Withholding tax merupakan Pemotongan pajak yang dipotong dari pembayaran korporasi dibuat untuk wajib pajak. Pajak yang dikenakan atas penghasilan pasif diperoleh oleh seorang individu atau korporasi dari satu negara dalam yurisdiksi pajak negara lain. Pendapatan pasif termasuk dividen dan pendapatan bunga, pendapatan dari royalti, paten, atau hak cipta. Sebuah pemotongan pajak ialah pajak tidak langsung.
Pihak ketiga diberikan kepercayaan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada peserta penghasilan sekaligus menyetorkannya ke kas Negara.
Di selesai tahun pajak, pajak yang telah dipotong atau dipungut dan telah disetorkan ke kas negara itu akan menjadi pengurang pajak atau kredit pajak bagi pihak yang dipotong dengan melampirkan bukti pemotongan atau pemungutan.
Istilah pemotongan dimaksudkan untuk menyatakan jumlah pajak yang dipotong oleh pemberi penghasilan atas jumlah penghasilan yang diberikan kepada peserta penghasilan sehingga menyebabkan berkurangnya jumlah penghasilan yang diterimanya (misal: PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23).
Sedangkan yang dimaksud dengan pemungutan ialah jumlah pajak yang dipungut atas sejumlah pembayaran yang berpotensi menjadikan penghasilan kepada peserta pembayaran (misal: PPh Pasal 22).
Withholding tax ini merupakan cara termudah bagi pemerintah untuk memungut pajak, tetapi di pihak lain, yaitu pihak wajib pajak, withholdin tax ini menjadikan beban pemenuhan kewajiban perpajakan (cost of compliance), yaitu misalnya (1) beban administrasi, (2) beban sanksi manajemen jikalau terlambat memotong dan / atau menyetorkan, atau (3) alpa tidak / belum memotong pajaknya pihak lain. Dengan kata lain, dalam sistem withholding ini, wajib pajak diwajibkan untuk memungut dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain (wajib pajak lain) yang mana kewajiban untuk mengadministrasikan pajaknya pihak lain tersebut sebetulnya ialah tanggungjawab pemerintah (dalam hal ini ialah Ditjen pajak). Apabila dikaitkan dengan sistem self assessment, yang menunjukkan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung , memperhitungkan, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya (kewajiban pajak wajib pajak sendiri, bukan pajaknya wajib pajak lain / pihak lain), maka konsep sistem withholding tax ini berbeda dengan sistem self assessment. Dalam sistem witholding tax, wajib pajak diberi kewajiban untuk memotong, menyetorkan dan mengadministrasikan pajaknya pihak lain. Sedangkan dalam sistem self assessment, wajib pajak berkewajiban untuk menghitung, menyetorkan dan mengadministrasikan kewajiban pajaknya sendiri.
Dalam sistem withholding tax yang berlaku dikala ini di Indonesia, kewenangan Ditjen dalam menentukan jenis – jenis penghasilan yang merupakan objek withholding tax. Tidak adanya pembatasan mengenai jenis – jenis penghasilan yang layak dan tidak layak dikenakan withholding tax tentunya akan akan menunjukkan keleluasan bagi pemerintah untuk terus memperluas pengenaan withholding tax ini. Alasannya ialah alasannya penerimaan pajak akan mudah terkumpul dan peran pemerintah (Ditjen pajak) cukup mengawasi saja, dan jikalau ada wajib pajak tidak menjalankan withholding tax tersebut dengan benar, maka Ditjen pajak tinggal menerapkan sanksi manajemen yang tentunya akan menambah pundi – pundi penerimaan negara. Akan tetapi, bagi wajib pajak, perluasan withholding tax ini tentunya menjadikan cost of compliance yang tinggi, alasannya mereka dibebani untuk memungut pajaknya pihak lain yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka untuk memungut dan mengadministrasikannya. Pertanyaan kita bersama, mengapa hal ini mampu terjadi? Hal ini bermula dan luasnya pendegelesian wewenang yang diberikan oleh UU PPh yang berlaku sekarang kepadapemerintah untuk menentukan sendiri jenis – jenis penghasilan yang akan dikenakan withholding tax. Adapun pasal – pasal dalam UU PPh yang menunjukkan kekuasaan kepada pemerintah untuk menentukan sendiri penghasilan yang akan dikenakan withholding tax baik yang dibutuhkan sebagai angsuran masa maupun pajak final ialah sebagai berikut :
Tabel 1. Undang – Undang PPh yang dikenakan withholding tax
No | Pasal | Jenis penghasilan usaha yang didelegasikan kepada pemerintah |
1 | Pasal 4 ayat (2) | Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan – tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah. |
2 | Pasal 23 ayat (1) aksara c butir 2 | Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya selain jasa yang telah dipotong pajak, penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21. |
3 | Pasal 23 ayat (2) | Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) aksara ditetapkan oleh Direktur jenderal pajak. |
Dalam RUU PPh yang dikala ini sudah dalam tahap pembahasan di DPR perlu adanya pembatasan atas penggunaan withholding tax atas penghasilan usaha dan kalaupun ada, jenis – jenis penghasilan yang akan dikenakan withholding tax tersebut harus dinyatakan dengan terang dan tegas dalam UU dan bukan didelegasikan kepada pemerintah. Hal ini terkait dengan filosofi dari pajak yang intinya ialah bahwa pajak yang akan dipungut oleh negara harus berdasarkan akad antara warga negara dan negara yang dituangkan oleh UU, pasal 23a UUD 1945 juga menyatakan secaa tegas bahwa pajak dan pengutang lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara yang diatur oleh UU. Sebagai bentuk penghargaan kepada wajib pajak yang telah banyak membantu pemerintah dalam mengumpulkan pajak melalui sistem withholding tax perlu dipertimbangkan adanya pinjaman kompensasi menyerupai yang dilakukan oleh negara adegan Amerika Serikat yang menunjukkan kompinsasi kepada pemotong / pemungut pajak untuk menutupi biaya yang telah dikeluarkannya dalam rangka melaksanakan manajemen pemotongan dan pelaporan pajak.
Post a Comment
Post a Comment