KODE ETIKA AKUNTAN PROFESIONAL
Perumusan Dan Kode Etik Profesi Akuntan di Indonesia
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Draft Kode Etik Akuntan Indonesia sudah disusun jauh sebelum kongres IAI yang pertama, namun gres disahkan untuk pertama kalinya pada Kongres IAI yang kedua dalam bulan Januari 1972 dan mengalami perubahan dan pembiasaan dalam setiap kongres. Sampai dengan tahun 1998, di Indonesia telah diadakan beberapa kali pergantian Kode Etik. Kode Etik Akuntan Indonesia yang pertama lahir dari konggres IAI III pada tanggal 2 Desember 1973. Kode Etik ini 90 % merupakan Kode Etik AICPA yang berlaku di Amerika Serikat dikala itu. Kode Etik yang ke dua sebetulnya belum pernah disahkan oleh IAI karena sangat kontroversial. Ciri khusus dari Kode Etik ini yaitu Kode Etik ini bukan saja untuk Akuntan Publik tetapi juga untuk Akuntan Manajemen, Akuntan Pemerintah dan Akuntan Pendidik. Kode Etik yang ke tiga disahkan dalam konggres IAI V di Surabaya pada tanggal 20-30 Agustus 1986. Menurut Harahap (1991), Kode Etik ini lahir antara dua kutub wangsit yang berkembang. Kutub pertama menghendaki biar Kode Etik hanya mengatur profesi Akuntan Publik saja, sedangkan kutub yang lain menghendaki biar Kode Etik mengatur semua akuntan berregister tanpa kecuali di manapun ia berkiprah. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam konggres IAI VIII bahwa Kode Etik IAI dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya. Keempat kalinya, Kode Etik IAI dirumuskan dalam kongres IAI VI ditambah dengan masukan-masukan yang diperoleh dari seminar sehari.
Pemutakhiran Kode Etik Akuntan Indonesia dilaksanakan tanggal 15 Juni 1994 di hotel Daichi Jakarta serta hasil pembahasan sidang Komisi Kode Etik dalam kongres IAI VII di Bandung. Kongres menghasilkan ketetapan bahwa Kode Etik Akuntan Indonesia terdiri atas :
1. Kode Etik Akuntan Indonesia yang disahkan dalam kongres VI IAI di Jakarta terdiri atas 8 BAB dan 11 pasal ditambah dengan 2.
2. Pernyataan Etika Profesi No.1 hingga dengan 6 yang disahkan dalam kongres IAI VII di Bandung tahun 1994.
Dalam rangka meningkatkan kualitas profesi akuntan, IAI dalam kongres VIII telah merumuskan Kode Etik Akuntan Indonesia yang baru. Kode Etik ini mengikat para anggota IAI di satu sisi dan dapat dipergunakan oleh akuntan lainnya yang bukan atau belum menjadi anggota IAI di sisi lainnya.
Penegakan Etika Profesi Akuntan di Indonesia.
Di Indonesia, penegakan Kode Etik dilaksanakan oleh sekurang–kurangnya enam unit organisasi, yaitu : (Prosiding Kongres VIII, 1998)
1. Kantor Akuntan Publik.
Ketaatan terhadap aba-aba etik yaitu tanggung jawab pimpinan KAP dimana anggota itu bekerja. Managing partner dan partner serta manager KAP melaksanakan pengawasan terhadap ditaatinya perilaku ini.
2. Unit Peer Review Kompartemen Akuntan Publik – IAI.
Di lingkungan Kompartemen Akuntan Publik, usaha pengawasan ini diwujudkan dalam bentuk "Peer Review" yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Seksi Pengendalian Mutu di lingkungan kepengurusan IAI di Kompartemen tersebut. Pengawasan oleh Unit Peer Review yang khusus dibentuk untuk mengawasi sesama KAP hingga dikala ini belum pernah terlaksana.
3. Badan Pengawas Profesi Kompartemen Akuntan Publik – IAI.
Badan ini merupakan unit organisasi yang melaksanakan peradilan pada tingkat pertama terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota IAI kompartemen akuntan pendidik.
4. Dewan Pertimbangan Profesi IAI.
Dewan ini berfungsi sebagai peradilan tingkat banding untuk kasus-kasus yang telah diputuskan hukumnya berdasar keputusan pada tingkat Badan Pengawas Profesi. Dewan ini melaksanakan peradilan untuk kasus-kasus pelanggaran lainnya yang tidak berkaitan dengan akuntan publik.
5. Departemen Keuangan RI.
yaitu: Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, misalnya Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai. Ia sebagai pemberi ijin praktek Akuntan Publik. Pengawasan yang dilakukannya pada umumnya untuk menilai apakah KAP yang diberi ijin telah melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berafiliasi dengan keputusan Menteri Keuangan wacana perijinan pembukaan KAP (SK Menkeu 43/KMK 017/1997) tanggal 27 Januari 1997 wacana jasa akuntan publik.
6. BPKP.
Berdasarkan Keppres 31/th 1983, wewenangnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap KAP. Dalam melaksanakan tugasnya, BPKP melaksanakan evaluasi wacana kepatuhan KAP terhadap perizinan yang diberikan dan terhadap pelaksanaan peran profesional akuntan publik.
Selain keenam unit organisasi tadi, pengawasan terhadap Kode Etik diharapkan dapat dilakukan sendiri oleh para anggota dan pimpinan KAP. Hal ini tercermin di dalam rumusan Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 1 ayat 2, yang berbunyi :
1. Setiap anggota harus selalu mempertahankan nama baik profesi dan etika profesi serta hukum negara di mana ia melaksanakan tugasnya.
2. Setiap anggota harus selalu mempertahankan integritas dan obyektifitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas dan tanpa pretensi. Dengan mempertahankan obyektifitas, ia akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan / undangan pihak tertentu / kepentingan pribadinya.
Selanjutnya dalam pasal 2 ayat (1) b disebutkan bahwa: "Jika seorang anggota mempekerjakan staf dan ahlinya untuk pelaksanaan peran profesionalnya, ia harus menjelaskan kepada mereka keterikatan akuntan pada Kode Etik. Dan ia tetap bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut secara keseluruhan. Ia juga berkewajiban untuk bertindak sesuai Kode Etik. Jika ia memiliki andal lain untuk memberi saran / jika merekomendasikan andal lain itu kepada kliennya”.
Beberapa Pelanggaran Kode Etik Akuntan di Indonesia.
Meskipun telah dibentuk unit organisasi penegakan adat sebagaimana disebutkan di atas, namun demikian pelanggaran terhadap aba-aba etik ini masih ada. Berdasarkan Laporan Dewan Kehormatan dan Pengurus Pusat IAI dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap Kode Etik dan sengketa secara umum meliputi sebagai berikut :
1. Kongres V (1982-1986), meliputi : (Hoesada, 1996): 1) Publikasi (penawaran jasa tanpa permintaan, iklan, pengedaran buletin KAP). 2) Pelanggaran Obyektifitas (mengecilkan penghasilan, memperbesar biaya suatu laporan keuangan). 3) Isu pengawas intern Holding mempunyai KAP yang memeriksa perusahaan anak Holding tersebut). 4) Pelanggaran kekerabatan dengan rekan seprofesi. Dan 5) Isu mendapatkan klien yang ditolak KAP lain dalam perang tarif.
2. Kongres VI (1986-1990), meliputi : (Hoesada, 1996): 1) Publikasi (ucapan selamat hari Natal, Tahun Baru, Merger pada perusahaan bukan klien, selebaran, iklan). 2) Perubahan opini akuntan tanpa bukti pendukung yang kuat. 3) WTP tanpa kertas kerja memadahi. 4) Surat akuntan pengganti. 5) Sengketa membawa kertas kerja keluar KAP. 6) Wan Prestasi pembayaran fee. Dan 7) Pengaduan pemegang saham minoritas wacana Laporan Keuangan, KAP dituduh memihak.
3. Kongres VII (1990-1994), jumlah kasus 21 buah melibatkan 53 KAP, pengaduan terutama berasal dari instansi pemerintah dan BUMN pemakai Laporan (50 % pengaduan), perusahaan klien (30 %), sisanya oleh KAP dan pengurus IAI (20 %). (Hoesada, 1996)
Pengaduan meliputi : 1) Dua pengaduan Bappepam wacana kualitas kerja. 2) Sebuah pengaduan Bapeksta wacana cap dan tanda tangan tanpa opini dan wacana pernyataan akuntan terkait pasal 47 KUHD (35 KAP). 3) Pengaduan Direktor Asuransi Ditjen Lembaga Keuangan wacana penyimpangan Laporan AT dan PAI. 4) Pengaduan Deputi BPKP atas audit perusahaan tempat sesuai NPA. 5) Pengaduan Deputi BPKP wacana penawaran atas kerja sama dalam rangka pertolongan jasa akuntan. 6) Pengaduan PT Taspen wacana audit tidak sesuai NPA. 7) Pengaduan klien KAP wacana audit tidak sesuai NPA, laporan audit terlambat, tidak sesuai PAI, dua opini berbeda dua KAP untuk klien periode sama, peran tidak selesai dan berkas hilang. 8) Pengaduan antar KAP wacana komunikasi akuntan pengganti dan akuntan terdahulu. Dan 9) Pengaduan iklan oleh pengurus IAI.
4. Konggres VIII (1994-1998), meliputi: objektivitas, komunikasi, standart teknis dan kerahasiaan (Riyanti,1999).
Adanya kesalahan sama, yang terulang dari tahun ke tahun tersebut disebabkan karena pengurus lini pertama hingga tingkat atas yaitu Dewan Kehormatan bersifat tertutup. Hal ini menunjukkan kekurangseriusan IAI dalam menyelesaikan duduk perkara secara tuntas.
Sidang Komisi Kongres IAI VIII episode Pendahuluan Kode Etik IAI menyatakan bahwa: “Kepatuhan terhadap Kode Etik, ibarat juga dengan semua standar dalam masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada jadinya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh organisasi, apabila dibutuhkan terhadap anggota yang tidak menaatinya. Jika perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh tubuh pemerintah yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.“
Menurut Yani (1996), faktor-faktor yang menghipnotis pelanggaran aba-aba etik, meliputi :
a. Faktor ekstern (uncontrollable), yaitu : 1) Kurangnya kesadaran anggota masyarakat (termasuk anggota KAP) akan kepatuhan terhadap hukum. 2) Honorarium yang relatif rendah untuk pekerjaan audit yang ditawarkan klien–klien tingkat menengah dan kecil. 3) Praktek-praktek yang tidak benar dari sebagian usahawan yang menyulitkan independensi akuntan publik. Dan 4) Masih sedikitnya Badan Usaha yang membutuhkan jasa akuntan publik, khususnya dibidang audit.
b. Faktor intern (controllable), yaitu : 1) Tidak adanya perhatian yang sungguh–sungguh dari sebagian pimpinan KAP akan mutu pekerjaan audit mereka. 2) Orientasi yang lebih mementingkan keuntungan Finansial dari pada menjaga nama baik KAP yang bersangkutan. 3) Pendapat bahwa perbuatan–perbuatan yang melanggar etik ini tidak atau kecil kemungkinannya diketahui pihak lain. 4) Kurangnya kesadaran untuk mengutamakan etik dalam menjalankan profesi oleh sebagian anggota IAI-KAP. Dan 5) Mutu pekerjaan audit yang ada kalanya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena penggunaan tenaga yang berkualitas kurang baik.
Menurut Agoes (1996), beberapa hambatan dalam penegakan aba-aba etik antara lain :
a. Sikap anggota profesi yang mendua, pada satau sisi menolak setiap pelanggaran terhadap aba-aba etik tetapi pada sisi lain menunjukkan pembenaran atas pelanggaran tersebut.
b. Adanya sifat sungkan dari sesama anggota profesi untuk saling mengadukan pelanggaran aba-aba etik. 3) Belum jelasnya aturan wacana mekanisme pertolongan sanksi dan proses peradilan atas kasus-kasus pelanggaran baik dalam Anggaran Dasar maupun dalam Anggaran Rumah Tangga. Dan 4) Belum dapat berfungsinya secara efektif BPP dan DPP sebagai akhir dari belum jelasnya peraturan dalam AD/ART.
Post a Comment
Post a Comment