Sebagai chief accounting yang gres di recruit, saya menempatkan “Inventarisasi Asset” di top priority project yang harus saya accomplished di ahad pertama saya.

Ketika saya memperoleh “Asset List” dari salah satu staff accounting (yang memang sudah 2 tahun lebih dahulu bergabung di perusahaan tersebut), dengan didamping staff yang bersangkutan saya eksklusif verify list dengan physic asset-nya, mulai dari menghitung jumlah hingga menyelidiki kondisi asset untuk mengira-ngira umur ekonomisnya (wajar atau tidak), dan selesai sebelum tamat jam kerja (about 4 PM).

Ketika di perjalanan pulang kantor, rasanya ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya perihal asset list tersebut. Tetapi saya belum sanggup figure-out what is wrong with the asset list, what is wrong with the physical counts.

Tiba-tiba saya teringat… rasanya ada kendaraan beroda empat kanvas (mobil pick-up yang belakangnya di tutup aluminum roof) yang sehari-hari digunakan untuk angkut-angkut barang. Mengapa saya tidak menemukan kendaraan beroda empat tersebut di list?

Keesokan harinya, pagi-pagi saya sudah ke daerah parkir untuk memeriksa, saya menemukan sopirnya sedang mencuci kendaraan beroda empat tersebut. Saya meminta kakak sopir untuk menghidupkan mesin kendaraan beroda empat (walaupun saya bukan jago automotive, saya pikir sedikit banyaknya saya sanggup mengira-ngira kondisi mobil), masih sangat manis dan layak jalan. Sesaat kemudian saya ke pecahan personalia dan umum untuk meminjam surat-surat orisinil kendaraan beroda empat tersebut dan saya menemukan semua surat-surat masih berlaku, bahkan gres saja habis di kir (=semacam uji kelayakan muat?), dari BPKB saya menemukan data-data berikut ini:

[-]. Harga beli kendaraan beroda empat tersebut ialah Rp 17,000,000 (brand—new dari dealer)
[-]. Ada “Bea Balik Nama” dan lain-lain Rp 1,500,000 (kalau tidak salah)
[-]. Mobil di beli tanggal 04 May 1993

Selanjutnya saya menyelidiki saldo buku besar aktiva periode sebelumnya, dan saya menemukan memang benar nilai bukunya sudah nol di tamat periode sebelumnya.

Saya mulai mengira-ngira “what is the most suspicious reason for this un-common?”, “mengapa sanggup terjadi menyerupai itu?”, “apa yang harus saya lakukan?

Setelah berkonsultasi dengan partner yang dulu mengasuh saya di KAP, partner tersebut menyampaikan langkah-langkah awal (verification session) yang sudah saya lakukan sudah benar so far, next is to find out thewhy?answer.

Nilai buku nol padahal aktiva tetap masih berfungsi, tentu itu kedaan yang tidak wajar, aneh. Berarti ada yang tidak beres dengan buku aktiva tetap (khususnya kendaraan beroda empat tersebut), mengapa terjadi menyerupai itu?, dimana letak masalahnya?.

Saya mengira-ngira (bahasa ilmiahnya “membuat hipotesa”) dan menulisnya di atas Clip board:

[-]. Salah mengakui harga perolehan?
[-]. Perkiraan umur hemat tidak semestinya?
[-]. Salah dalam perhitungan penyusutan?
[-]. Salah membebankan penyusutan, sehingga salah mengakui akumulasi penyusutan?


Untuk memperoleh tanggapan dan sanggup memastikan atas kemungkinan-kemungkinan di atas, maka dihari kerja berikutnya, saya mulai menyelidiki buku aktiva dengan lebih detail:

[1]. Saya membandingkan “Harga Perolehan” antara yang dibuku dengan yang tertera di bukti transaksi (Faktur pembelian kendaraan beroda empat & BPKB), dan hasilnya:

* Pengkuan “Harga Perolehan” sudah sesuai yaitu Rp 18,500,000

[2]. Saya menyelidiki asumsi umur hemat yang menjadi dasar perhitungan penyusutan di buku aktiva, dan hasilnya:

*Perkiraan “Umur Ekonomis (Life Time)”, sudah sesuai dan masuk akal untuk kendaraan beroda empat yaitu 8 tahun.

[3]. Salah dalam perhitungan penyusutan, di langkah ini memakan waktu yang agak lama, lantaran saya harus menyelidiki rumus perhitungan satu per satu dari awal perolehan hingga tamat (Dari 04 May 1993 hingga dengan 31 Desember 2001).

Dari “Book Asset Details (Rincian Buku Aktiva Tetap)” saya mulai menciptakan perhitungan penyusutan sendiri semoga sanggup saya bandingkan dengan perhitungan yang telah dibentuk di periode-periode yang lalu, berikut ini ialah perhitungan penyusutan yang saya buat:

Periode 04-May 31-Dec-1993 = 4/12 x [18,500,000] = Rp 770,833
Tahun 1994 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1995 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1996 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1997 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1998 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 1999 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
Tahun 2000 = 18,500,000/8 = Rp 2,312,500
---------------------------------------------------------
Accum Deprec, 31/12/2000 = Rp 16,958,333

* Nilai Buku 31 Dec 2000 = Rp 18,500,000 – Rp 16,958,333 = Rp 1,541,667

Perhitungan Tahun 2001:

Penyusutannya ialah Rp 1,541,667
Accum Deprec Rp 18,500,000
Nilai Buku 31 Dec 2001 = Harga Perolehan – Accum Deprec
Nilai Buku 31 Dec 2001 = 18,500,000 – 18,500,000 = 0 (nol)

Dibawah ialah tabel perhitungannya:

ilai Buku sudah nol tetapi kenyataannya aktiva masih berfungsi NILAI BUKU AKTIVA NOL TETAPI MASIH BERFUNGSI ?
* Selanjutnya saya bandingkan hasil perhitungan saya dengan perhitungan yang telah dibentuk oleh perusahaan, ternyata hasilnya persis sama, sudah benar.

* Jurnal yang dibentuk untuk alokasi beban penyusutan tiap periode dan pengakuan akumulasi penyusutannya pun sudah benar.

No mistakes found…..! fiuhh!

Wahhh……. Everything was correct, so what is next?

Saya memang punya kebiasaan “Insist” (ngotot) dalam mengejar sesuatu, bad habit eh?

Tentu saja saya belum menyerah….. saya terus berpikir “apakah saya perlu konsultasi dengan senior saya?”, “Consult/No?”, “Consult/No?”, “Consult/No?

Akhirnya saya memutuskan untuk tidak konsultasi lagi, dengan dasar pertimbangan:

First: Beliau orang sibuk, tidak lezat mengganggu terus (apalagi gratisan trus :P)
Second: Jika begini terus, hingga kapan saya akan bergantung kepada senior.

Saya mulai meng-udak-udak dan membongkar-bongkar buku, mulai dari buku cetakan hingga ke diktat-diktat waktu kuliah dahulu. Thanks Mr. Smith & Mr. Skousen, ketika datang pada buku “Intermediate Accounting” bukunya Jay M Smith & Fred.K. Skousen (saya lupa tahun terbit-nya). Saya jatuh pada salah satu klarifikasi mengenai “Asset Utilization (Penggunaan Aktiva Tetap)”, salah satu paragraph menyebutkan (saya masih ingat persis statementnya):

The Decision whether an asset’s—related—expenditure to be capitalized or not depends on relevancy, materiality & frequent of the expenditures:

* Relevant is a must
* Materiality: when it is material, then it should be capitalized
* Frequent: when it is not a frequent expenditures, then it is most likely a not-maintenance-expense, thus to be capitalized instead
”…. dan seterusnya

Berangkat dari pedoman itu, pikiran saya mulai terbuka dan menumbuhkan satu pertanyaan:

Mungkinkah ada pengeluaran besar untuk kendaraan beroda empat tersebut yang harusnya di kapitalisasi tetapi tidak dikapitalisasi?

Kapitalisasi akan menciptakan nilai buku bertambah.

Yang jelas, waktu investigasi saya sebelumnya, saya tidak temukan adanya kapitalisasi. Kapitalisasi akan menciptakan nilai buku bertambah. So it became more-more suspiciously. Saya menyerupai menerima energy baru……:-)

Keesokan harinya saya mulai searching…..

Sasaran pertama saya ialah "Maintenance Expenses" di tahun-tahun sebelumnya (dari tahun 1993 hingga dengan 2001), tentu saja saya mulai dari tahun terdekat yaitu tahun 2001….

Sungguh beruntung, transaksi besar eksklusif saya temukan. Pada tanggal tertentu di bulan September 2001 (saya lupa tanggal persisnya) saya menemukan maintenance expense yang nilainya mencapai Rp 5,700,000, saya bandingkan dengan bukti transaksi, di nota disebutkan ada beberapa spare-part yang diganti, dan jasa turun mesin. Wahhhh…no wonder….!

Saya sudah menemukan apa penyebabnya, pertanyaan berikutnya adalah:

Setelah diketahui penyebabnya ialah lantaran adanya expenditure di tahun 2001 yang tidak dikapitalisasi, SO WHAT?

Expenditure (pengeluaran atas aktiva yang material, apalagi disertai dengan penggantian spare-part), terang akan memperpanjang umur aktiva. Sekarang coba kita berpikir “Jika saja pada tahun 2001 tidak dilakukan turun mesin, apakah kendaraan beroda empat itu masih berfungsi?”. Jawabannya “tentu tidak”, yang artinya aktiva tersebut tidak akan berfungsi hingga sekarang, lantaran memang umur ekonomisnya sudah habis.

Artinya, pengeluaran (expenditure) tersebut mestinya “DIKAPITALISASI”.

Ok, tapi kenyataan-nya tidak dikapitalisasi, so what is next?.

Dari buku yang sama, saya menerima penjelasan, bahwa (jika saya indonesiakan) "kesalahan penggolongan pengeluaran terkait dengan aktiva, yang mengakibatkan penarikan aktiva (plant asset retirement) menjadi tidak semestinya sebaiknya dilakukan koreksi pada ketika kekeliruan tersebut disadari".

Okay, dikoreksi, bagaimana melaksanakan koreksi-nya?

Koreksi dilakukan atas: Pengeluaran penggantian spare-part kendaraan beroda empat dan turun mesin pada tahun 2001 yang seharusnya dikapitalisasi (dengan mengurangi accum deprec), tetapi terlanjur dibebankan ke dalam maintenance expense, sehingga terjadi over-stated pada rekening maintenance expenses 2001.

Apakah biaya maintenance tersebut harus dibatalkan kemudian ditambahkan ke dalam harga perolehan mesin?, bukankah semua buku tahun 2001 telah ditutup?.

Benar, buku tahun 2001 telah ditutup dan mustahil menciptakan adjustment atau bikin reversal atau re-classification untuk rekening yang telah ditutup, TETAPI KITA BISA MELAKUKAN KOREKSI PADA ACCOUNT YANG BELUM DITUTUP BUKAN?.
Itulah sebabnya mengapa ada “correction journal”, yaitu untuk melaksanakan koreksi atas suatu transaksi yang telah ditutup buku-nya.

Untuk melaksanakan koreksi yang benar, kita perlu memahami proses penutupan biaya maintenance (yang Rp 5,700,000 tsb) di tamat periode 2001. Urutan prosesnya menyerupai ini:

[1]. Biaya maintenance Rp 5,700,000 masuk ke buku besar “Maintenance Expense”
[2]. Maintenance Expense ditutup ke “Laba/Rugi”
[3]. “Laba/Rugi” ditutup ke rekening “Retained Earning” di Neraca

Ujung dari siklus transaksi biaya ialah “Retained Earning”.

Therefore, yang kita koreksi ialah rekening “Retained Earning”. Overstated pada maintenance expense menimbulkan under-stated pada “Laba 2001”, dan under-stated pada “Laba” secara eksklusif akan menimbulkan “Retained Earningunder-stated juga.

Dengan mantaffff saya melaksanakan koreksi pada buku “Retined Earning” dan “Accum Deprec” dengan jurnal:

[Debit]. Accum Deprec = Rp 5,700,000
[Credit]. Retained Earning = Rp 5,700,000

Catatan: Jurnal di atas akan menambah retained earning, dan mengurangi accum deprec, penurunan accum deprec akan mengakibatkan nilai buku aktiva tetap kendaraan beroda empat menjadi bertambah Rp 5,700,000.

Langkah selanjutnya ialah meng-alokasi-kan sisa nilai buku aktiva mobil sebesar Rp 5,700,000 pasca—turun—mesin. Critical point-nya disini ialah “ Berapa sisa nilai buku tersebut dialokasikan?” jawabannya tergantung dari berapa umur hemat bertambah atas penambahan spare-part dan turun mesin tersebut?.

Saat itu, saya memperkirakan kendaraan beroda empat masih sanggup beroperasi hingga 2 tahun ke depan, therefore saya mengalokasikan biaya penyusutan untuk tahun 2001 sebagai berikut:

September – 31 Desember 2001: 4/12 x [Rp 5,700,000/2] = Rp 950,000

Karena ini untuk alokasi tahun 2001 (bukunya sudah ditutup), maka yang dikoreksi ialah rekening “Retained Eraning” sekali lagi, dengan jurnal:

[Debit]. Retained Earning = Rp 950,000
[Credit]. Accum Deprec = Rp 950,000

Catatan: Jurnal diatas mengakibatkan retained earning berkurang Rp 950,000 dan accum deprec kendaraan beroda empat bertambah Rp 950,000 juga (which decreased the asset book value as well at the same amount, Rp 950,000).

Setelah semua proses koreksi tersebut, saya memperoleh nilai buku atas mobil sebesar Rp 5,700,000 – Rp 950,000 = Rp 4,750,000

Catatan: Sebelum koreksi saya lakukan, saya melaporkan kasus tersebut kepada CFO perusahaan di luar negeri sana (karena memang perusahaan asing). Dan, semua langkah koreksi yang akan saya lakukan menerima 101% support dari dia.

Hasil jerih payah tersebut sungguh setimpal dengan hasil yang saya peroleh, baik yang bersifat non-monetary maupun monetary. Dan pengalaman itu menciptakan saya semakain menyayangi dunia accounting hingga ketika ini.


Ada AKTIVA TETAP BERNILAI BUKU NOL TETAPI MASIH BERFUNGSI?, jikalau anda pikir okay, you may like to follow my way.


Merger dan Akuisisi

Merger adalah penggabungan dua perusahaan menjadi satu, dimana perusahaan yang me-merger mengambil/membeli semua assets danliabilities perusahaan yang di-merger dengan begitu perusahaan yang me-merger memiliki paling tidak 50% saham dan perusahaan yang di-merger berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya mendapatkan sejumlah uang tunai atau saham di perusahaan yang baru. Definisi merger yang lain yaitu sebagai perembesan dari suatu perusahaan oleh perusahaan yang lain. Dalam hal ini perusahaan yang membeli akan melanjutkan nama dan identitasnya. Perusahaan pembeli juga akan mengambil baik aset maupun kewajiban perusahaan yang dibeli. Setelah merger, perusahaan yang dibeli akan kehilangan/berhenti beroperasi.

Akuisisi adalah pengambil-alihan (takeover) sebuah perusahaan dengan membeli saham atau aset perusahaan tersebut, perusahaan yang dibeli tetap ada.

(Pengertian mendasar dari merger (penggabungan) dan akuisisi (pengambilalihan) dapat kita lihat pada pengaturan UU No. 40 Tahun 2007 wacana Perseroan Terbatas (“UUPT”):“Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang menjadikan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih alasannya ialah hukum kepada Perseroan yang mendapatkan penggabungan dan selanjutnya status tubuh hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir alasannya ialah hukum.” (lihat Pasal 1 ayat [9] UUPT) Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh tubuh hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang menjadikan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.” (Pasal 1 ayat [11] UUPT).)

Apa itu PPh Pasal 23 ? Siapa pemotong dan akseptor penghasilan yang dipotong?, Apa saja obyek pajaknya? Bagaimana pola perhitungannya? Bagaimana prosedur pemotongannya? Bagaimana pencatatannya (perlakuan akuntansinya)? Dan yang tak kalah pentingnya; bagaimana kekerabatan PPh PASAL 23 dengan PPh PASAL 25 dan PPh PASAL 29? Hmm… abviously, it is not merely about tax law of the articles (PPh Pasal 23), but it’s rather about “How To’s.


PPH Pasal 23 – FAQ

[Q]. Apa itu PPh Pasal 23?
[A]. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yaitu pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.

[Q]. Siapa yang wajib bertindak selaku pemotong PPh Pasal 23?
[A]. Pemotong PPh Pasal 23: tubuh pemerintah,Wajib Pajak tubuh dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, Wajib Pajak Orang langsung dalam negeri tertentu yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

[Q]. Siapa akseptor penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23?
[A]. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23: WP dalam negeri, BUT

[Q]. Apa saja obyek pajaknya dan berapa tarif-nya?

[A]. Seperti ini:

15 % dari jumlah bruto atas: dividen, bunga, dan royalti, hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

15 % dari jumlah bruto dan akibat atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.

15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah: 15 % x 20 % dari jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, 15 % x 40 % dari jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).

15 % dari perkiraan penghasilan netto atas Imbalan jasa Lainnya.

[Q]. Imbalan jasa lainnya, jasa apa saja yang dimaksudkan jasa lainnya?

[A]. Dibagi menjadi 5 (lima) kelompok besar berdasarkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya, yaitu:

(1). DPP-nya 50% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
a). Jasa profesi.
b). Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi
c). Jasa akuntansi dan pembukuan
d). Jasa penilai
e). Jasa aktuaris

(2). DPP-nya 40% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):

a). Jasa tehnik dan jasa manajemen.

b). Jasa perancang / desain : Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan, Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan, Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan, Jasa perancang iklan/logo, Jasa perancang alat kemasan.

c). Jasa instalasi/pemasangan : Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik / telepon / air / gas / AC / TV Kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, Jasa instalasi/pemasangan peralatan,

d). Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin, listrik / telepon / air / gas / AC / TV kabel, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan alat-alat transportasi / kendaraan, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin / sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.

e). Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap.

f). Jasa penunjang dibidang penambangan migas.

g). Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.

h). Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara.

i). Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.

j). Jasa pengolahan/pembuangan limbah.

k). Jasa maklon.

l). Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.

m). Jasa perantara.

n). Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan KPEI.

o). Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh akibat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996

p). Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum

q). Jasa pengisian sulih bunyi (dubbing) dan/atau mixing film.

r). Jasa pemanfaatan isu dibidang teknologi, termasuk jasa internet.

s). Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.


(3). DPP-nya 13.33% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan /pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi,

(4). DPP-nya 26.67% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
a. Jasa perencanaan konstruksi.
b. Jasa pengawasan konstruksi.

(5). DPP-nya 10% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
Jasa pembasmian hama dan Jasa pembersihan, Jasa Catering, Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.


[Q]. Okay. Ada ketentuan khusus lainnya?
[A]. Oh ya, ada beberapa yang dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 23, mampu dibaca di perhitungan PPh Pasal 21. Sebelum ke cara dan pola perhitungannya, serta prosedur pencatatan dan pelaporannya, ada beberapa jargon (istilah) yang perlu dipahami pengertiannya (yang saya sebutkan disini yaitu yang penting-penting saja), yaitu:

BUT = Acronym dari Badan Usaha Tetap = Representative Office = Perwakilan perusahaan absurd yang berkedudukan di Indonesia.

Jumlah Bruto/Penghasilan Bruto/Nilai Bruto = Total nilai transaksi persewaan = Penghasilan yang diterima atas persewaan sebelum memperhitungkan adanya perkiraan cost/expense yang timbul guna memperoleh penghasilan tersebut.

Jumlah Neto/Penghasilan Neto/Nilai Neto = Total Nilai transaksi persewaan [dikurangi] perkiraan cost/expense yang timbul guna memperoleh penghasilan persewaan tersebut.

DPP = Dasar Pengenaan Pajak = Nilai Neto/Penghasilan Neto = Penghasilan setelah dikurangi perkiraan expense/cost.

Pemotong = Pihak yang melaksanakan pemotongan atas obyek PPh Pasal 23 (silahkan baca kembali FAQ).

Terpotong = Pihak akseptor penghasilan atas obyek PPh Pasal 23 (silahkan baca kembali FAQ).

Okay, cukup jargonnya. Next is how to’s….

Kalau kita summarized dari FAQ tadi, maka obyek pajak dan tarifnya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:

[-]. Obyek pajak yang PPH Pasal 23 menggunakan “Jumlah Bruto” sebagai DPP (Dasar Pengenaan Pajak).

Contoh Kasus-1:

Pada tanggal 10 May 2008, PT. Sukses Gemilang, membagikan dividen masing-masing Rp 10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT. Sukses Gemilang wajib memungut PPh Pasal 23.

a). Dari sisi pemotong:
Berapa besarnya PPh Pasal 23 yang harus di potong? Bagaimana cara mencatat pembagian dividen tersebut? Bagaimana prosedur pemotongan, pencatatan dan pelaporan PPh Pasal 23-nya? Bagaimana pengaruhnya terhadap PPh Pasal 25 dan 29 PT. Sukses Gemilang?

b). Dari sisi yang terpotong:
Apa yang harus dilakukan?, apa pengaruh PPh Pasal 23 terhadap PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 pihak yang terpotong?

Read on….

Tarif PPh Pasal 23 atas dividen yaitu 15% (baca kembali FAQ), sehingga besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong kepada masing-masing pemegang saham dihitung dengan formula:

PPh Pasal 23 = Tarif x Jumlah Bruto = 15% x 10,000,000
PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = 20 x Rp 1,500,000
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = Rp 30,000,000

Atas pembagian dividen tersebut, PT. Sukses Gemilang:

1). Pada tanggal 10 May 2008, melaksanakan pencatatan atas pembagian dividen dan pemotongan PPh Pasal 23, dengan jurnal:

[Debit]. Dividen = Rp 200,000,000 (Jumlah bruto x 20)
[Credit]. Cash = Rp 170,000,000 (Total Bruto – PPh Pasal 23)
[Credit]. Utang PPh Pasal 23 = Rp 30,000,000

2). Pada tanggal 10 May 2008, melaksanakan pemotongan dan menerbitkan bukti pemotongan PPh Pasal 23 atas dividen yang diterima oleh pemegang saham masing-masing sebesar Rp 1,500,000 kepada keduapuluh akseptor dividen.

3). Pada penutupan buku Tanggal 30 May nanti, di neraca PT. Sukses Gemilang akan muncul: Dividen (pengurang retained earning) sebesar Rp 200,000,000 di sisi Pasiva, pada kelompok equity, dan Utang PPh Pasal 23 sebesar Rp 30,000,000 di sisi aktiva lancar (current asset). Itulah disebut “saat legalisasi PPh Pasal 23 terhutang” (baca kembali FAQ).

4). Pada tanggal 10 June 2008 (latest) menyetorkan PPh Pasal 23 (yang telah dipungut olehnya) ke kas negara melalui bank persepsi (disebut “Saat penyetoran”), dan atas penyetoran tersebut dicatat dengan jurnal:

[Debit]. Utang PPh Pasal 23 = Rp 30,000,000
[Credit]. Cash = Rp 30,000,000

Dengan jurnal di atas, maka Utang PPh pasal 23 menjadi nol, dan akumulasi cash-out yaitu Rp 200,000,000 (sama dengan legalisasi dividen-nya: Rp 170,000,000 telah dicatat tanggal 10 May dan Rp 30,000,000 telah dicatat tanggal 10 June 2008).

5). Tanggal 10 June 2008 (latest), melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 disertai:
a). Daftar pemotongan
b). Bukti Pemotong masing-masing 1 copy
c). SSP atas setoran yang telah dilakukan melalui bank persepsi.


Apa pengaruhnya terhadap besarnya PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 PT. Sukses Gemilang (selaku pemotong)?, Jawabannya: Tidak ada pengaruhnya. PT. Sukses Gemilang telah mengakui pembagian dividen sepenuhnya (Rp 200,000,000) dan legalisasi cash-out sejumlah yang sama. Dividen bukanlah cost/expense. Hanya saja, atas pembagian dividen tersebut PT. Sukses Gemilang akan memasukkan pembagian dividen tersebut pada SPT PPh Badan Tahunan-nya pada blanko 1771-V (Bagian:B).


b) Di pihak terpotong (penerima dividen).

Pada tanggal 10 May 2008, melaksanakan pencatatan atas penerimaan dividen dan potongan PPh Pasal 23 dengan jurnal:

[Debit]. Cash = Rp 8,500,000 (Nilai neto setelah dipotong PPh Pasal 23)
[Debit]. PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
[Credit]. Pendapatan dividen = Rp 10,000,000

Pada tanggal 10 May 2008, mendapatkan bukti pemotongan PPh Pasal 23 dari PT. Sukses Gemilang dan mengarsipkannya.

Pada ketika pembuatan SPT PPh Pasal 29 nantinya, PPh Pasal 23 tersebut dimasukkan ke dalam blanko 1770 S-1 (Bagian:B) dan akan menjadi kredit pajak (Blanko 1770-S Bagian:D), dengan melampirkan bukti potong yang telah diterima dari PT. Sukses Gemilang.

Itulah prosedur dan perlakuan akuntansi atas PPh Pasal 23 pembagian dividen. Untuk obyek pajak yang dihitung berdasarkan jumlah bruto lainnya, silahkan lihat kembali FAQ).


[-]. Obyek pajak yang PPH Pasal 23 yang menggunakan “Jumlah Neto” sebagai DPP.

Besarnya jumlah neto telah ditentukan oleh undang-undang dengan persentase tertentu dari jumlah bruto-nya berdasarkan jenis jasa yang diserahkan (silahkan baca kembali FAQ).

(1). DPP-nya 30% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN): Jasa Konsultan Akuntansi

Contoh:
Pada tanggal yang sama (10 May 2008), PT. Sukses Gemilang mendapatkan Debit Note dari “Asal-asalan Solusindo Consultant” yang menangani pembukuannya sebesar Rp 5,500,000 (termasuk PPn). Untuk itu PT. Sukses Gemilang wajib melaksanakan pemotongan PPh Pasal 23 sebelum dilakukan pembayaran, dengan perhitungan sebagai berikut:

PPh Pasal 23 = Tarif x DPP
PPh Pasal 23 = Tarif x [30% x (Jumlah Bruto - PPn)]
PPh Pasal 23 = 4.5% x [30% x (5,500,000 – 500,000)]
PPh Pasal 23 = 4.5% x [30% x 1,500,000]
PPh Pasal 23 = 4.5% x Rp 2,500,000
PPh Pasal 23 = Rp 67,500


Untuk prosedur pemotongan, penyetoran, pelaporan dan perlakuan akuntansinya, sama saja dengan pola sebelumnya. So, saya tidak perlu jelaskan hal yang sama lagi.

Dan pola perhitungan atas obyek lainnya (tarif dan DPP lainnya), silahkan dikembangkan, get self-exercised (baca FAQ dengan teliti kata demi kata, kalimat demi kalimat), saya yakin dengan 2 pola di atas, sudah lebih dari jelas.


I have couple of questions:

Mengapa ada obyek PPh Pasal 23 yang menggunakan jumlah bruto sebagai DPP, sementara ada obyek PPh Pasal 23 lainnya menggunakan jumlah neto sebagai DPP? Why?

Logically, mampu dilihat bahwa obyek yang dihitung berdasarkan bruto-nya, yaitu obyek-obyek pajak yang untuk memperoleh penghasilan tersebut sama sekali tidak ada cost/expense. Sementara obyek yang menggunakan jumlah neto sebagai DPP yaitu obyek-obyek (penyerahan jasa) yang obviously ada pengorbanan ekonomis (cost/expense) untuk memperoleh pendapatan tersebut.

But, read on my next question.....................

Mengapa jasa Akuntansi jumlah neto-nya 30%, sementara jasa lainnya dengan % yang berbeda?.

Ada yang mampu membantu saya mencarikan nalar atas pertanyaan itu?, rekan-rekan dari accounting? Rekan-rekan dari manajemen?, atau bapak-bapak dari DJP? Bapak-bapak dosen dan konsultan pajak?. Silahkan tulis komentar anda, saya akan senang berdiskusi mengenai duduk perkara ini.

Prosedur perhitungan, pemotongan, pencatatan dan pelporan PPH Pasal 23, bekerjsama tidak sesulit perhitungan dan perlakuan PPh pasal 21 atau pajak lainnya, yang agak confusing yaitu obyek pajaknya (setidaknya itu menurut saya). Silahkan share juga pendapat anda mengenai hal ini.
Update: 12-May-2008 (Penting).
Hmmm... say abaru tahu ada tarif efektif PPh Pasal 23 terbaru 2007 (PER-70/PJ/2007), saya ketinggalan, mengikuti tarif PPh pasal 23 yang berubah terus, what a confussion!. Untuk tarif silahkan baca PER-70/PJ/2007, sedangkan untuk perlakuan masih berlaku hal yang sama menyerupai yang saya tulis disini.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.