Inilah 4 Cara Menentukan Status Kepemilikan Persediaan Barang
Untuk menentukkan apakah barang sudah dapat dicatat sebagai persediaan atau tidak, sebagai dasar yang digunakan adalah hak kepemilikan persediaan.
Barang-barang akan dicatat sebagai pihak yang memiliki barang-barang tersebut.
Sehingga perubahan catatan persediaan akan didasarkan pada perpindahan hak kepemilikan barang.
Cara Menentukan Status Kepemilikan Persediaan
Ada beberapa kondisi yang sering terjadi di mana sulit untuk menentukan hak kepemilikan barang sehingga dalam prakteknya akan ditemui beberapa penyimpangan.
Kesulitan untuk menentukan perpindahan hak atas barang timbul dalam kondisi seperti berikut ini dan inilah cara untuk menyelesaikannya:
#1. Goods in Transit (Barang-barang dalam perjalanan)
Barang-barang yang pada tanggal neraca masih dalam perjalanan menimbulkan masalah apakah masih menjadi milik penjual atau sudah berpindah haknya pada pembeli.
Cara yang paling praktis untuk mengetahui status kepemilikan dari barang-barang seperti itu adalah dengan mencari informasi mengenai syarat pengiriman barang-barang tersebut.
Ada 2 syarat pengiriman barang-barang, yaitu :
Syarat #1. F.O.B shipping point
Bila barang-barang dikirim dengan syarat f.o.b shipping point maka hak atas barang yang dikirim berpindah pada pembeli ketika barang-barang tersebut diserahkan kepada pihak pengangkut.
Untuk mengetahui proses dan diagram alur ( flowchart) sistem akuntansi pembelian barang, silahkan baca juga artikel tentang sistem akuntansi pembelian. (Link sistem akuntansi pembelian kredit)
Pada saat terjadi kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk menggunakan syarat pengiriman barang dengan f.o.b shipping point maka :
Penjual :
- Mencatat penjualan
- Mengurangi persediaan barangnya
Pembeli :
- Mencatat pembelian
- Menambah persediaan barangnya
Dalam prakteknya prinsip pengakuan hak kepemilikan barang seperti ini biasanya sulit dilakukan karena biasanya pembeli tidak mengetahui kapan barangnya akan dikirim.
Oleh karena itu untuk memudahkan pencatatan persediaan, maka pembeli akan mencatat pembelian dan menambah persediaan barangnya pada waktu barang-barang tersebut diterima oleh pembeli.
Sedangkan penjual akan mencatat penjualan dan mengurangi persediaan barangnya pada waktu mengirimkan barang-barang tersebut.
Penyimpangan ini baru akan menjadi masalah jika pada tanggal penyusunan laporan keuangan ada barang-barang yang masih dalam perjalanan.
Sehingga agar laporan keuangan itu akurat maka barang-barang dalam perjalanan pada tanggal neraca harus ditentukan siapa pemiliknya.
Syarat #2. F.O.B destination
Bila syarat pengiriman barang adalah f.o.b destination maka ini berarti bahwa hak atas barang baru berpindah pada pembeli bila barang-barang yang dikirim sudah diterima oleh pembeli.
Jadi perpindahan hak atas barang terjadi pada tanggal penerimaan barang oleh pembeli.
Saat terjadi kesepakatan untuk menggunakan syarat f.o.b destination maka :
Penjual :
- Mencatat penjualan
- Mengurangi persediaan barangnya
Pembeli :
- Mencatat pembelian
- Menambah persediaan barangnya
Perlakuanya hampir sama dengan f.o.b shipping point.
Dengan menggunakan syarat f.ob destination pun masih ada kesulitan bagi penjual untuk menentukan kapan barang-barang yang dibeli akan sampai di tangan pembeli.
Sehingga ada prakteknya terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, yaitu penjual sudah mencatat penjualan dan mengurangi persediaan barangnya pada saat mengirimkan barang-barang tersebut.
Sedangkan pembeli mencatat pembelian dan menambah persediaan barangnya pada saat menerima barang-barang tersebut.
Pada tanggal neraca, perlu ditentukan dengan jelas barang dalam perjalanan itu milik penjual atau pembeli sehingga bisa ditentukan jumlah persediaan barang dengan benar.
#2. Segregated Goods (Barang-barang yang dipisahkan)
Seringkali terjadi pada saat terjadi kontrak penjualan barang dalam jumlah yang besar, pengiriman barangnya tidak bisa dilakukan sekaligus.
Walaupun belum dikirimkan, barang-barang yang sudah dipisahkan tersendiri dengan tujuan untuk memenuhi kontrak-kontrak atau pesanan dari pembeli tersebut maka hak kepemilikannya sudah berpindah ke pembeli.
Sehingga pada saat penyusunan laporan keuangan jika ada barang-barang yang sudah dipisahkan harus dikeluarkan dari jumlah persediaan penjual dan dicatat sebagai penjualan.
Begitu juga dengan pembeli sudah dapat mencatatkan sebagai pembelian dan menambah persediaan barangnya.
#3. Consignment Goods (Barang-barang konsinyasi)
Penjualan dengan sistem konsinyasi atau titipan maka status barang-barang yang dititipkan untuk dijualkan (dikonsinyasikan) haknya masih tetap pada yang menitipkan (consignor) sampai barang-barang tersebut dijual.
Sebelum barang-barang tersebut dijual masih tetap menjadi persediaan pihak yang menitipkan.
Pihak yang menerima titipan (consignee) tidak mempunyai hak atas barang-barang tersebut sehingga tidak mencatatkan barang-barang tersebut sebagai persediaannya.
Apabila barang-barang itu sudah dijual maka yang menerima titipan membuat laporan pada yang menitipkan.
Pada waktu menerima laporan, pihak yang menitipkan (consignor) mencatat penjualan dan mengurangi persediaan barangnya.
#4. Installment Sales (Penjualan Angsuran)
Dalam penjualan angsuran hak atas barang tetap pada penjual sampai seluruh harga jualnya dilunasi.
Penjual akan melaporkan barang-barang tersebut dalam persediaannya dikurangi dengan jumlah yang sudah dibayar.
Pembeli akan melaporkan barang-barang tersebut dalam persediaannya sejumlah yang sudah dibayarkannya.
Apabila dianggap bahwa kemungkinan pembatalan penjualan tersebut adalah kecil maka penjual dapat mengakuinya sebagai penjualan biasa yang diangsur dan pembeli dapat mencatatnya sebagai pembelian biasa yang pembayarannya diangsur.
Ada beberapa cara penjualan angsuran di mana masing-masing cara akan ditentukan cara mencatatnya.
Berikut ini contoh-contohnya :
#1. Dibeli mesin dengan harga Rp 50.000.000 yang pembayarannya akan diangsur selama 5 tahun, tiap tahun sebesar Rp. 10.000.000 ditambah bunga 10% per tahun.
Jurnal yang dibuat oleh pembeli untuk mencatat pembelian mesin dan pembayaran angsuran adalah sebagai berikut :
Pembelian mesin:
Mesin Rp. 50.000.000
Utang Rp. 50.000.000
Utang Rp. 50.000.000
Akhir tahun pertama :
Utang Rp. 10.000.000
Biaya bunga Rp. 5.000.000
Kas Rp. 15.000.000
Biaya bunga Rp. 5.000.000
Kas Rp. 15.000.000
Perhitungan bunganya :
10% x Rp. 50.000.000 = Rp. 5.000.000
10% x Rp. 50.000.000 = Rp. 5.000.000
Akhir tahun kedua :
Utang Rp. 10.000.000
Biaya bunga Rp. 4.000.000
Kas Rp. 14.000.000
Biaya bunga Rp. 4.000.000
Kas Rp. 14.000.000
Perhitungan bunganya :
10% x Rp. 40.000.000 = Rp. 4.000.000
10% x Rp. 40.000.000 = Rp. 4.000.000
Dan seterusnya …
#2. Mesin dibeli dengan harga Rp. 60.000.000 di angsur lima tahun, di mana setiap tahunnya Rp 12.000.000 tanpa bunga.
Jika dibeli tunai maka harga mesin itu Rp. 50.000.000. Dengan sistem penjualan seperti itu bunga selama masa angsuran inklusif dengan harga mesin.
Harga perolehan (cost) mesin adalah sebesar harga tunainya dan selisihnya dicatat sebagai bunga. Jurnal pembelian mesin yang dibuat oleh pembeli untuk mencatat pembelian mesin dan angsuran setiap tahun sebagai berikut :
Pembelian mesin :
Mesin Rp. 50.000.000
Biaya bunga Rp. 10.000.000
Utang Rp. 60.000.000
Biaya bunga Rp. 10.000.000
Utang Rp. 60.000.000
Akhir tahun pertama :
Utang Rp. 12.000.000
Kas Rp. 12.000.000
Kas Rp. 12.000.000
Jurnal penyesuaian :
Cadangan bunga Rp. 8.000.000
Biaya bunga Rp. 8.000.000
Biaya bunga Rp. 8.000.000
Cadangan bunga dalam neraca dikurangkan pada jumlah utang pembelian mesin sehingga dapat menunjukkan nilai tunai utang pada tanggal neraca.
Pada awal tahun berikutnya dibuat jurnal penyesuaian kembali sebagai berikut :
Biaya bunga Rp. 8.000.000
Cadangan bunga Rp. 8.000.000
Cadangan bunga Rp. 8.000.000
Akhir tahun kedua :
Utang Rp. 6.000.000
Kas Rp. 6.000.000
Kas Rp. 6.000.000
Jurnal penyesuaian :
Cadangan bunga Rp. 6.000.000
Biaya bunga Rp. 6.000.000
Biaya bunga Rp. 6.000.000
Jurnal penyesuaian kembali :
Biaya bunga Rp. 6.000.000
Cadangan bunga Rp. 8.000.000
Cadangan bunga Rp. 8.000.000
Dan seterusnya ….
Post a Comment
Post a Comment