Latest Post

Account Assistant Account Officer Account Payable Account Receivable Accounting Accounting Case Study Accounting Certification Accounting Contest Accounting For Manager Accounting Manager Accounting Software Acquisition Admin Administrasi administrative assistant Administrator Advance accounting Aktiva Tetap Akuisisi Akun Akuntan Privat Akuntan Publik AKUNTAN. Akuntansi Akuntansi Biaya Akuntansi Dasar Akuntansi Management Akuntansi Manajemen Dan Biaya Akuntansi Pajak Akuntansi Perusahaan Dagang Akuntansi Perusahaan Jasa Akuntansi Syariah Akuntansi Translasi Akunting Analisis Transaksi Announcement Aplikasi Akuntansi archiving ARTICLES ARTIKEL Asumsi dasar Akuntansi Asuransi Aturan Pencatatan Akuntansi Audit Audit Kinerja Auditing Balance sheet Bank Basic Accounting Bea Cukai Bea Masuk Bidang Akuntansi Bukti Transaksi Buku Besar Calculator Capital Cara Pencatatan Akuntansi Career Cash Cash Flow Cat Certification Checker Checker Gudang COGS Collection Contest Corporate Social Responsibility (CSR) Cost Cost Analysis CPA CPA EXAM Credit Credit Policy Current Asset Custom Custom Clearence Dasar Akuntansi Data Debit Kredit Discount Diskon Distributor Dyeing Ekspor Engineering Etika Profesi & Tata Kelola Korporat Example Expense Export - Import FASB Finance FINANCIAL Financial Advisor Financial Control Finansial Foreign Exchange Rate Form FRAUD Free Download Freebies Fungsi Akuntansi GAAP GAJI Garansi Gift Goodwill Gudang Harga Pokok Penjualan Hotel HPP HRD IFRS Impor Import Import Duty Informasi Akuntansi International Accounting Investasi IT Jasa Jasa Konstruksi Job Vacant JUDUL SKRIPSI AKUNTANSI TERBARU Jurnal Khusus Jurnal Pembalik Jurnal Pembalik Dagang Jurnal Penutup Jurnal Penutup Dagang Jurnal Penyesuaian Jurnal Umum Kas Kas Bank Kas Kecil Kasus Akuntansi Kasus Legal Kasus Pajak Kepala Rekrutment Kertas Kerja Keuangan Knitting Komentar Komputer Konsolidasi Konstruksi Konsultan Laba-Rugi Laboratorium Lain-lain lainnya LANDING COST Laporan akuntansi Laporan Arus Kas Laporan Keuangan Laporan Keuangan Dagang Laporan Keuangan Jasa Laporan Laba Rugi Laporan Perubahan Modal laporan Rugi Laba Layanan Konsumen Lean Accounting Lean Concept Lean Manufacturing Legal Logistik Lowongan Kerja Accounting MA Accounting Macam Transaksi Dagang Management Management Accounting Manager Manajemen Manajemen Keuangan Manajemen Keuangan Manajemen Stratejik Manajer Manajer Administrasi Manfaat Akuntansi Manufaktur Marketing Matching Color Mekanisme Debit Mekanisme Kredit Mencatat Transaksi Merger metode fifo dan lifo Mid Level Miscellaneous Modal Neraca Neraca Lajur Neraca Saldo Neraca Saldo Setelah Penutupan Nerasa Saldo Office Operator Operator Produksi Paint PAJAK pajak pusat.pajak daerah(provinsi dan kabupaten) payroll Pelaporan Korporate Pemasaran Pembelian Pemberitahuan Pemindahbukuan Jurnal Pencatatan Perusahaan Dagang Pendapatan Pengakuan Pendapatan Pengarsipan Pengendalian Pengendalian Keuangan Pengertian Akuntansi PENGERTIAN LAPORAN KEUANGAN pengertian pajak PENGERTIAN PSAK PENGGELAPAN Pengguna Akuntansi Pengkodean Akun Penjualan Perbankan Perlakuan akuntansi Perpajakan Persamaan Dasar Akun Petty Cash Piutang Posting Buku Besar PPH PASAL 21 PPh Pasal 22 PPh Pasal 26 PPn PPn Import Prefesi Akuntansi Prinsip Akuntansi PRINSIP DASAR AKUNTANSI Produksi Profesi Akuntansi Professi Akuntan Profit-Lost Proses Akuntansi Proyek PSAK PSAK TERBARU PURCHASE Purchasing QA QC Quality Assurance Quality Control Quiz Rabat Rajut rangkuman Rebate Recruitment Recruitment Head Rekrutment Retail Retur Return Revenue Review Saldo Normal Sales Sales Representative Sejarah Akuntansi SERIE ARTIKEL Sertifikasi Shareholder Shipping Agent Shipping Charge siklus akuntansi Silus Akuntansi Dagang Sistem sistem akuntansi Sistem Informasi Sistem Informasi & Pengendalian Internal Soal dan Jawaban CPA SPI Spreadsheet Accounting Spreadsheet Gratis Staff Struktur Dasar Akuntansi Supervisor system pengendalian system pengendalian gaji Tax Taxation Teknik Tekstil Template Teori-teori Akuntansi Tinta Tip n Tricks TIPS AND TRICKS Tools Top Level Transaksi Keuangan Tutup Buku Ujian CPA UPAH update situs USAP Utilities Video Tutor Warehouse Warna warranty What Is New

IFAC Code of Ethics (Part A. General Application of Code dan Part C. Professional Accountants in Business)

Setelah melalui serangkaian proses yang relatif panjang dan lama, risikonya pada Agustus 2008, Dewan Standar Profesional Akuntan Publik-Institut Akuntan Publik Indonesia (DSPAP-IAPI) berhasil menyelesaikan Eksposure Draft Kode Etik Profesi Akuntan Publik Indonesia yang gres tersebut setelah mendapatkan jawaban dan koreksi dari banyak sekali kalangan, pada Rapat Pleno Pengurus IAPI tanggal 14 Oktober 2008 disahkan menjadi Kode Etik yang gres dan akan dinyatakan efektif pada 1 Januari 2010.

Draf Kode Etik ini direncanakan akan menggantikan Kode Etik yang ketika ini berlaku, yaitu yang merupakan gabungan dari Aturan Etika yang ada dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) serta Prinsip Etika yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Kode Etik yang ketika ini berlaku mulai efektif pada Mei 2000, bersumber dari Kode Etik AICPA Edisi Juni 1998. Sedangkan draf Kode Etik yang gres bersumber dari Code of Ethics for Proffesionals Accountants yang diterbitkan oleh the Internationals Ethics Standards Board for Accounting (IESBA-IFAC) Edisi tahun 2008. Pada teks aslinya, Code of Ethics yang diterbitkan IFAC terdiri dari 3 bagian, masing-masing:

1. Bagian A (General Application of the Code);
2. Bagian B (Proffesional Accountants in Public Practice);
3. Bagian C (Proffesional Accountants in Business)

Namun sebab dipandang bahwa adegan C belum relevan untuk diadopsi oleh IAPI, maka hanya adegan A dan adegan B yang ketika ini dipersiapkan akan diadopsi, selesai diterjemahkan, dimodifikasi, dan disajikan eksposure draftnya.

Keterterapan Kode Etik yang gres lebih luas daripada Kode Etik yang ketika ini berlaku. Jika Kode Etik yang ketika ini berlaku hanya untuk anggota IAPI dan Staf Profesional yang bekerja pada KAP, sedangkan Kode Etik yang gres akan diberlakukan kepada setiap individu dalam KAP atau jaringan KAP, baik yang anggota IAPI maupun yang bukan anggota IAPI yang menunjukkan jasa assurance dan jasa non-assurance seperti tercantum dalam standar profesi maupun Kode Etik Profesi Akuntan Publik (dalam draf Kode Etik individu tersebut disebut “Praktisi”), serta kepada seluruh anggota IAPI yang tidak berada pada KAP atau jaringan KAP dan tidak menunjukkan jasa profesional menyerupai tersebut, anggota IAPI ini diharuskan untuk mematuhi adegan A dan Kode Etik ini.

Terdapat beberapa perbedaan antara Draf Kode Etik dengan Kode Etik Akuntan Publik yang ketika ini berlaku, 5 diantara perbedaan tersebut yaitu :

1. Jumlah paragrafnya (pada draf Kode Etik yang gres terdapat 266 paragraf, sedangkan Kode etik yang ketika ini berlaku hanya 44 paragraf);

2. Isi draf Kode Etik yang gres memuat banyak hal yang bersifat principle base ini selalu menjadi ciri dari pernyataan (pronoucements) standar yang diterbitkan oleh IFAC. Sifat yang sama juga dijumpai pada teks IFRS, maupun ISA;

3. Draf Kode Etik mengharuskan Praktisi selalu menerapkan Kerangka Konseptual untuk mengidentifikasi bahaya (threat) terhadap kepatuhan pada prinsip dasar serta menerapkan pencegahan (safeguards). Pada Kode Etik yang ketika ini berlaku tidak menguraikan problem budpekerti dengan sistematika identifikasi bahaya dan pencegahan. Identifikasi bahaya dan pencegahan selalu disebutkan dalam adegan B Kode Etik, yaitu harus dilakukan ketika Praktisi terlibat dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya;

4. Aturan budpekerti mengenai independensi disajikan dengan sangat rinci. Seksi 290 mengenai Independensi memuat 162 paragraf, padahal Kode Etik yang ketika ini berlaku hanya 1 paragraf, yaitu pada Aturan Etika seksi 100; dan

5. Dimasukkannya aturan mengenai Jaringan KAP dalam Kode Etik.

Dengan melihat 5 perbedaan itu saja, tentu Praktisi Akuntan Publik sudah harus menyiapkan diri dengan Kode Etik yang baru. Paragraf yang lebih banyak memberi beban lebih banyak untuk dibaca dan dipahami, ditambah lagi dengan sifat isinya yang principle base menurut Praktisi untuk lebih seksama menafsirkan setiap isi dari Kode Etik tersebut. Namun demikian, jumlah paragraf yang lebih banyak serta bersifat principle base ini tidak serta merta akan menyulitkan bagi Praktisi, sebab dalam banyak hal bukan tidak mungkin justru menunjukkan kejelasan dibandingkan dengan Kode Etik yang ketika ini berlaku yang lebih sederhana.

Draf Kode Etik terdiri dari 2 adegan yaitu:
1. Bagian A memuat Prinsip Dasar Etika Profesi dan menunjukkan Kerangka Konseptual untuk penerapan prinsip; dan
2. Bagian B memuat Aturan Etika Profesi yang menunjukkan ilustrasi mengenai penerapan kerangka konseptual pada situasi tertentu.

Prinsip Dasar yang disajikan dalam Bagian A terdiri dari 5 prinsip;
1. Integritas
2. Objektivitas
3. Kompetensi dan Kehati-hatian
4. Kerahasiaan
5. Perilaku Profesional

Sedangkan dalam Kode Etik yang ketika ini berlkau terdiri dari 8 prinsip, yaitu;
1. Integritas
2. Objektifitas
3. Kompetensi dan Kehati-hatianProfesional
4. Kerahasiaan
5. Perilaku Profesional
6. Tanggung jawab profesi
7. Kepentingan Publik
8. Standar Profesi

Adapun dalam Kerangka Konseptual yang tercantum dalam adegan A, paragraf 100.6, ditetapkan kewajiban Praktisi untuk mengevaluasi setiap bahaya terhadap kepatuhan pada prinsip dasar budpekerti profesi ketika ia mengetahui, atau seharusnya dapat mengetahui, keadaan atau kekerabatan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap prinsip dasar.

Evaluasi bahaya sebagaimana disebutkan dalam paragraf 100.6 ini menunjukkan catatan kepada Praktisi untuk tidak hanya mendapatkan gosip atas adanya bahaya terhadap kepatuhan pada prinsip dasar, tetapi juga harus mengupayakan untuk mengetahui atas sesuatu yang bekerjsama dapat diketahui yang merupakan bahaya terhadap prinsip dasar tersebut.

Ancaman terhadap prinsip dasar sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik ini diklasifikasikan menjadi 5 jenis ancaman, terdiri dari:
1. Ancaman Kepentingan Pribadi
2. Ancaman Telaah Pribadi
3. Ancaman Advokasi
4. Ancaman Kedekatan
5. Ancaman Intimidasi

Sedangkan pencegahan yang dapat menghilangkan bahaya tersebut, atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Pencegahan yang dibuat oleh profesi, perundang-undangan, atau peraturan; dan
2. Pencegahan dalam lingkungan kerja.

Dalam adegan B draf Kode Etik, pencegahan yang dibahas yaitu pencegahan dalam lingkungan kerja. Sedngakan pencegahan yang dibuat oleh profesi, perundang-undangan, atau peraturan cukup disebutkan dalam adegan A, paragraf 100.12.

Bagian B Kode Etik memuat Aturan Etika Profesi yang terdiri dari 10 seksi yang tersebar dalam 224 paragraf. Bagian B menunjukkan ilustrasi perihal penerapan kerangka konseptual dan contoh-contoh pencegahan yang diharapkan untuk mengatasi bahaya terhadpa kepatuhan pada prinsip dasar. Karena sifatnya contoh-contoh, maka untuk menghindari semoga tidak keliru penafsirannya oleh Praktisi, maka paragraf 200.1 dijelaskan bahwa setiap situasi ynag dihadapi Praktisi yang dapat menimbulkan bahaya terhadap kepatuhan pada prinsip dasar. Oleh sebab itu, tidak cukup bagi Praktisi untuk hanya mematuhi contoh-contoh yang diberikan, melainkan harus juga menerapkan kerangka konseptual dalam setiap situasi yang dihadapinya.

Pada adegan awal dari adegan B, seksi 200, disebutkan 5 jenis ancaman, serta contoh-contoh dari bahaya tersebut. Kemudian diberikan rujukan pencegahan dalam lingkungan kerja, yang dibedakan atas:
1. Pencegahan pada tingkat institusi dalam lingkungan kerja, dan
2. Pencegahan pada tingkat perikatan dalam lingkungan kerja.

Contoh pencegahan tingkat institusi dalam lingkungan kerja antara lain;
1. Kepemimpinan KAP atau Jaringan KAP yang menekankan pentingnya kepatuhan pada prinsip dasar;
2. Kepemimpinan KAP atau Jaringan KAP yang memastikan terjaganya tindakan untuk melindungi kepentingan publik oleh anggota tim assurance.
3. Kebijakan dan prosedur untuk menerapkan dan memantau pengendalian mutu perikatan.

Contoh pencegahan tingkat perikatan dalam lingkungan kerja, antara lain:
1. Melibatkan Praktisi lainnya untuk menelaah hasil pekerjaan yang telah dilakukan atau untuk menunjukkan saran yang diperlukan;
2. Melakukan konsultasi dengan pihak ketiga yang independen, menyerupai komisaris independen, organisasi profesi, atau praktisi lainnya, dan
3. Melibatkan KAP atau Jaringan KAP lain untuk melaksanakan atau mengerjakan kembali suatu adegan dari perikatan. Dalam hal pencegahan ini, mungkin saja klien sudah memiliki sistem pencegahan sendiri, misalnya a) Pihak dalam organisasi klien selain administrasi meratifikasi atau menyetujui penunjukkan KAP atau Jaringan KAP, b) Klien memiliki karyawan yang kompeten dengan pengalaman dan senioritas yang memadai. Dalam hal demikian Praktisi dapat mengendalkan pada sistem pencegahan klien, namun demikian tidak boleh hanya mengandalkan pada pencegahan klien tersebut,
Seksi-seksi selanjutnya di Bagian B, menyerupai pada seksi 210 s.d 290, menguraikan banyak sekali potensi bahaya terhadap keptatuhan pada prinsip dasar yang dapat terjadi pada banyak sekali situasi ketika Praktisi melaksanakan pekerjaan profesionalnya. Kemudian dijelaskan pencegahan yang disarankan untuk mengatasi bahaya tersebut, sehingga bahaya tersebut dapat dihilangkan atau dikurangi sampai tingkat yang dapat diterima. Adalah kewajiban Praktisi untuk selalu mengidentifikasi ancaman, mengevaluasi signifikasinya, dan jikalau bahaya tersebut merupakan bahaya selain bahaya yang secara terang tidak signifikan, maka pencegahan yang sempurna harus diterapkan untuk menghilangkan bahaya tersebut atau menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Apabila bahaya tersebut tidak dapat dikurangi, maka Praktisi harus menolak untuk mendapatkan suatu perikatan atau mengundurkan diri dari perikatan tersebut.

Dalam hal penerimaan klien misalnya, bahaya kepentingan eksklusif terhadap kompetensi dan sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi ketika tim perikatan tidak memiliki kompetensi yang diperlukan. Pencegahan yang disarankan misalnya a) memperoleh pemahaman yang memadai mengenai sifat dan kompleksitas bisnis klian, b) memperoleh pengetahuan yang relevan mengenai industri, menggunakan tenaga hebat jikalau diperlukan, dan sebagainya. Dalam hal diminta menunjukkan pendapat kedua mengenai penerapan akuntansi, audit aatas transaksi tertentu oleh pihak lain selain klien, maka bahaya terhadap kompetensi, sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi. Pencegahan yang disarankan misalnya a) meminta persetujuan klien untuk menghubungi Praktisi yang menunjukkan pendapat pertama, b) menjelaskan mengenai keterbatasan pendapat yang diberikan kepada klien, dan sebagainya.

Dalam penentuan imbalan jasa profesional, bahaya kepentingan eksklusif terhadap kompetensi dan sikap kecermatan dan kehati-hatian profesional dapat terjadi ketika besaran imbalan jasa profesional sedemikian rendahnya, sehingga dapat menimbulkan tidak dapat dilaksanakan perikatan dengan baik sesuai standar teknis dan profesi.

Pencegahan yang disarankan misalnya a) membuat klien menyadari persyaratan dan kondisi perikatan, terutama dasar penentuan imbalan, dan jenis dan ruang lingkup penugasan, b) mengalokasikan waktu yang memadai dan menggunakan staf yang kompeten dalam perikatan tersebut.

Penerimaan hadiah atau bentuk keramah-tamahan (hospitality) dari klien dapat menimbulkan bahaya terhadap prinsip objektifitas. Pencegahan harus diterapkan untuk menghilangkan atau mengurangi bahaya tersebut. Ancaman kepada kepatuhan pada prinsip dasar objektifitas dapat terjadi sebab kedekatan, menyerupai kekerabatan keluarga, kekerabatan kedekatan eksklusif atau bisnis. Pencegahan yang disarankan antara lain: a) menerapkan prosedur penyeliaan yang memadai, b) menghentikan kekerabatan keuangan dan kekerabatan bisnis yang dapat menimbulkan ancaman.

Seksi 290 menjelaskan dengan sangat rinci persyaratan independensi bagi Tim Assurance, KAP, dan Jaringan KAP. Seksi yang terdiri dari 162 paragraf ini mengatur persyaratan independensi pada perikatan assurance serta perikatan non-assurance pada klien assurance. Pengertian independensi sebagaimana disebutkan dalam seksi ini yaitu independensi dalam pedoman (independence of mind), dan independensi dalam penampilan (independence in appearance). Pengertian kedua independensi tersebut disajikan pada paragraf 290.8. Sebagai catatan, kita tahu bahwa dalam Kode Etik yang berlaku ketika ini independensi tersebut terdiri dari independence in fact dan independence in appearance.

Berbeda dengan Kode Etik yang ketika ini berlaku, seksi 290 draf Kode Etik secara terang memberi aturan perihal independensi bukan hanya anggota IAPI atau staf profesional yang bekerja pada suatu KAP, tetapi juga kepada KAP yang berada dalam suatu jaringan, dan Jaringan KAP. Istilah Jaringan didefinisikan dalam paragraf 290.14 sebagai suatu struktur yang lebih besar yang dibentuk dengan tujuan untuk melaksanakan kerjasama diantara entitas-entitas dalam struktur tersebut dan secara jelas:

1. Berbagi pendapatan atau beban;
2. Memiliki kepemilikan, pengendalian, atau administrasi bersama;
3. Memiliki kebijakan dan prosedur pengendalian mutu bersama;
4. Memiliki taktik bisnis bersama;
5. Menggunakan nama merk bersama; atau
6. Berbagi sumber daya yang profesional yang signifikan.

Pada paragraf 290.14 juga disajikan pengertian dari Jaringan KAP. Menurut Kode Etik ini, suatu KAP ynag berada dalam suatu Jaringan atau Jaringan KAP harus menjaga independensinya terhadap setiap klien audit laporan keuangan yang menjadi klien dari setiap KAP atau Jaringan KAP yang terdapat dalam jaringan tersebut.

Pada paragraf 290.100 s.d 290.214 diberikan ilustrasi ancaman-ancaman terhadap independensi dalam Perikatan Assurance dan pencegahannya. Ancaman tersebut diilustrasikan timbul ketika adanya:
1. Kepentingan keuangan;
2. Pinjaman dan penjaminan yang diberikan oleh Klien Assurance;
3. Hubungan bisnis yang erat dengan Klien Assurance ;
4. Hubungan keluarga dan kekerabatan eksklusif dengan Klien Assurance;
5. Personil KAP yang bergabung dengan Klien Assurance;
6. Personil Klien Assurance yang bergabung dengan KAP;
7. Rangkap jabatan personil KAP sebagai Direktur atau Pejabat Klien Assurance;
8. Keterkaitan yang cukup lama antara personil senior KAP dengan Klien Assurance.

Dalam hal adanya personil KAP yang bergabung dengan Klien Assurance, yang hal ini sering terjadi, pada paragraf 290.144 diuraikan bahwa pencegahan yang dianjurkan meliputi antara lain:
1. Mempertimbangkan kelayakan atau kebutuhan untuk memodifikasi rencana kerja perikatan assurance;
2. Menugaskan tim assurance yang setidaknya memiliki pengalaman yang setara dengan pengalaman individu tersebut untuk perikatan assurance;
3. Melibatkan praktisi lain yang tidak terlibat dalam perikatan assurance untuk menelaah pekerjaan yang telah dilakukan personal KAP yang bersangkutan; atau
4. Menelaah pengendalian mutu perikatan.

Selain mengenai bahaya terhadap independensi dalam perikatan assurance dan pencegahannya yang diuraikan pada paragraf 290.100 s.d 290.157, seksi 290 juga menunjukkan ilustrasi bahaya dan pencegahannya pada Pemberian Jasa Profesional selain Jasa Assurance kepada Klien Assurance (par 290.158 s.d 290.205), Imbalan Jasa Profesional (par 290.206 s.d 290.212), Penerimaan Hadiah atau bentuk keramah-tamahan Lainnya (par 290.213), dan Litigasi dan Ancaman Litigasi (par 290.214).

Membaca draf Kode Etik Profesi Akuntan Publik dari adegan awal sampai akhir, sebanyak 266 paragraf memang bukanlah hal yang ringan, namun dari teks Kode Etik ini dapat menunjukkan gambaran bahwa betapa banyaknya rambu-rambu yang harus dipatuhi Praktisi semoga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Sebuah gambaran betapa besarnya tanggung jawab Profesi Akuntan Publik dalam menjalankan profesinya. Dengan banyaknya Kode Etik yang bersifat Principle base, Praktisi tidak hanya dituntut untuk membaca apa yang tertulis dalam teks Kode Etik, namun juga harus bisa menafsirkan makna yang tersirat di dalamnya. Akhirnya, dengan selesainya exposure draft Kode Etik Profesi Akuntan Publik yang baru, kita berharap Akuntan Publik Indonesia dapat mempersiapkan diri utnuk memahami dan mengimplementasikannya dalam tugas-tugas profesinya, dan Akuntan Publik Indonesia melangkah maju ke arah yang lebih baik dan mencapai martabat yang lebih tinggi sejalan dengan misi IAPI untuk menjadikan Akuntan Publik Indonesia memiliki kesetaraan dalam kualitas dan kompetensi sesuai dengan standar profesi internasional.

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya, lain kepala dan back ground lain pula pemikirannya. Termasuk dalam menyikapi imbas fluktuasi nilai tukar mata uang. Apakah perlu dilaporkan atau tidak?. Bagaimana seorang Finance Director dan seorang Controller menyikapi hal ini?

 lain kepala dan back ground lain pula pemikirannya Fluktuasi Nilai Tukar Uang | 2 Sudut Pandang BerbedaSebuah perusahaan multi nasional sebut saja “AFT Inc” melaksanakan perluasan perjuangan hingga ke Malaysia, yaitu dengan mendirikan anak perusahaan kecil di sana. Saat ini 1 Ringgit Malaysia (RM) = Rp 2,906,- Sedangkan ketika anak perusahaan di Malaysia di dirikan (Tahun 2006) 1 Ringgit Malaysia sama dengan Rp 2,500,- ketika AFT Inc mengeluarkan Rp 1,500,000,000 untuk investasi awal (yang kalau di konversikan sama dengan RM 600,000). Sepertiga-nya (Rp 500,000,000) dipergunakan untuk membeli tanah dan bangunan disana, sepertiga yang lainnya lagi dipergunakan untuk membeli persediaan barang, sedangkan sepertiga yang terakhir dipergunakan untuk pembelian saham dan surat berharag lainnya di pasar modal malaysia sana. Belakangan ini, mata uang RM semakin menguat, dan rupiah terus-menerus terdepresiasi. Hari ini 1 RM = Rp 2906. Sehingga nilai asset termasuk tanah dan bangunan yang ketika di beli hanya Rp 500,000,000 (atau setara RM 200,000 ketika itu) kini nilainya menjadi: RM 200,000 x 2906 = Rp 581,186,000. Cukup significant perubahannya bukan?, demikian juga 2/3 lainnya.

Bagaimana AFT Inc’s Top Finance Officer menyikapi fenomena ini? Berikut yaitu dialog (lebih sempurna disebut sebagai perdebatan) antara Finance Director dengan Controller AFT Inc:


Controller: Tidak ada yang berubah. Cost kita tetap Rp 500,000,000 untuk masing-masing item investasi, dengan kata lain total cost kita tetap Rp 1,5 millyard. Itulah yang sudah kita keluarkan. Accounting memakai “historical cost”. Kaprikornus tidak ada yang perlu kita lakukan atas perubahan nilai tukar tersebut.

Finance Director: Ya, tetapi rate yang dipergunakan dahulu (1 RM= Rp 2500) sudah tidak ada artinya lagi. Apakah kita akan dapat menutup mata atas perubahan nilai yang terjadi ketika ini? Cost kita tetap Rp 1.5 millyard, anda benar. Tetapi bagaimanapun juga kini 1 RM = Rp 2,906,- jadi nilai yang akan kita laporkan seharusnya berubah juga.

Controller: Perubahan atas “nilai tukar mata uang (foreign exchange rate)” hanya akan mensugesti kita, HANYA apabila kita menarik dana kita dari Malaysia. Dan kita tidak ada rencana untuk menariknya untuk beberapa tahun ke depan ini bukan?. Nilai tukar mungkin akan mengalami perubahan puluhan bahkan ratusan kali sebelum dana kita tarik dari Malaysia. Kita harus tetap berpegang pada historical cost Rp 1.5 millyard tersebut. Itulah kenyataan cost kita. Sederhana bukan?

Finance Director: Maksud anda, untuk 20 tahun ke depan kita akan mentranslasi laporan keuangan kita untuk pihak eksternal memakai nilai tukar yang sudah tidak berlaku lag selama bertahun-tahun? Itu tidak masuk logika !!! Saya benar-benar mengalami dilema memakai nilai tukar mata uang kuno menyerupai itu untuk tujuan investasi dan persediaan (catatan: ingat awalnya investasi 1.5 millyard dibagi tiga, 2/3-nya dipergunakan untuk investasi dan persediaan). Dan anda tahu ketika barang persediaan disana terjual itu akan pribadi di konversikan ke dalam uang tunai yang nialinya jelas-jelas sudah tidak ada hubungannya dengan nilai tukar aslinya waktu investasi dilakukan, melainkan nilai tukar yang sekarang.

Controller: Wah, pak diretur, maaf. Kalau begitu anda salah memahami imbas fluktuasi nilai tukar mata uang. Ayolah pak, perubahan itu tidak akan berpengaruh, 1 RM tetap 1 RM bukan?. Baru akan kuat secara real apabila terjadi pertukaran yang real. Apabila telah terjadi realisasi pertukaran yang sungguh-sungguh (misal: barang persediaan dijual ke Indonesia, atau ada asset/dana yang dipindahkan dari Malaysia ke Indonesia) disana kita akan akui adanya perubahan nilai, dan apabila ada selisih akan kita akui sebagai selisih laba atau kerugian kurs.

Finance Director: Saya masih berpikir, bahwa tidak ada gunanya kita menciptakan laporan keuangan yang nyata-nyata memakai alat ukur nilai tukar yang sudah tidak berlaku lagi. Saya tidak peduli kapan realisasi pertukaran akan terjadi.

Controller: Anda harus berpegang pada historical cost, percayalah. Nilai tukar hari ini sama sekali tidak penting KECUALI kita benar-benar menukarkan RM dengan Rupiah!


Prinsip-Prinsip GCG

Sejak diperkenalkan oleh OECD, prinsip-prinsip corporate governance berikut ini telah dijadikan teladan oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut disusun seuniversal mungkin sehingga dapat berlaku bagi semua negara atau perusahaan dan diselaraskan dengan sistem hukum, aturan atau tata nilai yang berlaku di negara masing-masing. Prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik ini antara lain :

a) Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini memuat kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris dan direksi beserta kewajiban-kewajibannya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya. Dewan direksi bertanggung jawab atas keberhasilan pengelolaan perusahaan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pemegang saham. Komisaris bertanggung jawab atas keberhasilan pengawasan dan wajib menunjukkan nasehat kepada direksi atas pengelolaan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Pemegang saham bertanggung jawab atas keberhasilan pembinaan dalam rangka pengelolaan perusahaan.

b) Pertanggungan-jawab (responsibility)
Prinsip ini menuntut perusahaan maupun pimpinan dan manajer perusahaan melaksanakan kegiatannya secara bertanggung jawab. Sebagai pengelola perusahaan hendaknya dihindari segala biaya transaksi yang berpotensi merugikan pihak ketiga maupun pihak lain di luar ketentuan yang telah disepakati, menyerupai tersirat pada undang-undang, regulasi, kontrak maupun pedoman operasional bisnis perusahaan.

c) Keterbukaan (transparancy)
Dalam prinsip ini, informasi harus diungkapkan secara sempurna waktu dan akurat. Informasi yang diungkapkan antara lain keadaan keuangan, kinerja keuangan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Audit yang dilakukan atas informasi dilakukan secara independen. Keterbukaan dilakukan biar pemegang saham dan orang lain mengetahui keadaan perusahaan sehingga nilai pemegang saham dapat ditingkatkan.

d) Kewajaran (fairness)
Seluruh pemangku kepentingan harus memiliki kesempatan untuk menerima perlakuan yang adil dari perusahaan. Pemberlakuan prinsip ini di perusahaan akan melarang praktek-praktek tercela yang dilakukan oleh orang dalam yang merugikan pihak lain. Setiap anggota direksi harus melaksanakan keterbukaan bila menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan.

e) Kemandirian (independency)
Prinsip ini menuntut para pengelola perusahaan biar dapat bertindak secara berdikari sesuai tugas dan fungsi yang dimilikinya tanpa ada tekanan-tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan sistem operasional perusahaan yang berlaku. Tersirat dengan prinsip ini bahwa pengelola perusahaan harus tetap menunjukkan legalisasi terhadap hak-hak stakeholders yang ditentukan dalam undang-undang maupun peraturan perusahaan.

Kita akan explore lebih jauh lagi mengenai STANDARD COST , VARIANCE dan EFFISIENSI. Di wilayah mana lagi standard cost diterapkan dan kemungkinan variance timbul akan timbul?, Bagaimana perlakuannya?.

Masih memakai pola product dasi yang kita pakai di Standard Cost, Variance & Effisiensi Part 1. Untuk mengingat kembali dan biar tidak bolak balik mencarinya, tabel standard cost-nya saya tampilkan lagi dibawah ini:

 Di wilayah mana lagi standard cost diterapkan dan kemungkinan variance timbul akan timbul STANDARD COST, VARIANCE - Part 2Standard Cost, Variance & Effisiensi – Part 3.

Dalam Pelaporan Keuangan Perusahaan, khususnya “Laporan Laba Rugi”, kita mengenal adanya LAPORAN LABA RUGI KOMERSIAL dan LAPORAN LABA RUGI FISKAL. Mengapa ada Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal? Apa saja perbedaannya? Bagaimana caranya menciptakan Laporan Laba Rugi Fiskal? Bagaimana kalau tidak dibedakan? Mungkinkah kedua laporan keuntungan rugi ini dijadikan satu? Bagaimana caranya? Akan kita bahas di artikel ini sebentar lagi.

Artikel ini saya dedikasikan bagi mereka yang “belum sepenuhnya” memahami dan belum sanggup menciptakan laporan keuntungan rugi fiskal. Mudah-mudahan artikel ini sanggup memperlihatkan pemahaman yang lebih baik dan detail. Seperti biasa saya akan memperlihatkan langkah-langkah pembuatannya. Termasuk TRICK “Bagaimana menyatukan Laporan Laba Rugi Komersial dan Fiskal ke dalam satu lembar laporan saja”.

Untuk rekan-rekan yang SPT Tahunannya sudah lolos saya ucapkan “Congratulation!”. Sedangkan yang masih berjuang memasukkannya saya ucapkan “Good luck!”. Dan bagi yang masih galau menciptakan SPT PPh Badan, mungkin ada baiknya membaca artikel ini :-). Meskipun yang dibahas bukan cara mengisi SPT PPh Badan, tetapi... adalah mustahil bagi anda untuk menciptakan SPT PPh Badan kalau anda belum memahami apa itu Laporan Laba Rugi Fiskal, sebab data source SPT PPh Badan ialah Laporan Laba Rugi Fiskal.

Kiranya saya tidak perlu lagi memperlihatkan klarifikasi mengenai apa itu Laporan Laba Rugi. Jika kebetulan ada yang belum tahu, saya encourage anda untuk membaca kembali buku “Pengantar Akuntansi Keuangan” atau “Dasar-dasar Akuntansi Keuangan”.


Mengapa Ada Laporan Rugi Laba Komersial dan Fiskal?

Karena adanya perbedaan ratifikasi atas pendapatan maupun biaya berdasarkan perusahaan (selaku wajib pajak) dengan pihak Ditjen Pajak (selaku fiskus yang mewakili negara). Sederhananya: ada pendapatan maupun biaya yang diakui sebagai pendapatan maupun biaya oleh perusahaan tetapi tidak diakui oleh Ditjend Pajak.


Mengapa berbeda dan apa saja perbedaaanya?

Bagi perusahaan: semua pemasukan ialah pendapatan yang akan menambah keuntungan kena pajak , dan semua pengeluaran ialah beban yang akan mengurangi keuntungan kena pajak. Bagi Ditjend Pajak: tidak semua pemasukan ialah faktor penambah keuntungan kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah keuntungan kena pajak sebab pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran ialah faktor pengurang keuntungan kena pajak sebab ada beberapa jenis pengeluaran yang bergotong-royong bukan merupakan belahan dari kegiatan perusahaan. Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan ini disebut dengan BEDA TETAP.

Perbedaan lainnya ialah perebedaan yang diakibatkan sebab bedanya SAAT PENGAKUAN (waktu pengakuan) baik itu terhadap pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan), juga akhir perbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak memakai metode penyusutan GARIS LURUS (Straight Line Method) sementara perusahaan mungkin memakai metode penyusutan yang lain, yang oleh karenanya menjadikan adanya perbedaan alokasi beban penyusutan. Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut memberi donasi atas perbedaan tersebut. Dalam Akuntansi Perpajakan ini disebut dengan BEDA WAKTU.

Perbedaan-perbedaan tersebut memerlukan penyesuaian-penyesuaian supaya JUMLAH PAJAK PENGHASILAN BADAN TERHUTANG antara yang dihitung oleh perusahaan dengan berdasarkan Ditjend Pajak sanggup sama. Penyesuaian tersebutlah yang dikenal dengan istilah KOREKSI FISKAL.

Ada 2 (dua) macam pembiasaan fiskal, yaitu:

Penyesuaian Fiskal Positif: ialah pembiasaan yang akan menjadikan meningkatnya keuntungan kena pajak yang pada karenanya akan menciptakan PPh Badan terhutangnya juga akan meningkat.

Penyesuaian Fiskal Negatif: ialah pembiasaan yang akan menjadikan menurunnya keuntungan kena pajak.

Berikut ini ialah tabel rincian jenis-jenis pembiasaan tersebut:

 Mengapa ada Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal Laba Rugi Komersial dan Fiskal

Bagaimana Cara Membuat Laporan Laba Rugi Fiskal?

Saya akan coba construct satu kasus:

Buku Besar PT. Royal Bali Cemerlang nampak menyerupai dibawah:


 Mengapa ada Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal Laba Rugi Komersial dan Fiskal
Jika kita susun menjadi Laporan Laba Rugi, kita akan menghasilkan laporan menyerupai dibawah ini:

 Mengapa ada Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal Laba Rugi Komersial dan Fiskal
Apakah Laporan Laba Rugi diatas benar?

Laporan Komersial iya benar, hanya saja “Pajak Penghasilan” nya belum benar.Bukankah seharusnya ada penyesuaian-penyesuaian?.

Okay, kita bandingkan dengan table rincian pembiasaan fiskal kasatmata dan negative di atas. Menurut table, ada beberapa yang harus disesuaikan, yaitu:

Bunga Jasa Giro” telah dikenakan pajak oleh pihak bank, maka ini dimasukkan sebagai “Pendapatan dikenakan Pajak Final”, sehingga ini tidak seharunya dikenakan pajak lagi. Kita jadikan faktor pengurang Laba Kena Pajak.

Pengambilan Oleh Direktur” ini ialah bukan beban perusahaan. Direktur hanya boleh mendapatkan Gaji dan Dividen saja. Maka kita masukkan ke dalam koreksi fiskal kasatmata (faktor penambah keuntungan kena pajak).

Makan Untuk Pegawai” ini ialah bentuk kenikmatan (natura) yang diberikan oleh perusahaan kepada pegawai, ini tidak diakui sebagai beban perusahaan. Catatan : saya pribadi kurang baiklah dengan anggapan ini, sebab proteksi incentive berupa makan, minum atau bentuk kenikmatan lainnya kepada pegawai ialah salah satu perjuangan perusahaan untuk merangsang semangat kerja pegawai, sangat sanggup dihubungkan dengan potensi peningkatan revenue perusahaan. Seharunya tidak alasan untuk menggap ini tidak ada hubungannya dengan acara perusahaan, jelas-jelas ini beban (biaya) yang sanggup di set off dengan revenue. Saya pernah argue dengan pihak kantor pajak wacana hal ini. Lebih detailnya saya akan bahas di artikel lain.

Sumbangan” ini bukan beban perusahaan, tidak sanggup dihubungkan dengan revenue. Sehingga kita masukkan ini ke dalam kelompok koreksi fiskal positif.

Saya tidak menemukan koreksi fiskal negative dalam pola masalah ini.sehingga nanti koreksi fiskal negatifnya akan 0 (nol).

Setelah unsur koreksi fiskal kita masukkan, maka Laporan Laba Rugi akan menjadi menyerupai dibawah ini:
 Mengapa ada Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal Laba Rugi Komersial dan Fiskal


Apakah kali ini sudah benar?

Laporan Fiskal Iya benar. Bagaimana dengan laporan komersialnya?, apakah keuntungan sehabis pajak di atas sanggup kita masukkan ke dalam neraca (Laba Tahun Berjalan)?.

Coba pikirkan baik-baik……………………………………………………………………
………………………………….. yakin?.

NO…. big no!

Bukankah di neraca nanti keuntungan ini akan di off set dengan mutasi rekening-rekening di kelompok asset (aktiva)?. Sudah ada clue?.....belum?

Okay, diakui atau tidak diakui semua koreksi fiskal tersebut (bunga jasa giro, pengambilan direktur, makan untuk pegawai, sumbangan) ialah kuat pribadi terhadap posisi (saldo) kas. Jika semua itu tidak diakui, sementara di sisi lainnya, keuntungan kita paksakan masuk ke neraca, maka sudah niscaya NERACA TIDAK AKAN BALANCE!.

Lalu, bagaimana?

Kita harus kembalikan semua koreksi tersebut.

Dikembalikan?, berarti labanya menjadi salah lagi?.

Maksud saya, semua unsure tadi tetap kita koreksi, sehabis kita peroleh “laba fiskal sehabis pajak”, gres kita kembalikan semua koreksi fiskal tersbut.

Caranya?

Perhatikan Laporan Laba Rugi dibawah ini:



 Mengapa ada Laporan Laba Rugi Komersial dan Laporan Laba Rugi Fiskal Laba Rugi Komersial dan Fiskal
Bahkan kita berhasil memperoleh Laporan Laba Rugi Komersial dan Fiskal dalam satu lembar laporan saja, anda tidak perlu lagi menciptakan laporan keuntungan rugi dalam 2 (versi) :-)

Sekarang Laba sehabis pajaknya sudah sanggup di masukkan ke dalam neraca. Dan niscaya balance. Guaranteed! :-)

Selamat mencoba!

Dalam Break Even Point (BEP) Analysis – Bagian 2 kita sudah ber-experiment mengenai Break Even Point untuk single product and single sales, saya pikir itu sudah menunjukkan basic knowledge yang cukup wacana bagaimana mengaplikasikan analysis tool ini ke dalam real business (read:production) practice. Sekarang di Break Even Point (BEP) Analysis – Bagian 3 kita akan ber-experiment mengenai bagaimana mengaplikasikan BEP analysis untuk “PRODUCT MIXED” atau di Indonesia dikenal dengan “PRODUK BAURAN”, mungkin rekan-rekan di bab marketing lebih suka menyebutnya sebagai “SALES MIXED”. Yet, saya juga akan mencoba mengaplikasikan analisis ini untuk membidik sasaran profit tertentu.
Break Even Point (BEP) Analysis

Sebelum masuk ke pola kasus dan analysis-nya kita harus berbicara mengenai CONTRIBUTION MARGIN terlebih dahulu. Apa itu Contribution Margin? Here we go…..

Contribution Margin (CM)

Secara sederhana “Contribution Margin” ialah jumlah Rupiah (or any currencies) yang tersisa sehabis “Variable Cost” terbayar. Contribution Margin ini nantinya akan dipergunakan untuk menutup “Fixed Cost”. Jika Contribution Margin sama dengan besarnya Fixed Cost, maka kondisi Break Even sudah tercapai, dan untuk setiap selisih lebihnya ialah “Profit”.

Rekan-rekan di Akuntansi Keuangan yang biasa bergelut dengan Profit & Lost Statement, mungkin lebih mengenal ini sebagai Laba Kotor (Gross Profit), yang di sanggup dengan cara mengurangkan “Revenue” dengan “Cost of Good Sold”, yang kalau dikurangkan lagi dengan Operating Expenses maka akan memperoleh Earning Before Interest & Tax (EBIT). Okay that is enough, supaya tidak ngelantur ke akuntansi keuangan, kita kembali ke topic utama…..

Dari definisi diatas, maka equation (persamaan?) untuk Contribution Margin adalah:

Contribution Margin (CM) = Sales – Variable Cost

Jika “Revenue” sepenuhnya berasal dari “Sales” (R=S) maka persamaan Contribution Margin di atas akan menjadi:

CM = Revenue –Variable Cost
Masih ingat bagaimana equation untuk Break Even Point?

Revenue – Variable Cost – Fixed Cost = 0

Jika Contribution Margin kita masukkan, maka kita akan memperoleh equation Break Even Point menyerupai ini:

Contribution Margin – Fixed Cost = 0


Untuk bisa menganalisa volume (Quantity) maka kita perlu mengetahui UNIT CONTRIBUTION MARGIN.

Contribution Margin = [Unit Price x Quantity] – Variable Cost

Unit Contribution Margin = Unit Price – Unit Variable Cost


Penerapan Break Even Point Untuk Product Mixed

Masih ingat dengan kasusnya Pak Lie (PT. Royal Bali Apparel) di BEP Analysis – Bagian 2?.

Berproduksi (kemudian berjualan) satu jenis product saja? Seems to be not a good idea (a-b-g biasa bilang “Cape deeehh” :-)). Tindakan menyerupai itu sama saja dengan mempersempit jalan, menutup peluang, atau yang sejenisnya. Sangat tidak dianjurkan oleh andal manapun. Di masa high spinning tight competition market menyerupai ketika ini. Se-revolution apapun marketing strategy yang diterapkan, kalau yang ditawarkan hanya satu macam product dan satu type saja saja, rasanya akhirnya tetap tidak sebagus kalau product range yang ditawarkan lebih beraneka ragam.

Khususnya untuk perusahaan yang gres mencoba (read: merintis) perjuangan manufactur maupun dagang, devoting all energy and effort untuk satu macam (1 type) product saja bukanlah tindakan yang smart (jika tidak mau disebut bodoh). Perlu “Product Diversification”. Perlu men-develop banyak product untuk mengetahui product unggulan yang paling cocok untuk dikembangkan.

Board member PT. Royal Bali Apparel sangat menyadari hal tersebut, untuk itu dibulan-bulan berikutnya PT. Royal Bali Apparel berencana untuk memproduksi 2 macam product lagi disamping blouse yang memang sudah di produksi. Adapaun 2 macam product lain yang akan dikembangkan ialah “Skirt” & “Trouser, sehingga semuanya menjadi 3 products, yaitu:

[-]. Blouse (baju atasan wanita menggunakan lengan & krah?)
[-]. Skirt (rok bawahan?)
[-]. Trouser (celana panjang?)

Untuk maksud tersebut PT. Royal Bali Apparel telah menambah mesin dan peralatan produksi termasuk merekrut staff yang lebih banyak lagi, sehingga budget yang dialokasikan menjadi sebagai berikut:

experiment mengenai Break Even Point untuk single product and single sales Break Even Point  3 – Sales Mixed
Adapun unit price yang akan dipasang pada masing-masing product tersebut ialah sebagai berikut:
experiment mengenai Break Even Point untuk single product and single sales Break Even Point  3 – Sales Mixed
Dari production plan diperoleh data sebagai berikut:

experiment mengenai Break Even Point untuk single product and single sales Break Even Point  3 – Sales Mixed
Selanjutnya data ini kita perhitungkan sebagai “Variable Cost”, sedangkan total cost untuk tiap jenis productnya ialah “Unit Variable Cost”.


Dari data di atas, persoalannya adalah:


“Berapa banyak (volume) product yang harus diproduksi dan dijual oleh perusahaan, dan berapa jumlah untuk masing-masing jenis produk tersebut harus terjual biar perusahaan mencapai break even dalam satu bulan?”
Masih ingat langkah-langkah yang perlu kita lakukan untuk menganalisa single product?, untuk MIXED PRODUCT berlaku langkah yang sama, hanya saja perlu mendeterminasi Unit Contribution Margin (untuk penyederhanaan analisa) dan melaksanakan pembebanan masing-masing Unit Contribution Margin ke dalam product masing-masing. Detail langkah-langkahnya ialah sebagai berikut:


Step-1: Determinasi Fixed Cost

Dari data di atas kita bisa hitung tentukan besarnya “Fixed Cost”. Dengan mengalokasikan semua harga perolehan aktiva menjadi beban penyusutan per bulan, serta membebankan monthly expense-nya. Maka kita akan memperoleh Fixed Cost menyerupai dibawah ini:
experiment mengenai Break Even Point untuk single product and single sales Break Even Point  3 – Sales Mixed

Kita peroleh besarnya “Fixed Cost” yang dibebankan sebulan ialah Rp 94,020,833,-


Step-2: Determinasi Variable Cost & Unit Variable Cost
Dari table di atas kita peroleh besarnya "Variable Cost" Rp 168,250,- dengan masing-masing “Unit Variable Cost” sebagai berikut:

Blouse = Rp 45,750,-
Skirt = Rp 47,500 ,-
Trouser = Rp 75,000,-


Step-3: Determinasi Contribution Margin & Unit Contribution Margin

Masih ingat equation untuk Contribution Margin?

Contribution Margin (CM) = Sales – Variable Cost

Total Unit Sales” untuk seluruh product sudah kita ketahui (lihat tabel unit price) sebesar Rp 325,000,- dan “Total Unit Variable Cost” sudah kita peroleh di step-2 di atas sebesar Rp 168,250,- maka “Contribution Margin” sanggup kita hitung dengan menggunakan equation (persamaan) di atas:

Contribution Margin (CM) = Sales – Variable Cost
Contribution Margin (CM) = Rp 325,000 – Rp 168,250
Contribution Margin (CM) = Rp 156,000

Sedangkan Unit Contribution Margin sanggup kita hitung dengan mem-pro-rate-kan Contribution Margin diatas dengan perbandingan unit price yang di set di awal:

Perbandingan Unit Price:

[Blouse] ; [Skirt] ; [Trouser] = [Sales Mixed]
[80,000] ; [95,000] ; [150,000] = [325,000]

Selanjutnya kita hitung rate-nya:
Blouse = [80,000/325,000] x 100% = 25%
Skirt = [95,000/325,000] x 100% = 29%
Trouser = [150,000/325,000] x 100% = 46%
---------------------------------------------- (+)
Total = 100%

Dari rate di atas, maka Contribution Margin sanggup kita pro-rate-kan ke masing-masing jenis product menjadi “Unit Contribution Margin” sebagai berikut:

Unit CM Blouse = 25% x Rp 156,000 = Rp 34,250,-
Unit CM Skirt = 29% x Rp 156,000 = Rp 47,500,-
Unit CM Trouser = 46% x Rp 156,000 = Rp 75,000,-
---------------------------------------------------- (+)
Total Unit CM = Rp 156,000,-


Step-4: Pembebanaan Unit Contribution Margin (Weighting Unit Contribution Margin).

Beban Unit Contribution Margin sanggup dihitung dengan cara mengalikan masing-masing unit contribution margin dengan rate ia pada langkah ke-3 di atas:

Blouse = Rp 34,250 x 25% = Rp 8,431,-
Skirt = Rp 47,500 x 29% = Rp 13,885,-
Trouser = Rp 75,000 x 46% = Rp 34,615,-
------------------------------------------------------ (+)
Beban Unit Contribution Margin = Rp 56,931,-


Step-5: Menentukan Volume Produksi & Sales

Ini ialah langkah terakhir untuk menjawab masalah “Berapa banyaknya product yang harus dijual dalam satu bulan biar perusahaan mencapai Break Even Point” dan "berapa banyaknya untuk masing-masing jenis product?

Sampai sejauh ini, kita gres berbicara mengenai “Unit Sales/Unit Price” dan “Unit Variable Cost” saja. Kita sudah tahu bahwa untuk mencapai break even point perusahaan harus bisa mengahailkan (to generate revenue) untuk menutup Variable Cost dan Fixed Cost. Lalu kapan “Fixed Cost” dicover?.

Dilangkah inilah Fixed Cost ambil bagian. Volume produksi & sales dihitung dengan cara: membagi “Fixed Cost” dengan “Beban Unit Contribution Margin
Dari step-1 kita sudah peroleh besarnya fixed cost Rp 94,020,833,- dan Beban Unit Contribution Margin Rp 56,931,- maka besarnya quantity yang harus diproduksi sanggup kita hitung:

Quantity = Fixed Cost / Weighted Unit CM

Quantity = Rp 94,020,833,- / Rp 56,931
Quantity = 1651 pcs

Sedangkan volume product yang harus diproduksi dan terjual untuk masing-masing productnya kita hitung dengan: mengalikan “Quantity di atas dengan “rate” masing-masing product (rate pada step-3 di atas):

Blouse = 1651 x 25% = 407 pcs
Skirt = 1651 x 29% = 483 pcs
Trouser = 1651 x 46% = 762 pcs
---------------------------------- (+)
Total = 1651 pcs

Mungkin anda ingin bertanya: “Apa iya? dari mana bisa tahu perusahaan akan mencapai break even kalau perusahaan sudah menjual product 1651 pcs dengan proporsi menyerupai di atas?”

Okay, mari kita TEST:

Sebelum kita test, kita alokasikan dahulu “Fixed Cost” ke masing-masing product dengan rate yang sebelum-sebelumnya:

Blouse = 25% x Rp 94,020,833 = Rp 23,143,590
Skirt = 29% x Rp 94,020,833 = Rp 27,483,013
Trouser = 46% x Rp 94,020,833 = Rp 43,394,231
--------------------------------------------------- (+)
Total Fixed Cost = Rp 94,020,833,-

Persamaan Break Even Point:

Revenue (Sales) – Variable Cost – Fixed Cost = 0


[1]. Blouse :
Sales = Rp 80,000 x 407 pcs = Rp 32,521,731,-
Variable Cost = Rp 45,750 x 407 pcs = Rp 18,598,365,-
---------------------------------------------------------- (-)
Contribution Margin Blouse = Rp 13,923,366
Fixed Cost Allocated = Rp 23,143,590
---------------------------------------------------------- (-)
Profit/Lost = Rp (9,220,224)
=========================================

Kenapa minus (loss)?, bukannya seharusnya 0 (nol) atau impas?

Sabar… kita lanjutkan ke item lainnya….

[2]. Skirt :
Sales = Rp 95,000 x 483 pcs = Rp 45,860,723
Variable Cost = Rp 47,500 x 483 pcs = Rp 22,930,361
---------------------------------------------------------- (-)
Contribution Margin Skirt = Rp 22,930,361
Fixed Cost Allocated = Rp 27,483,013
---------------------------------------------------------- (-)
Profit/Lost = Rp (4,552,651)

Nah, ini juga minus (loss)?

[3]. Trouser:
Sales = Rp 150,000 x 762 pcs = Rp 114,334,212
Variable Cost = Rp 75,000 x 762 pcs = Rp 57,167,106
---------------------------------------------------------- (-)
Contribution Margin Trouser = Rp 57,167,106
Fixed Cost Allocated = Rp 43,394,231
---------------------------------------------------------- (-)
Profit/Lost = Rp 13,772,875
=========================================

Karena kita berbicara “PRODUCT MIXED” atau "SALES MIXED" dalam rangka mencapai “TITIK IMPAS (Break Even Point)” maka yang kita lihat ialah Profit & Lost untuk keseluruhan product. Sekarang coba kita jumlahkan “Profit & Lost” dari masing-masing product:
Total Profit & Lost : Blouse + Skirt + Trouser

Total Profit & Lost : [-9,220,224]+[- 4,552,651] + [13,772,875]
------------------------------------------------------------------------
Total Profit & Lost : 0 (nihil)
============================================ ======

Terbukti ! : Profit & Lost –nya nihil, artinya kondisi break even point tercapai!

Jika semua step tadi di-summerized ke dalam satu worksheet sederhana, akan menjadi menyerupai dibawah ini:
experiment mengenai Break Even Point untuk single product and single sales Break Even Point  3 – Sales Mixed

Selanjutnya…. Bagaimana caranya membidik sasaran profit tertentu?
Sayang sekali, space halaman tidak mengijinkan lagi, terapksa harus saya break hingga disini, membidik sasaran profit tertentu akan kita bahas di Break Even Point Analysis – Bagian 4!.


Prinsip Dasar Tatakelola Perusahaan Sesuai GCG

            Dalam prakteknya prinsip-prinsip tatakelola perusahaan yang baik ini perlu dibangun dan dikembangkan secara bertahap. Perusahaan harus membangun sistem dan ajaran tata kelola perusahaan yang akan dikembangkannya. Demikian juga dengan para karyawan, mereka perlu memahami dan diberikan bekal pengetahuan wacana prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yang akan dijalankan perusahaan.

            Untuk memudahkan menunjukkan gambaran bagaimana prinsip-prinsip GCG tersebut akan dibangun, dipahami dan dilaksanakan, berikut ini diberikan beberapa pola praktis yang perlu dikembangkan lebih lanjut di masing-masing perusahaan. Acuan ini diuraikan mengikuti urutan butir-butir prinsip GCG yang telah dibahas di atas.

Accountability
1. Pimpinan, manajer dan karyawan perusahaan telah mengetahui visi, misi, tujuan dan target-target operasional di perusahaan.
2. Pimpinan. Manajer, karyawan perusahaan telah mengetahui dan memahami peran, peran dan tanggung jawabnya masing-masing.
3. Uraian peran di setiap unit usaha atau unit organisasi telah ditetapkan dengan benar dan sesuai dengan visi, misi dan tujuan perusahaan
4. Proses dalam pengambilan keputusaan telah mengacu dan mentaati sistem dan prosedur yang telah dibangun.
5. Proses cek dan balance telah dilakukan secara menyeluruh di setiap unit organisasi.
6. Sistem penilaian kinerja operasional, organisasi dan kinerja perseorangan telah sepakat ditetapkan, diterapkan dan dievaluasi dengan baik
7. Pertanggungan jawab kinerja pimpinan (BOC, BOD) perusahaan secara rutin seyogyanya dapat dibangun dan dilaporkan.
8. Hasil pekerjaan telah didokumentasikan, dipelihara dan dijaga dengan baik.

Responsibility:
1. Pimpinan, manajer dan karyawan perusahaan telah mengetahui dan memahami seluruh peraturan perusahaan yang berlaku.
2. Pimpinan. Manajer dan karyawan perusahaan telah menerapkan sistem tata nilai dan budaya perusahaan yang dianut perusahaan.
3. Proses dalam pengambilan keputusan di perusahaan senantiasa mengacu dan mentaati sistem dan prosedur yang telah dibangun.
4.  Manajer dan karyawan perusahaan telah bekerja sesuai dengan standar operasional, prosedur maupun ketentuan yang berlaku di perusahaan.
5.  Unit kerja organisasi perusahaan telah berupaya menghindari pengelolaan        perusahaan yang berpotensi merugikan perusahaan dan stakeholder.
6. Proses pendelegasian kewenangan telah dijalankan dengan cukup dan baik demi terselenggaranya pekerjaan.
7. Manajer dan unit organisasi telah melaksanakan pertanggungan jawab hasil kerja secara teratur.

Transparancy dan Disclosure:
1. Bahwa banyak sekali pemegang kepentingan (manajemen, karyawan, pelanggan) dapat melihat dan memahami proses dalam pengambilan keputusan manajerial di perusahaan.
2.  Pemegang saham berhak memperoleh gosip keuangan perusahaan yang relevan secara bersiklus dan teratur.
3. Proses pengumpulan dan pelaporan gosip operasional perusahaan telah dilakukan oleh unit organisasi dan karyawan secara terbuka dan obyektif, dengan tetapa menjaga kerahasiaan nasabah/pelanggan
4. Pimpinan, manajer dan karyawan perusahaan telah melaksanakan keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan, sistem pengawasan dan standardisasi yang dilakukan.
5. Informasi wacana prosedur dan kebijakan di unit kerja maupun unit organisasi telah dipublikasikan secara tertulis dan dapat diakses oleh semua pihak di dalam dan oleh unit-unit terkait di luar perusahaan.
6. Eksternal auditor, komite audit, internal auditor memiliki kanal atas gosip dengan syarat kerahasiaan tetap dijaga.
7. Menyampaikan laporan keuangan audited dan kinerja usaha ke publik secara rutin, maupun laporan corporate governance pada instansi yang berwenang.

Fairness:
1.  Pengelola dan karyawan perusahaan akan memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder secara wajar menurut ketentuan yang berlaku umum.
2. Perlakuan adil kepada seluruh pihak pemegang kepentingan (nasabah, pelanggan, pemilik) dalam menunjukkan pelayanan dan informasi.
3. Manajer, pimpinan unit organisasi dan karyawan dapat membedakan kepentingan perusahaan dengan kepentingan organisasi.
4.  Perlakuan, pengembangan timwork, korelasi kerja dan pembinaan pada para karyawan akan dilakukan dengan memperhatikan hak dan kewajibannya secara adil dan wajar.

Independency:
1. Keputusan pimpinan perusahaan hendaknya lepas dari kepentingan banyak sekali pihak yang merugikan perusahaan.
2. Proses pengambilan keputusan di perusahaan telah dilakukan secara obyektif untuk kepentingan perusahaan

Bagi rekan-rekan yang somehow mendapatkan e-mail dari blogger setelah meminta FREE SPREADSHEET di ACCOUNTING, FINANCE & TAXATION (i.e.: Penghitung PPh Pasal 21, Spreadsheet Bank Rekonsiliasi, Laba/Rugi & Neraca) yang isinya ihwal komentar pembaca lain, mungkin bertanya-tanya; "kenapa setiap ada request dari pembaca lain aku selalu mendapatkan e-mail ihwal komentar tersebut?".

Selama ini aku belum pernah jelaskan, sekarang aku jelaskan (jaga-jaga kalau ada yang belum tahu), terutama untuk rekan-rekan yang request free spreasheet, mungkin akan sangat sering mendapatkan email update komentar. Tentunya itu membuat tidak nyaman.

Kenapa itu mampu terjadi?

Karena waktu tulis komentar atau request, di form request ada feature “E-mail Follow Up” ibarat terlihat di gambar dibawah ini:

 yang isinya ihwal komentar pembaca lain MEMINTA FREE SPREADSHEET ACCOUNTING
Jika kotak kecil yang aku beri bundar warna merah di atas di isi tanda rumput ibarat di atas, artinya anda meminta supaya setiap ada komentar di halaman tersebut supaya diberitahukan ke email anda.

Sebenarnya feature ini konkret sifatnya, samasekali tidak ada maksud untuk mengganggu kenyamanan anda (pemberi komentar), malahan sangat membantu apa bila anda sedang menunggu response atas komentar yang anda tulis. Sehingga anda tidak perlu bolak-balik memeriksa untuk tahu apakah komentar (pertanyaan/request) nya sudah dijawab atau belum.

Jika tidak ingin dikirimi follow-up ke email, maka kotak kecil tersebut jangan diberi tanda rumput.

Bagiamana bila sudah terlanjur pernah kasi tanda rumput dan sekarang terus menerus mendapat e-mail komentar? Dan anda ingin menghentikannya?.

Caranya mudah: anda tulis komentar lagi di halaman yang sama, masukkan lagi e-mail yang anda pakai dahulu, lalu hilangkan tanda rumputnya (pastikan kotak tersebut tanpa tanda rumput). Jika sudah tamat click tombol “submit comments”. Selesai. Mudah-mudahan feature tersebut mampu dimanfaatkan dengan baik agar.


Bagi rekan-rekan yang belum kebagian FREE SPREADSHEET ACCOUNTING & PAJAK, silahkan tulis komentar dan jangan lupa cantumkan e-mail address-nya, aku masih layani. Oh iya, masih banyak free spreadsheet accounting dan pajak lain yang akan aku bagikan, bila mampu yang lebih bagus. Sering-sering check ke sini.

Menghitung dan mencatat (Perlakuan) PPh Pasal 25 dan 29 kelihatannya sangat sederhana, sepele dan mudah. Untuk perusahaan bersekala kecil dan menengah (SME = Small & Medium Enterprise) nilai PPh Pasal 25 yang dibayarkan biasanya relative kecil, mungkin antara Rp 150,000 hingga dengan Rp 1,500,000. Bisa dibilang tidak significant samasekali. Tetapi ketika anda selesai membayar PPh Pasal 29 (di bulan Maret) dan selesai menjurnal atas pembayaran tersebut, mungkin anda akan kaget dan galau demi mendapat neraca anda tidak balance lagi, padahal waktu tutup buku 31 Desember Neraca sudah balance. Setelah pusing tujuh keliling, dicari-cari ternyata “biang keroknya” (masalah utamanya) yaitu PPh Pasal 25. Bagaimana menjurnal PPh Pasal 25 yang benar?, Bagaimana menjurnal PPh Badan ketika penutupan buku di selesai tahun? Bagaimana menjurnal PPh Pasal 29 yang dibayarkan bulan Maret supaya neraca tetap balance?. Bagaimana alur dan perlakuannya? Kita akan bahas di artikel ini sebentar lagi. Saya akan sampaikan trick yang saya pakai pribadi, mungkin dapat anda pakai.

You may wanna say…..”no more talks, just show me the h*ll! Please :P”.

Okay-okay… saya ngerti.. kita pribadi saja….


PPh Pasal 25 (The Basic)

PPh Pasal 25 yaitu UANG MUKA PPh BADAN, yang besarnya dihitung dengan cara membagi PPh Badan Tahun kemudian dengan jumlah bulan tahun takwim (12).

Misal:
PPh Badan Terhutang Tahun 2006 anda yaitu Rp 3,000,000, maka PPh Pasal 25 yang harus anda setorkan setiap bulannya di tahun 2007 adalah:

Rp 3,000,000/12 = Rp 250,000,-

Bapak-bapak kita di Kantor Pajak termasuk bapak-bapak konsultan pajak dan para pegiat pajak lainnya menyebut istilah ini dengan LUNSUM (saya cari-cari di wikipedia tidak saya temukan kata lunsum, lansum, lansam apalagi, entah bagaimana tulisannya yang benar, tapi saya rasa yang benar tulisannya “Lun-Sum” mohon dikoreksi jikalau salah).

PPh Pasal 25 dibayarkan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.

Misal:
PPh Pasal 25 bulan January dibayarkan paling lambat tanggal 10 February.


Jurnal PPh Pasal 25

Ada yang belum tahu bagaimana caranya menjurnal PPh Pasal 25? Well in case kalau ada yang belum tahu, basically menyerupai dibawah ini:

[Debit]. Uang Muka PPh = Rp 250,000
[Credit]. Petty Cash = Rp 250,000

Mudah bukan?.

Kapan PPh Pasal 25 di jurnal? Tentunya ketika dibayarkan. Misal: PPh Pasal 25 bulan January dibayar tanggal 09 February (kebiasaan orang accounting “menagih hak/piutang secepat2nya, tetapi membayarkan kewajiban/hutang selambat-lambatnya” untuk mewakili prinsip kehati-hatian :-P) maka dicatat pada tanggal 09 February juga.

Tahu dari mana soal lun-sum dan Jurnal di atas? Itu Undang-undang Pajak nomor berapa tahun berapa? Trus jurnal-nya itu dinyatakan dalam PSAK nomor berapa?

Mengenai undang-undang atau Surat Edaran DJP atau Keputusan Menteri Keuangan, silahkan baca di situs resminya Ditjend Pajak saja (saya tidak mau bersaing dengan situsnya Ditjend Pajak atau blognya bapak-bapak dari DJP) :P. Apalagi meng-copy paste Undang-undangnya ke blog saya, wah…. tidak terimakasih. Lagipula saya lebih tertarik membicarakan tehnik dan practical-nya, serta logika-logika-nya daripada membahas isi undang-undang.

Mengenai PSAK, saya juga tidak hafal, kalau anda perlu silahkan beli buku PSAK (harganya tidak mahal, saya beli hanya Rp 175,000), biarlah itu menjadi belahan dari blognya bapak-bapak dosen saja.

Saya sudah melaksanakan dengan benar? Mengapa neraca saya menjadi tidak balance sehabis membayar PPh Pasal 29? Di mana letak salahnya?

Sudah benar? oh ya? Kalau jurnal dan alurnya sudah benar mustahil tidak balance bukan?, okay mari kita cari sama-sama dimana letak masalahnya…..


Alur dan Jurnal PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29

Contoh Kasus:

PPh Badan PT. Royal Bali Cemerlang yaitu sebagai berikut :

Tahun Takwim 2005 = Rp 3,000,000,- (Lun-Sum 2006 = 3,000,000/12=250,000)
Tahun Takwim 2006 = Rp 3,600,000,- (Lun-Sum 2007 = 3,000,000/12=300,000)

Sehingga di tahun 2007, setiap tanggal 09 bookkeeper PT. Royal Bali Cemerlang menjurnal pengeluaran tersebut menyerupai dibawah ini:

Jurnal PPh Pasal 25 masa January dan February 2007:

[Debit]. Uang Muka PPh = Rp 250,000
[Credit]. Kas (Petty Cash) = Rp 250,000

Jurnal PPh Pasal 25 masa March s/d. December 2007:

[Debit]. Uang Muka PPh = Rp 300,000
[Credit]. Kas (Petty Cash) = Rp 300,000

Mengapa berbeda antara January February dengan March December?

Karena PPh Pasal 29 Tahun 2006 gres dibayarkan tanggal 20 March 2007, sehingga bulan January dan February 2007 masih menggunakan lun-sum Tahun 2006 yang dihitung menurut PPh Badan Tahun 2005. Cukup terang kan? (jika belum jelas, silahkan ulangi baca pelan-pelan saya yakin anda mengerti).

Jika diringkas Daftar PPh Pasal 25 PT. Royal Bali Cemerlang Tahun 2007 menjadi sebagai berikut:
 Untuk perusahaan bersekala kecil dan menengah  Perlakuan PPh Pasal 25 dan 29
Sehingga di selesai tahun, BUKU BESAR: “Uang Muka PPh” akan menyerupai dibawah ini:



 Untuk perusahaan bersekala kecil dan menengah  Perlakuan PPh Pasal 25 dan 29


Sedangkan BUKU BESAR: “Petty Cash” menyerupai dibawah ini:



 Untuk perusahaan bersekala kecil dan menengah  Perlakuan PPh Pasal 25 dan 29


Nantinya, pada penutupan buku 31 Desember 2007, “Uang Muka (PPh Pasal 25)” akan masuk ke Neraca di sisi “Aktiva” pada kelompok “Aktiva Lancar” yang akan menjadi penyeimbang “Petty Cash” yang berkurang sejumlah yang sama yaitu Rp 3,500,000.

Catatan: (Penting!)

Jika anda perhatikan kedua buku besar diatas, pencatatan dimulai dari tanggal 09 February 2007. dan di bulan Desember 2007 ada pembayaran PPh Pasal 25 sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pada tanggal 09 Desember dan 30 Desember 2007.

Mengapa?

Di sini lah kuncinya! Tetapi pertanyaan mengapanya akan saya jawab nanti secara khusus ;-)

Pada tanggal 31 December 2007, Laporan Laba/Rugi PT. Royal Bali cemerlang untuk periode 01 Januari s/d. 31 December 2007, membukukan laba Fiskal sebesar Rp 45,000,000 sehingga PPh Badannya menjadi: 10% x Rp 45,000,000 = Rp 4,500,000.

Jurnalnya:

[Debit]. PPh Badan = Rp 4,500,000
[Credit]. Utang PPh Badan = Rp 4,500,000

Catatan: PPh Badan (yang disisi debit) akan masuk ke Laporan Laba/Rugi dan akan menjadi faktor pengurang Laba, dan Utang PPh Badan yang di sisi credit akan masuk ke neraca di sisi “Pasiva” pada kelompok “Liabilities (Kewajiban)”.

Pada tanggal 19 Maret 2008, PT. Royal Bali Cemerlang menyetorkan PPh Pasal 29 ke kas negara melalui bank persepsi sebesar Rp 1,000,000 saja yang dihitung dengan cara:

PPh Pasal 29 = PPh Badan – Uang Muka PPh (pasal 25)
PPh Pasal 29 = Rp 4,500,000 – Rp 3,500,000 = Rp 1,000,000

Dan atas pembayaran tersebut dicatat:

[Debit]. Utang PPh Badan = Rp 4,500,000
[Credit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 3,500,000,-
[Credit]. Cash = Rp 1,000,000

Jurnal di atas akan:
(-). Menghapus Utang PPh Badan (yang kelihatan pada Neraca 31 Desember 2007).
(-). Menghapus Uang Muka PPh Badan (Pasal 25)
(-). Mengurangi Kas perusahaan pada bulan Maret 2008 sebesar Rp 1,000,000

Selanjutnya, Lun-sum (PPh Pasal 25) PT. Royal Bali Cemerlang untuk tahun 2008 yaitu sebesar: Rp 4,500,000/12 = Rp 375,000,- berlaku mulai masa bulan Maret yang akan dibayarkan bulan April 2008.


Menjawab pertanyaanmengapa pencatatan Uang Muka (PPh Pasal 25) dimulai pada tanggal 09 february 2007, dan Pada Bulan Desember dilakukan pembayaran uang muka (PPh Pasal 25) dilakukan duakali?

Kebanyakan dari kita (termasuk saya dahulu di awal-awal kerja saya) selalu mengikuti arus, yaitu membayarkan pajak menjelang selesai batas waktu (tanggal 09 bulan berikutnya). Misalnya: untuk Uang Muka Pasal 25 (Lun-Sum) bulan January dibayarkan tanggal 09 February dan seterusnya.

Sebenarnya itu tidak masalah, hanya saja menjadi problem ketika itu dilakukan di bulan Desember. Mengapa?

Karena 31 Desember yaitu penutupan buku, jikalau PPh Pasal 25 untuk bulan December 2007 gres kita bayarkan tanggal 09 January 2008, maka Total Uang Muka PPh Pasal 25 yang kita bayarkan untuk tahun 2007 hanya sebanyak 11 (sebelas) kali, sehingga kas yang keluar hanya sebanyak Rp 3,200,000 dengan rincian:

09 February + 09 March 2007 = Rp 250,000 x 2 = Rp 500,000
09 April 09 Desember 2007 = Rp 300,000 x 9 = Rp 2,700,000
------------------------------------------------------------------
Total = Rp 3,200,000
==============================================

Sehingga di penutupan buku di neraca akan muncul:

Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 3,200,000,- dan di rekening kas akan berkurang sebesar Rp 3,200,000 juga. Okay, Neraca Komersial sudah dalam kondisi balance, sampai...................

Pada tanggal 19 March 2008 (sesuai dengan referensi kasus) pada ketika membayarkan PPh Badan sebesar Rp 1,000,000 dijurnal:

[Debit]. PPh Badan Terhutang = Rp 4,500,000
[Credit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 3,500,000
[Credit]. Cash = Rp 1,000,000,-

Dengan jurnal di atas, terang neraca tidak akan balance, Uang Muka PPh di neraca 31 Desember 2007 yang hanya Rp 3,200,000 anda hapuskan dengan jurnal sebesar Rp 3,500,000. terang akan menyisakan saldo minus sebesar Rp 300,000,-

Bagaimana jikalau pada ketika pembayaran PPh Pasal 29, Uang Muka PPh (Pasal 25) dicatat di sisi credit sebesar Rp 3,200,000 saja?

Boleh saja, tetapi resiko-nya anda harus membayar (mengeluarkan cash) sebesar Rp 1,300,000,- sebab Utang PPh Badannya Rp 4,500,000. Apakah anda mau membayar lebih sementara bukti SSP anda menunjukkan bahwa anda telah membayar PPh Pasal 25 secara penuh dari January s/d. December?.

Jikapun anda (perusahaan) rela membayar lebih, saya sarankan: jangan lakukan itu, sebab jikalau anda lakukan itu, pada catatan di kantor pajak nantinya anda akan kelihatan lebih bayar (anda tahu resikonya lebih bayar bukan?), Lunsump Desember akan tetap menjadi pengurang PPh Pasal 29 meskipun anda gres bayarkan di bulan January, (anda tahu resikonya lebih bayar bukan?) category periksa!.


Lalu bagaimana caranya supaya tidak terjadi menyerupai itu?

Lakukan menyerupai apa yang saya lakukan: Bayar Lun-Sump (PPh Pasal 25) bulan December anda pada bulan December juga (paling lambat 30 December), jangan hingga jatuh ke bulan (tahun) berikutnya. Dan jangan lupa Lun-sump Desember sudah anda bayar di bulan Desember, sehingga di bulan January anda tidak perlu membayar PPh Pasal 25 lagi, SSP PPh Pasal 25 untuk Desember yang anda setorkan tanggal 30 Desember setorkan ke kantor pajak SSP-nya pada bulan January (antara tanggal 01 s/d. 09), sehingga di pembukuan anda transaksi tercatat tanggal 30 Desember, tetapi di kantor pajak anda tetap kelihatan membayar di bulan January.

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.