“TYRANNY OF THE BOTTOM LINE SEBAGAI SOLUSI SISTEM PENILAIAN YANG LEBIH BAIK”
Tyranny of the bottom line (2005 : xi), dalam bukunya dijelaskan bahwa terjadinya pergeseran arah tujuan perusahaan dan masalah yang ditimbulkannya, dimana masalah “pengutamaan laba” mengorbankan para stakeholder – para karyawan, pelanggan, pemasok, masyarakat, dan bangsa kita, dan mengabaikan masyarakat. Namun, hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita tidak bisa bersikap demikian. Bisnis dapat berjalan dengan sukses, dengan hasil yang adil tak hanya bagi para pemegang saham, namun juga bagi semua stakeholder, dan tetap masih bersifat manusiawi. Bisnis dapat kompetitif, memiliki kemampuan financial yang kuat. Dan bisnis bisa pula menyenangkan.
Untuk mewujudkan hal itu, kita pertama-tama harus memahami apa gotong royong yang mengendalikan perusahaan dan apa saja yang berkaitan dengan bisnis, apa yang mendorong orang-orang baik melaksanakan hal-hal yang buruk. Kita akan melihat bahwa itu merupakan sistem yang tidak mengukur dan melaporkan kinerja nyata dari perusahaan.
Begitu sebuah akar permasalahan mendapat diagnosis yang tepat, resepnya pun akan bisa ditemukan. Kita memerlukan suatu sistem penilaian gres dan yang lebih adil, suatu sistem yang akan memberikan pesan – pesan yang berbeda kepada para manajer perusahaan. Sebuah sistem penilaian yang menunjukkan dampak dari tindakan yang ditempuh perusahaan terhadap para stakeholder, bukan sekedar pada para pemegang saham, dan memberitahukan pada para manajer bahwa mereka bertanggung jawab terhadap segala dampak tersebut.
Tyranny of the Bottom Line menyajikan resep ini dalam suatu agenda yang efektif dan bisa dilaksanakan. Suatu agenda yang bisa membuat perusahaan menjadi lebih aman dan lebih menguntungkan bagi kita semua, dan lebih menyenangkan, lebih bermartabat, bagi orang-orang yang menjalankannya.
Apa itu konsep “triple bottom line”? Konsep pengukuran kinerja perusahaan secara “holistik” dengan memasukan tak hanya ukuran kinerja ekonomis berupa perolehan profit, tapi juga ukuran kepedulian sosial dan pelestarian lingkungan. Jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja (single bottom line), kini dikenal konsep ‘triple bottom line’, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3 dasar, yaitu finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga dikenal dengan 3P (profit, people, planet).
TBL (Triple Bottom Line) merupakan konsep CSR yang dapat dipahami sebagai perwujudan janji kepada keberlanjutan (sustainability) perusahaan yang dicerminkan ke dalam triple bottom line “3P” tersebut. Konsep triple bottom line (3P) kemudian berkembang dengan adanya ISO 26000 mengenai Gudance on Social Responsibility. Standar ini juga secara eksklusif akan menunjukkan warna gres dalam definisi dan implementasi bentuk CSR. Ada tujuh prinsip CSR yang menjadi komponen utama, yaitu : the envinronment, social development, human rights, organizational governance, labor practices, dan consumer issues. Dengan melihat konsep Triple Bottom Lines dan mengaitkannya dengan prinsip ISO 26000 tersebut maka konsep 3P kemudian dapat ditambahkan dengan 4P dengan menambahkannya dengan satu line tambahan, yakni procedure. Dengan demikian, CSR yaitu kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan insan (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang sempurna dan profesional.
Berkait dengan hal tersebut, maka implementasi CSR dengan konsep 4P ini bisa dipadukan dengan komponen dalam ISO 26000. Konsep planet secara luas akan berkaitan dengan aspek the environment. Konsep people di dalamnya merujuk pada konsep social development dan human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat (seperti perlindungan modal usaha, pelatihan keterampilan kerja). Tetapi lebih jauh akan banyak bersentuhan dengan kesejahteraan sosial (semisal perlindungan jaminan sosial, penguatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas lembaga-lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep procedur bisa mencakup konsep (tata kelola organisasi) organizational governance, Praktek ketenagakerjaan (labor practices), Praktek pelaksanaan yang adil (fair operating practices), dan issu-issu konsumen (consumer issues) yang termasuk didalamnya yaitu komunitas dan masyarakat.
Hal ini terkait juga dengan adegan development (comdev) yang aneka macam istilah banyak dikenal dengan community empowerment developing program, community based resources management, community based development management. Istilah ini berkembang dan diperbaharui seiring dengan berkembangnya teori dan hasil dari proses-proses implementasi community development. Berkait dengan itu, yang jauh lebih penting yaitu perubahan paradigma alasannya yaitu dari banyak analisa manfaat faktual yang terjadi yaitu banyak agenda yang telah dipersiapkan secara mendalam pada akibatnya hanya bermanfaat beberapa tokoh masyarakat dan tidak mengakar di akar rumput.
Tidak dapat dihindari bahwa kenyataannya dari segi kepentingan terdapat korelasi yang saling menguntungkan bagi dua pihak dalam proses comdev. Komunitas lokal mempunyai keinginan kepada perusahaan dalam membantu atau menjadi adegan dari proses mereka menghadapi masalah yang terjadi. Di sisi lain, perusahaan juga mempunyai keinginan bahwa apa yang dilakukan perusahaan dapat dilihat secara adil dengan cara pandang bahwa masyarakat juga harus bersifat supportif mendukung acara perusahaan.
Mendukung hal tersebut, maka dua defenisi yang mendukung aplikasi agenda community development yaitu ; pertama, defenisi dari PBB (1955) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai berikut : “Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat itu sendiri”. Kedua, Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa : “…locality development merupakan suatu cara untuk memperkuat warga masyarakat dan untuk mendidik mereka melalui pengalaman yang terarah supaya bisa melaksanakan kegiatan berdasarkan kemampuan sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri pula”.
Berdasarkan dari pandangan dan defenisi tersebut, pihak perusahaan mempunyai kewajiban untuk menggali lebih dalam korelasi mereka dengan komunitasnya. Kemudian mengindentifikasi titik-titik yang dianggap kritis dalam menjalin korelasi yang harmonis dan saling menguntungkan. Dari sini dirumuskan bagaimana perusahaan merespon kebutuhan serta masalah-masalah yang mereka hadapi.
Langkah-langkah yang kongkrit yang harus dilakukan yaitu melaksanakan analisa kebutuhan komunitas (community need analysis). Dalam melaksanakan analisa kebutuhan harus diperhatikan benar supaya dapat memenuhi kebutuhan (needs), dan bukan sekedar keinginan (wants) yang dapat bersifat superfisial demi pemenuhan sesaat saja. Analisa harus dilakukan secara mendalam supaya dapat mengggali kebutuhan yang sesungguhnya, bukan berlandaskan keinginan perusahaan atau keinginan tokoh-tokoh masyarakat saja.
Jelasnya, perusahaan tak hanya menjadi “economic animal”, tapi juga entitas yang “socially and environmetally responsible.” Bahwa keberlangsungan hidup perusahaan hanya akan terjadi apabila perusahaan menaruh kepedulian terhadap pertumbuhan ekonomi, kepedulian terhadap pengembangan lingkungan dan kepedulian terhadap pengembangan sosial. Searah dengan perkembangan, perusahaan bisnis harus menunjukkan konstribusi terhadap tiga hal tersebut. Pada dasarnya keberlanjutan (sustainability) yaitu keseimbangan antara kepentingan – kepentingan ekonomi, lingkungan dan masyarakat.
Ide di balik TBL (Triple Bottom Line) ini tak lain yaitu adanya pergeseran paradigma pengelolaan bisnis dari “shareholders – focused” ke “stakeholders – focused”. Dari fokus kepada perolehan laba secara membabi – buta menjadi perhatian pada kepentingan pihak – pihak yang terkait (stakeholder interest) baik eksklusif maupun tidak eksklusif dengan perusahaan. Konsekuensinya, tugas dunia bisnis semakin siknifikan sebagai alat pemberdaya masyarakat dan pelestari lingkungan.
Ide triple bottom line sekaligus mencoba menempatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan pada titik sentral dari keseluruhan seni administrasi perusahaan bukan periferal, bukan tempelan, dan bukan kosmetik. Conventional wisdom yang selama ini ada mengatakan : tumpuk profit sebanyak – banyaknya, lalu dari profit yang menggunung itu sisihkan sedikit saja untuk kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan. Dengan triple bottom line, maka pendekatannya menjadi berbeda. Dari awal perusahaan sudah menetapkan bahwa tiga tujuan holistic economic, environmental, social tersebut hendak dicapai secara seimbang, serasi, tanpa sedikitpun pilih kasih.
Referensi
Alimuddin. 2008. Tyranny of the Bottom Line Performance: Tinjauan Kritis terhadap Konsep Kinerja Akuntansi. Jurnal Aplikasi Manajemen Volume 61 Nomor 31 Desember 2008.
Estes, Ralph W. Tiranny of The Bottom Line Alimuddin, Tinjauan Kritis terhadap Konsep Kinerja Akuntansi.
Tropman, dkk (1993). Diunduh tanggal 13 – September – 2014.
Post a Comment
Post a Comment