Apa itu PPh Pasal 23 ? Siapa pemotong dan akseptor penghasilan yang dipotong?, Apa saja obyek pajaknya? Bagaimana pola perhitungannya? Bagaimana prosedur pemotongannya? Bagaimana pencatatannya (perlakuan akuntansinya)? Dan yang tak kalah pentingnya; bagaimana kekerabatan PPh PASAL 23 dengan PPh PASAL 25 dan PPh PASAL 29? Hmm… abviously, it is not merely about tax law of the articles (PPh Pasal 23), but it’s rather about “How To’s”.
PPH Pasal 23 – FAQ
[Q]. Apa itu PPh Pasal 23?
[A]. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yaitu pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
[Q]. Siapa yang wajib bertindak selaku pemotong PPh Pasal 23?
[A]. Pemotong PPh Pasal 23: tubuh pemerintah,Wajib Pajak tubuh dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, Wajib Pajak Orang langsung dalam negeri tertentu yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
[Q]. Siapa akseptor penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23?
[A]. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23: WP dalam negeri, BUT
[Q]. Apa saja obyek pajaknya dan berapa tarif-nya?
[A]. Seperti ini:
15 % dari jumlah bruto atas: dividen, bunga, dan royalti, hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
15 % dari jumlah bruto dan akibat atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.
15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah: 15 % x 20 % dari jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, 15 % x 40 % dari jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).
15 % dari perkiraan penghasilan netto atas Imbalan jasa Lainnya.
[Q]. Imbalan jasa lainnya, jasa apa saja yang dimaksudkan jasa lainnya?
PPH Pasal 23 – FAQ
[Q]. Apa itu PPh Pasal 23?
[A]. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 yaitu pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
[Q]. Siapa yang wajib bertindak selaku pemotong PPh Pasal 23?
[A]. Pemotong PPh Pasal 23: tubuh pemerintah,Wajib Pajak tubuh dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, Wajib Pajak Orang langsung dalam negeri tertentu yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
[Q]. Siapa akseptor penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23?
[A]. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23: WP dalam negeri, BUT
[Q]. Apa saja obyek pajaknya dan berapa tarif-nya?
[A]. Seperti ini:
15 % dari jumlah bruto atas: dividen, bunga, dan royalti, hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
15 % dari jumlah bruto dan akibat atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.
15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah: 15 % x 20 % dari jumlah bruto atas sewa penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, 15 % x 40 % dari jumlah bruto atas sewa lainnya (tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).
15 % dari perkiraan penghasilan netto atas Imbalan jasa Lainnya.
[Q]. Imbalan jasa lainnya, jasa apa saja yang dimaksudkan jasa lainnya?
[A]. Dibagi menjadi 5 (lima) kelompok besar berdasarkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya, yaitu:
(1). DPP-nya 50% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
a). Jasa profesi.
b). Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi
c). Jasa akuntansi dan pembukuan
d). Jasa penilai
e). Jasa aktuaris
(2). DPP-nya 40% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
a). Jasa tehnik dan jasa manajemen.
b). Jasa perancang / desain : Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan, Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan, Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan, Jasa perancang iklan/logo, Jasa perancang alat kemasan.
c). Jasa instalasi/pemasangan : Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik / telepon / air / gas / AC / TV Kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, Jasa instalasi/pemasangan peralatan,
d). Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin, listrik / telepon / air / gas / AC / TV kabel, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan alat-alat transportasi / kendaraan, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin / sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
e). Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
f). Jasa penunjang dibidang penambangan migas.
g). Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.
h). Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara.
i). Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.
j). Jasa pengolahan/pembuangan limbah.
k). Jasa maklon.
l). Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.
m). Jasa perantara.
n). Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan KPEI.
o). Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan PPh akibat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
p). Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum
q). Jasa pengisian sulih bunyi (dubbing) dan/atau mixing film.
r). Jasa pemanfaatan isu dibidang teknologi, termasuk jasa internet.
s). Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
(3). DPP-nya 13.33% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan /pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV Kabel, sepanjang jasa tersebut dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi,
(4). DPP-nya 26.67% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
a. Jasa perencanaan konstruksi.
b. Jasa pengawasan konstruksi.
(5). DPP-nya 10% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN):
Jasa pembasmian hama dan Jasa pembersihan, Jasa Catering, Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
[Q]. Okay. Ada ketentuan khusus lainnya?
[A]. Oh ya, ada beberapa yang dikecualikan dari pengenaan PPh Pasal 23, mampu dibaca di perhitungan PPh Pasal 21. Sebelum ke cara dan pola perhitungannya, serta prosedur pencatatan dan pelaporannya, ada beberapa jargon (istilah) yang perlu dipahami pengertiannya (yang saya sebutkan disini yaitu yang penting-penting saja), yaitu:
BUT = Acronym dari Badan Usaha Tetap = Representative Office = Perwakilan perusahaan absurd yang berkedudukan di Indonesia.
Jumlah Bruto/Penghasilan Bruto/Nilai Bruto = Total nilai transaksi persewaan = Penghasilan yang diterima atas persewaan sebelum memperhitungkan adanya perkiraan cost/expense yang timbul guna memperoleh penghasilan tersebut.
Jumlah Neto/Penghasilan Neto/Nilai Neto = Total Nilai transaksi persewaan [dikurangi] perkiraan cost/expense yang timbul guna memperoleh penghasilan persewaan tersebut.
DPP = Dasar Pengenaan Pajak = Nilai Neto/Penghasilan Neto = Penghasilan setelah dikurangi perkiraan expense/cost.
Pemotong = Pihak yang melaksanakan pemotongan atas obyek PPh Pasal 23 (silahkan baca kembali FAQ).
Terpotong = Pihak akseptor penghasilan atas obyek PPh Pasal 23 (silahkan baca kembali FAQ).
Okay, cukup jargonnya. Next is how to’s….
Kalau kita summarized dari FAQ tadi, maka obyek pajak dan tarifnya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
[-]. Obyek pajak yang PPH Pasal 23 menggunakan “Jumlah Bruto” sebagai DPP (Dasar Pengenaan Pajak).
Contoh Kasus-1:
Pada tanggal 10 May 2008, PT. Sukses Gemilang, membagikan dividen masing-masing Rp 10,000,000 kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT. Sukses Gemilang wajib memungut PPh Pasal 23.
a). Dari sisi pemotong:
Berapa besarnya PPh Pasal 23 yang harus di potong? Bagaimana cara mencatat pembagian dividen tersebut? Bagaimana prosedur pemotongan, pencatatan dan pelaporan PPh Pasal 23-nya? Bagaimana pengaruhnya terhadap PPh Pasal 25 dan 29 PT. Sukses Gemilang?
b). Dari sisi yang terpotong:
Apa yang harus dilakukan?, apa pengaruh PPh Pasal 23 terhadap PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 pihak yang terpotong?
Read on….
Tarif PPh Pasal 23 atas dividen yaitu 15% (baca kembali FAQ), sehingga besarnya PPh Pasal 23 yang dipotong kepada masing-masing pemegang saham dihitung dengan formula:
PPh Pasal 23 = Tarif x Jumlah Bruto = 15% x 10,000,000
PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = 20 x Rp 1,500,000
Total PPh Pasal 23 yang dipotong (untuk 20 orang) = Rp 30,000,000
Atas pembagian dividen tersebut, PT. Sukses Gemilang:
1). Pada tanggal 10 May 2008, melaksanakan pencatatan atas pembagian dividen dan pemotongan PPh Pasal 23, dengan jurnal:
[Debit]. Dividen = Rp 200,000,000 (Jumlah bruto x 20)
[Credit]. Cash = Rp 170,000,000 (Total Bruto – PPh Pasal 23)
[Credit]. Utang PPh Pasal 23 = Rp 30,000,000
2). Pada tanggal 10 May 2008, melaksanakan pemotongan dan menerbitkan bukti pemotongan PPh Pasal 23 atas dividen yang diterima oleh pemegang saham masing-masing sebesar Rp 1,500,000 kepada keduapuluh akseptor dividen.
3). Pada penutupan buku Tanggal 30 May nanti, di neraca PT. Sukses Gemilang akan muncul: Dividen (pengurang retained earning) sebesar Rp 200,000,000 di sisi Pasiva, pada kelompok equity, dan Utang PPh Pasal 23 sebesar Rp 30,000,000 di sisi aktiva lancar (current asset). Itulah disebut “saat legalisasi PPh Pasal 23 terhutang” (baca kembali FAQ).
4). Pada tanggal 10 June 2008 (latest) menyetorkan PPh Pasal 23 (yang telah dipungut olehnya) ke kas negara melalui bank persepsi (disebut “Saat penyetoran”), dan atas penyetoran tersebut dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Utang PPh Pasal 23 = Rp 30,000,000
[Credit]. Cash = Rp 30,000,000
Dengan jurnal di atas, maka Utang PPh pasal 23 menjadi nol, dan akumulasi cash-out yaitu Rp 200,000,000 (sama dengan legalisasi dividen-nya: Rp 170,000,000 telah dicatat tanggal 10 May dan Rp 30,000,000 telah dicatat tanggal 10 June 2008).
5). Tanggal 10 June 2008 (latest), melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 disertai:
a). Daftar pemotongan
b). Bukti Pemotong masing-masing 1 copy
c). SSP atas setoran yang telah dilakukan melalui bank persepsi.
Apa pengaruhnya terhadap besarnya PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 PT. Sukses Gemilang (selaku pemotong)?, Jawabannya: Tidak ada pengaruhnya. PT. Sukses Gemilang telah mengakui pembagian dividen sepenuhnya (Rp 200,000,000) dan legalisasi cash-out sejumlah yang sama. Dividen bukanlah cost/expense. Hanya saja, atas pembagian dividen tersebut PT. Sukses Gemilang akan memasukkan pembagian dividen tersebut pada SPT PPh Badan Tahunan-nya pada blanko 1771-V (Bagian:B).
b) Di pihak terpotong (penerima dividen).
Pada tanggal 10 May 2008, melaksanakan pencatatan atas penerimaan dividen dan potongan PPh Pasal 23 dengan jurnal:
[Debit]. Cash = Rp 8,500,000 (Nilai neto setelah dipotong PPh Pasal 23)
[Debit]. PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
[Credit]. Pendapatan dividen = Rp 10,000,000
Pada tanggal 10 May 2008, mendapatkan bukti pemotongan PPh Pasal 23 dari PT. Sukses Gemilang dan mengarsipkannya.
Pada ketika pembuatan SPT PPh Pasal 29 nantinya, PPh Pasal 23 tersebut dimasukkan ke dalam blanko 1770 S-1 (Bagian:B) dan akan menjadi kredit pajak (Blanko 1770-S Bagian:D), dengan melampirkan bukti potong yang telah diterima dari PT. Sukses Gemilang.
Itulah prosedur dan perlakuan akuntansi atas PPh Pasal 23 pembagian dividen. Untuk obyek pajak yang dihitung berdasarkan jumlah bruto lainnya, silahkan lihat kembali FAQ).
[-]. Obyek pajak yang PPH Pasal 23 yang menggunakan “Jumlah Neto” sebagai DPP.
Besarnya jumlah neto telah ditentukan oleh undang-undang dengan persentase tertentu dari jumlah bruto-nya berdasarkan jenis jasa yang diserahkan (silahkan baca kembali FAQ).
(1). DPP-nya 30% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN): Jasa Konsultan Akuntansi
Contoh:
Pada tanggal yang sama (10 May 2008), PT. Sukses Gemilang mendapatkan Debit Note dari “Asal-asalan Solusindo Consultant” yang menangani pembukuannya sebesar Rp 5,500,000 (termasuk PPn). Untuk itu PT. Sukses Gemilang wajib melaksanakan pemotongan PPh Pasal 23 sebelum dilakukan pembayaran, dengan perhitungan sebagai berikut:
PPh Pasal 23 = Tarif x DPP
PPh Pasal 23 = Tarif x [30% x (Jumlah Bruto - PPn)]
PPh Pasal 23 = 4.5% x [30% x (5,500,000 – 500,000)]
PPh Pasal 23 = 4.5% x [30% x 1,500,000]
PPh Pasal 23 = 4.5% x Rp 2,500,000
PPh Pasal 23 = Rp 67,500
Untuk prosedur pemotongan, penyetoran, pelaporan dan perlakuan akuntansinya, sama saja dengan pola sebelumnya. So, saya tidak perlu jelaskan hal yang sama lagi.
Dan pola perhitungan atas obyek lainnya (tarif dan DPP lainnya), silahkan dikembangkan, get self-exercised (baca FAQ dengan teliti kata demi kata, kalimat demi kalimat), saya yakin dengan 2 pola di atas, sudah lebih dari jelas.
I have couple of questions:
Mengapa ada obyek PPh Pasal 23 yang menggunakan jumlah bruto sebagai DPP, sementara ada obyek PPh Pasal 23 lainnya menggunakan jumlah neto sebagai DPP? Why?
Logically, mampu dilihat bahwa obyek yang dihitung berdasarkan bruto-nya, yaitu obyek-obyek pajak yang untuk memperoleh penghasilan tersebut sama sekali tidak ada cost/expense. Sementara obyek yang menggunakan jumlah neto sebagai DPP yaitu obyek-obyek (penyerahan jasa) yang obviously ada pengorbanan ekonomis (cost/expense) untuk memperoleh pendapatan tersebut.
But, read on my next question.....................
Mengapa jasa Akuntansi jumlah neto-nya 30%, sementara jasa lainnya dengan % yang berbeda?.
Ada yang mampu membantu saya mencarikan nalar atas pertanyaan itu?, rekan-rekan dari accounting? Rekan-rekan dari manajemen?, atau bapak-bapak dari DJP? Bapak-bapak dosen dan konsultan pajak?. Silahkan tulis komentar anda, saya akan senang berdiskusi mengenai duduk perkara ini.
Prosedur perhitungan, pemotongan, pencatatan dan pelporan PPH Pasal 23, bekerjsama tidak sesulit perhitungan dan perlakuan PPh pasal 21 atau pajak lainnya, yang agak confusing yaitu obyek pajaknya (setidaknya itu menurut saya). Silahkan share juga pendapat anda mengenai hal ini.
PPh Pasal 23 = Tarif x DPP
PPh Pasal 23 = Tarif x [30% x (Jumlah Bruto - PPn)]
PPh Pasal 23 = 4.5% x [30% x (5,500,000 – 500,000)]
PPh Pasal 23 = 4.5% x [30% x 1,500,000]
PPh Pasal 23 = 4.5% x Rp 2,500,000
PPh Pasal 23 = Rp 67,500
Untuk prosedur pemotongan, penyetoran, pelaporan dan perlakuan akuntansinya, sama saja dengan pola sebelumnya. So, saya tidak perlu jelaskan hal yang sama lagi.
Dan pola perhitungan atas obyek lainnya (tarif dan DPP lainnya), silahkan dikembangkan, get self-exercised (baca FAQ dengan teliti kata demi kata, kalimat demi kalimat), saya yakin dengan 2 pola di atas, sudah lebih dari jelas.
I have couple of questions:
Mengapa ada obyek PPh Pasal 23 yang menggunakan jumlah bruto sebagai DPP, sementara ada obyek PPh Pasal 23 lainnya menggunakan jumlah neto sebagai DPP? Why?
Logically, mampu dilihat bahwa obyek yang dihitung berdasarkan bruto-nya, yaitu obyek-obyek pajak yang untuk memperoleh penghasilan tersebut sama sekali tidak ada cost/expense. Sementara obyek yang menggunakan jumlah neto sebagai DPP yaitu obyek-obyek (penyerahan jasa) yang obviously ada pengorbanan ekonomis (cost/expense) untuk memperoleh pendapatan tersebut.
But, read on my next question.....................
Mengapa jasa Akuntansi jumlah neto-nya 30%, sementara jasa lainnya dengan % yang berbeda?.
Ada yang mampu membantu saya mencarikan nalar atas pertanyaan itu?, rekan-rekan dari accounting? Rekan-rekan dari manajemen?, atau bapak-bapak dari DJP? Bapak-bapak dosen dan konsultan pajak?. Silahkan tulis komentar anda, saya akan senang berdiskusi mengenai duduk perkara ini.
Prosedur perhitungan, pemotongan, pencatatan dan pelporan PPH Pasal 23, bekerjsama tidak sesulit perhitungan dan perlakuan PPh pasal 21 atau pajak lainnya, yang agak confusing yaitu obyek pajaknya (setidaknya itu menurut saya). Silahkan share juga pendapat anda mengenai hal ini.
Update: 12-May-2008 (Penting).
Hmmm... say abaru tahu ada tarif efektif PPh Pasal 23 terbaru 2007 (PER-70/PJ/2007), saya ketinggalan, mengikuti tarif PPh pasal 23 yang berubah terus, what a confussion!. Untuk tarif silahkan baca PER-70/PJ/2007, sedangkan untuk perlakuan masih berlaku hal yang sama menyerupai yang saya tulis disini.
Post a Comment
Post a Comment