Break Even Point yang biasa disingkat dengan BEP, yang di Indonesia kita kenal dengan TITIK IMPAS, termasuk alat analisa paling classic yang dipakai untuk menganalisa kekerabatan antara: Revenue/Sales, Cost, Volume & Profit. Dalam artikel ini kita akan coba explore sejauh yang kita mampu dan mengaplikasikannya kedalam suatu kasus bisnis. Saya eksklusif tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai Break Even Point. Terus terang, waktu masih jamannya kuliah, subject ini sangat membosankan buat saya. Tetapi sekarang saya merasa ini yakni salah satu minning knowledge (tambang pengetahuan) yang menantang untuk di explorize. Makara sebenarnya artikel ini lebih merupakan suatu pembelajaran sekaligus experiment bagi saya pribadi. Saya ingin mengetahui:
(-). Sejauh mana alat analisis ini mampu diterapkan dalam menjawab duduk perkara bisnis?
(-). Sejauh mana alat analisis ini mampu diterapkan dalam menjawab duduk perkara bisnis?
(-). Apakah memiliki suatu keterbatasan?
(-). Atau justru alat analysis ini mampu diaplikasikan untuk keperluan lain, tidak hanya sekedar untuk mengetahui break even point (misalnya: untuk membidik tingkat profit tertentu?).
(-). Apa bedanya BEP dengan ROC (Return of capital)? Apakah berhubungan?
Saya sangat berharap dengan research, explorasi dan experiment kecil-kecilan ini mampu memperoleh jawaban, sekaligus mampu mengembangkan dengan pengunjung blog ini, biar tidak perlu membuang waktu untuk ber-experiment sendiri, cukup hanya membaca hasil laporan saya ini :-) Sukur-sukur kalau mampu diaplikasikan pada usaha kecil yang gres anda rintis, misalnya: pizza kaki lima?, atau distro?, atau mini market di komplek perumahaan dimana anda tinggal? Atau bagi yang suka hal-hal berbau analytical works mungkin ingin mengembangkannya lebih jauh lagi. Silahkan….
Bagi yang tertarik dengan topic ini silahkan ikuti terus hingga selesai, sedikit agak panjang (memang tidak mampu dibuat singkat), bagi yang tidak silahkan baca artikel lainnya di blog ini. Bagi saya eksklusif ini yakni tantangan yang meng-asyik-kan
Pengertian dan Formulasi “Break Even Point”
Pemahaman saya eksklusif (dengan budi sederhana saja): Break Even Point yakni titik dimana Entity/company/business dalam keadaan belum memperoleh keuntungan, tetapi juga sudah tidak merugi. Jika dinyatakan dengan bahasa akuntansi keuangan mungkin jadinya: Suatu keadaan dimana:
REVENUE - COGS – EXPENSES = 0
Jika REVENUE - COGS – EXPENSES = 1, berarti di atas break even point (untung)
Jika REVENUE - COGS – EXPENSES = -1, berarti belum break even (masih rugi)
Setuju?.
Selanjutnya saya mencari-cari pengertian BEP sambil berharap untuk memperoleh pengertian yang lebih specific dan detail.
Berikut ini yakni pengertian Break even point yang saya temukan di www.organisasi.org:
“Break Even point atau BEP yakni suatu analisis untuk menentukan dan mencari jumlah barang atau jasa yang harus dijual kepada konsumen pada harga tertentu untuk menutupi biaya-biaya yang timbul serta menerima keuntungan / profit.
Dan rumusnya :
Rumus Analisis Break Even :
BEP = Total Fixed Cost / (Harga perunit - Variabel Cost Perunit)”
Cukup memuaskan?, menurut saya lumayan bagus, lebih detail dibandingkan pengertian saya, tetapi definisinya agak rancu (agak bias), coba kita cari lagi……… kali ini saya mencarinya di Yahoo Answer, dan saya menemukan penjelasan salah satu member disana, yang menurut saya sudah cukup detail, formula dan pengertiannya ibarat dibawah ini:
“BEP yakni Total Revenue = Total Cost
Total Revenue = Total Fixed Cost + Total Variabel Cost
Total Revenue yakni pendapatan total kita.Total Fixed Cost yakni total semua biaya tetap kita. Yaitu biaya yang "mau ga mau, produksi atau ga produksi" harus tetap dibayar.
Total Variabel Cost yakni total semua biaya variable. Yaitu biaya yang kita keluarkan untuk memproduksi satu unit produk. Singkatnya, BEP terjadi bila total seluruh pendapatan kita sama dengan total semua biaya yang kita keluarkan.
Kalau kau mau tahu rumus BEP untuk satuan unit:
Total Fixed Cost/(Price-Variabel Cost)
Price yakni harga jual barang”.
Okay, sepertinya kita mendapat pengertian yang kurang lebih sama, so seharusnya dari sini kita mampu tarik kesimpulan apa itu BEP.
“Break Even Point” yakni titik dimana Revenue sama dengan Cost.
Pertanyaan saya: apakah itu saja sudah applicable?, apakah sudah mampu dijadikan tool untuk menjawab masalah suatu bisnis?.
Saya melanjutkan research kecil-kecilan saya, nah berikut ini yakni pola kasus yang diungkapkan di www.organisasi.org:
"Misalnya ada perusahaan konveksi kaos kaki murah yang harga satu buah kaos kaki yakni Rp. 10.000 dengan biaya variabel sebesar Rp. 5.000 per kaos kaki dan biaya tetap sebesar Rp. 10.000.000
"Misalnya ada perusahaan konveksi kaos kaki murah yang harga satu buah kaos kaki yakni Rp. 10.000 dengan biaya variabel sebesar Rp. 5.000 per kaos kaki dan biaya tetap sebesar Rp. 10.000.000
BEP = 10.000.000 / (10.000 - 5.000)
BEP = 20.000
Jadi diharapkan memproduksi 20.000 kaos kaki untuk menerima kondisi seimbang antara biaya dengan keuntungan alias profit nol. (Putra: mungkin writter-nya salah ketik, di atas mungkin maksudnya harga sepasang kaos kaki Rp 10,000, bukan sebuah kaos kaki).
“Wow”, great!, ternyata kita memperoleh balasan yang lumayan applicable.
Sayang skalanya sangat kecil. Bisa dimengerti, mungkin hanya untuk memperlihatkan pengetahuan dasar (basic knowledge) mengenai BEP. Masalahnya, mana mungkin ada suatu perusahaan memproduksi hanya sepasang kaos kaki.
Pengembangan Kasus Break Even Point
Ada beberapa pertanyaan yang mungkin mampu kita kembangkan:
1). Bagaimana kalau kaos kaki yang dibuat 1000 pairs?
2). Bagimana kalau pertanyaannya saya ubah: kalau berproduksi 1000 pairs, pada harga berapa seharunya kaos kaki tersebut dijual biar perusahaan mencapai break even point?
3). Jika berproduksi 1000 pairs dengan harga Rp 10,000/pair, berapa fixed cost yang mampu dialokasikan biar perusahaan mencapai break even?
4). Jika berproduksi 5000 pairs, harga kaos kaki Rp 15,000/pair berapa lama perusahaan akan mencapai BEP?
5). Fixed Cost yang dimaksudkan pada pola diatas meliputi apa saja? (walaupun sudah diungkapkan di yahoo answer di atas bahwa fixed cost yang dimaksudkan disini yakni pengeluaran-pengeluaran yang tidak dipengaruhi oleh acara produksi) akan tetapi rasanya tidak cukup specific.
6). Yang dimaksudkan variable cost dari proses produksi kaos kaki disini apa saja?.
7). Bagaimana kalau ada mixed cost (cost yang sebagian tergolong fixed cost, sisanya tergolong variable cost). Misal: Perusahaan menyewa genset untuk satu bulan Rp 10,000,000,- untuk penggunaan 8 jam saja, sedangkan kelebihan jam penggunaan akan dihitung Rp 25,000/jam. Perusahaan juga membayar gaji seorang salesman dengan Gaji Pokok Rp 2,000,000,- dan komisi 2% untuk setiap penjualan yang dihasilkan. Bagaimana menentukan BEP-nya?.
8). Bagaimana kalau perusahaan tidak hanya menjual kaos kaki, perusahaan juga menjual kaos dalam dan celana dalam, bagaimana menghitung BEP-nya?
Sampai pada tahap ini, saya masih harus mencari balasan atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Apakah saya akan menemukan balasan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut?, bagimana caranya memberdayakan alat ini (Break Even Point Analysis) biar mampu kita terapkan?, bagaimana penerapannya?.
Di posting saya yang berikutnya: Break Even Point (BEP) Analysis – Part 2, akan saya explore dengan formulasi yang lebih berkembang dan pola kasus yang lebih complex. Silahkan ikuti terus. Sampai ketemu di Break Even Point (BEP) Analysis – Part 2.
Post a Comment
Post a Comment