Perusahaan dalam kerangka Sosio-spiritualitas
Dalam kerangka spiritualitas, insan merupakan khalifah atau pemegang amanah di muka bumi yang memiliki tanggung jawab. Keberadaan perusahaan sebagai adegan dari komunitas sosial di muka bumi juga tak lepas dari kewajiban mengemban amanah. Baik memelihara kekerabatan internal perusahaan, antara perusahaan dan lingkungan sosialnya, maupun perusahaan dengan Tuhan yg terefleksikan dalam ketaatan terhadap syariat-Nya.
Islam yaitu agama sekaligus sebagai sebuah mabda’ (ideologi) yang memiliki aliran yang paripurna. Islam tidak hanya mengatur ranah ritual, tetapi juga bisa menembus ruang-ruang publik termasuk sistem sosial dan ekonomi. Itulah sebabnya mengapa Islam tetap layak, masih relevan, dan harus masuk ke wilayah publik. Maka, aspek kekerabatan Ilahiah yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam hal ini antara lain:
· Menjual produk dan jasa yang halal, ibarat tidak menjual minuman keras dan jasa yang mengandung riba atau bunga, penipuan, judi, dll
· Melaksanakan muamalah secara syar’i
· Memenuhi hak pihak lain terhadap perusahaan, ibarat tidak bertanggung jawab secara “terbatas” terhadap kreditor, pemenuhan hak wajar pegawai, kewajiban menaati peraturan ulil amri (pemerintah), dan lainnya
· Memenuhi hak lingkungan dan sosial. “Dan janganlahkamumembuatkerusakan di mukabumi, sesudah (Allah) memperbaikinyadanberdoalahkepada-Nya” (QS Al A’raaf :56). “Tidakberimankepadaku, tidakberimankepadaku, tidakberimankepadaku, orang yang padamalamharitidurdalamkeadaankenyangsementaratetangganyakelaparandandiamengetahuihaltersebut.” (HR Al Bazzar).
· Membangun dan meningkatkan kompetensi, contoh sikap,dan budaya yang amanah terhadap aspek individu seluruh komponen dalam perusahaan dalam kerangka pengembangan SDM
· Tidak menunjukkan edukasi yang tercela, terutama perusahaan yang berorientasi pada penyiaran publik atau media
· Tidak menghalalkan segala cara dalam melaksanakan acara pemasaran dan pelayanan pelanggan, ibarat mengumbar aurat dan pembohongan kemanfaatan produk, dll
Namun, tentu aspek ini akan secara tepat berjalan jikalau didukung oleh undang-undang atau peraturan pemerintah yang tegas mengatur dan membatasi segala aspek yang bertentangan dengan syariah. Karena efek aturan yang terformalisasi akan menjadi sebuah pengondisian kepada masyarakat, khususnya perusahaan dalam menjalankan acara operasionalnya, tentu dibarengi dengan inisiasi dan kesadaran dari perusahaan sendiri dalam menaati setiap aspek yang diwajibkan sebagai pengemban amanah di muka bumi (khalifah).
Penerapan dan konsistensi terhadap aspek spiritualitas ini bahkan akan secara simultan menunjukkan ruang pertanggungjawaban yang memadai bagi perusahaan untuk mencapai tujuan utamanya, yakni keuntungan yang berkah. Perspektif Khalifatullah fil Ardh yang dikembangkan oleh Triyuwono (2006) juga menunjukkan analogi sebagai generalised other dalam arti bahwa perspektif tersebut memiliki standar tunggal dan universal, ini berarti bahwa setiap “diri” insan (yaitu, mereka yang mengenal nilai-nilai Ilahi) secara sadar akan mendapatkan perspektif tersebut sebagai satu-satunya perspektif yang dapat melintas batas-batas dimensi ruang dan waktu.
Post a Comment
Post a Comment